XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Razia Agustus 1951: Kejatuhan PKI yang Tidak Pernah disorot

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

“Jatuh bangun, jatuh bangun, jatuh,” mungkin itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan alur kehidupan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang berdiri pada 1920 dan tenggelam pada 1965. Meski demikian, selepas peristiwa Gerakan 30 September (G30S), PKI belum benar-benar habis.

Hanya saja, hari-hari pasca-G30S tinggal menyisakan penangkapan dan pembunuhan para anggotanya di berbagai tempat. PKI baru resmi dibubarkan pada 12 Maret 1966 oleh Suharto, sehari setelah ia menerima apa yang kita kenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Itu pun belum sepenuhnya mengubur PKI dalam-dalam. Pada 1968, anggota PKI yang masih hidup berkumpul di Blitar bagian selatan dan melakukan perlawanan gerilya. Pada waktu inilah, PKI baru dapat dikatakan menjumpai ajal sesungguhnya, setelah militer melancarkan Operasi Trisula.

Dari keseluruhan episode jatuh bangunnya PKI, mungkin yang paling banyak diingat ada tiga: Pertama, saat PKI dilarang pemerintah kolonial Hindia Belanda akibat dari usaha pemberontakan 1926-1927; Kedua, ketika PKI menempuh gagasan Jalan Baru Musso yang mengakibatkan Peristiwa Madiun 1948, di mana sebagai besar pimpinan partai terbunuh; Ketiga, peristiwa G30S yang masih diperdebatkan siapa dalang sesungguhnya.

Ketiga peristiwa tersebut mempunyai ciri yang hampir sama, yakni bersentuhan dengan senjata api. Baik itu dalam proses permulaan, pertengahan, ataupun penyelesaiannya. Pasti ada saja bedil yang digunakan.

Selain ciri yang tidak terlalu jauh, ketiga peristiwa itu juga menempati posisi yang penting dalam historiografi Indonesia. Penting dalam artian mempengaruhi jalannya sejarah, maupun penting untuk dijadikan justifikasi kelompok tertentu.

Sehingga, tiga peristiwa itu kerap diulang-ulang, dengan pelbagai nada yang ada, sumbang maupun nyaring. Saking seringnya disorot, tiga peristiwa itu menyisihkan banyak hal tentang PKI. Termasuk kejatuhan PKI yang lain, yaitu: Razia Agustus 1951.

 

Palu-Arit di Pos Polisi

Peristiwa Madiun 1948, menghancurkan PKI, tapi tidak membuatnya dilarang secara resmi. Anggota-anggota Politbiro yang selamat, bahu-membahu membangun partai kembali. Hal ini terutama dilakukan oleh para generasi muda. Yang paling menonjol di antaranya: Aidit, Njoto, Sudisman, dan Lukman.

Dalam usaha membangun partai, generasi muda harus berhadapan dengan generasi tua yang juga selamat dari Madiun 1948. Persaingan dua generasi itu berakhir dengan pengambilalihan kepimpinan generasi muda pada bulan Januari 1951. Kepemimpinan generasi muda membawa PKI ke arah pragmatisme yang membuahkan hasil menjadi partai politik terbesar waktu itu.

Di tengah usaha membangun partai dengan menjalin aliansi dengan buruh serta petani, PKI sekali lagi harus berhadapan dengan musuh-musuh yang berusaha menjatuhkannya. “Pada bulan Juni-Agustus 1951,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, “serangkaian pemogokan terjadi, sebuah granat tangan dilemparkan kepada suatu kerumunan massa di Bogor, dan suatu gerombolan bersenjata yang berlencana palu-arit menyerang sebuah pos polisi” (h. 505).

Hal yang serupa tercatat juga terjadi pada hari Minggu malam, 7 Agustus 1951 di pos penjagaan polisi Tanjung Priok. Di mana, sekelompok gerombolan yang kira-kira berjumlah 50 orang melakukan penyerangan dengan menggunakan golok.

Gerombolan itu teridentifikasi mengenakan berbagai macam simbol dan lencana. Termasuk “simbool palu-arit, dan bendera2 merah … simbool2 kroon jang dilingkari oleh huruf2 Arab, djimat2, tulisan2 berisi kalimat do’a2 dan tjoret-tjoret jang tak berketentuan,” sehingga seorang juru bicara bernama Lumanauw mengatakan bahwa penyerangan “mempunjai maksud pula dibelakangnja. Apakah background dari penjerangan itu bersifat politik atau bukan, kini sedang dalam penjelidikan” (Kedaulatan Rakjat, 9 Agustus 1951).

Kejadian-kejadian itu segera membuat telunjuk pemerintah mengarahkannya kepada PKI. Tuduhan itu dibantah oleh Aidit, tetapi sia-sia belaka. Pemerintah melalui Kejaksaan Agung melakukan penangkapan atau sering kali disebut razia terhadap anggota-anggota PKI.

Pemerintah, tulis Satriono Priyo Utomo dalam Politik Dipa Nusantara, “berdalih razia tersebut merupakan tindakan preventif terhadap ancaman yang sangat berbahaya dan ada pihak-pihak yang hendak mengacaukan keamanan dengan target membunuh Sukarno-Hatta, serta adanya organisasi kaki tangan yang digerakkan ekstrem kiri dan mendapat dukungan kuat dari luar” (h. 118).

Perlu diketahui, pemerintah yang saat itu berkuasa adalah koalisi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan Perdana Menterinya (PM) Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi. Menurut analisis Aidit dan sudut pandang PKI, koalisi Masyumi-PNI sangat buruk bagi partai.

Sebab, Masyumi dianggap sebagai partai yang didukung kaum borjuis pribumi dengan pemimpin yang bersikap anti-komunis. Sementara itu, PNI diduga bersifat birokratis dengan beberapa kaum feodal daripada borjuis. Bergabungnya dua kekuatan ini dalam pemerintahan membuat PKI kehilangan kesempatan untuk menjalin koalisi.

Padahal, dalam pandangan Aidit, PKI hanya bisa berkoalisi dengan borjuis nasional daripada feodal. Tapi hal itu tidak memungkinkan, karena Masyumi yang borjuis nasional anti-komunis. Kelak, demi persekutuan, Aidit akan mendefinisikan PNI sebagai borjuis daripada feodal dan hal ini mengakibatkan terhambatnya kesadaran kelas yang diperjuangkan PKI.

 

Penggeledahan dan Penangkapan Selama Agustus

Penangkapan pertama terjadi di Sumatera Timur pada hari Sabtu, 11 Agustus. Sebanyak 51 orang ditangkap, termasuk tiga yang diketahui namanya: Tengku Saibun Sultan Asahan Munikmanis mantan Kepala Departemen Pendidikan NST, serta Abdulkarim dan Jusuf Adjitorop yang merupakan Seksi Comite PKI Sumatera Timur. Orang-orang yang tidak disebutkan namanya beberapa merupakan calon anggota PKI di luar Medan.

Penangkapan dua anggota PKI itu membuat PKI Sumatera Timur melakukan protes dan meminta penjelasan. Mereka menanyakan, apakah penangkapan dilakukan sebagai urusan personal, sebagai anggota PKI, atau sebagai calon anggota PKI.

Juru bicara tentara Teritorium I Sumatera Utara menjawab protes PKI Sumatera Timur. Juru bicara itu menerangkan bahwa, “gerakan pembersihan…bukan ditundjukan kepada sesuatu aliran politik ataupun kepertjajaan keagamaan, hanja semata-mata terhadap mereka jang mengatjaukan ketertiban dan keamanan umum” (Kedaulatan Rakjat, 15 Agustus 1951).

Dalam keterangan tentara yang lain, disebutkan bahwa kejadian di Bogor dan Tanjung Priok merupakan tanda bahwa ada aliran yang ingin mengacaukan keadaan. Namun, semua prasangka terhadap apa yang dinamakan pengacau oleh pemerintah semata-mata dijatuhkan kepada PKI.

Penangkapan maupun pembebasan karena tidak adanya alasan penahanan lebih lama di Sumatera Timur terus berlanjut. Sekitar dua minggu kemudian, jumlah orang yang ditangkap semakin melesat. Dikatakan oleh surat kabar, “Melihat penangkapan2 di Medan dan kota2 lainnja di Sumatera Timur achir2 ini, diduga jang telah ditangkap telah meningkat dari djumlah jang dikabarkan semula, djadi lebih dari 511 orang” (Kedaulatan Rakjat, 22 Agustsus 1951).

Setelah Sumatera Timur, razia penangkapan terhadap anggota PKI segera menyebar ke daerah-daerah lain. Di Jakarta, 16 anggota parlemen ditangkap, termasuk ayah dari Aidit, yakni Abudullah yang merupakan anggota dari sebuah partai kecil (bukan PKI).

 Anggota PKI di parlemen terus digerogoti. Pada Senin, 27 Agustus, seorang anggota PKI di parlemen ditangkap setelah menghadiri rapat panitia permusyawaratan parlemen.

Di Yogyakarta, penangkapan yang dilakukan oleh polisi terjadi pada Senin, 20 Agustus. Mereka yang ditangkap, antara lain: “Wikana dan Tjokrosumarta, keduanja anggota Sekretariat PKI Seksi Komite Jogja, Liem A Khwle dan Yap Lie Sing, masing2 pegawai kantor CHTH dan murid sekolah menengah Tionghoa.

Kantor tjabang SOBSI digledah … kemarin, dari situ dibawa daftar anggota” (Kedaulatan Rakjat, 21 Agustus 1951). Sementara ormas yang berafiliasi dengan PKI, Pemuda Rakyat, penangkapan terjadi terhadap Ketua Cabang Bantul dan Kulon Progo beserta anggota-anggotanya.

Namun, penangkapan di Yogyakarta ini tidak berlangsung lama. Pada sore, di hari yang sama ketika ditangkap, mereka dibebaskan setelah diperiksa.

Pada hari yang sama dengan penangkapan di Yogyakarta, penangkapan juga terjadi di Semarang. Hal ini mengindikasikan bahwa ada keserantakan dalam waktu penangkapan.

Di Semarang, ditaksir paling sedikit sepuluh orang ditangkap. Nama-nama yang diketahui: Moh. Yasin dari Partai Murba Semarang sekaligus anggota DPRDS-Kota Besar, Sulsta dari Perbum, Kasir dari SBRTI, Jusuf dari penasihat SOBSI Semarang, Tjipto dari Partai Demokrasi Rakyat, Sriwidjaya dari SOBSI, N. Endang dari Gerwis, Kuntjahja dari PBI, Prof. Abidin yang bekerja di Kantor Perwakilan Penyuluh Perburuan Jawa Tengah, dan Tardjana yang bekerja di Kantor Perwakilan Penempatan Tenaga Jawa Tengah. Dari beberapa orang yang ditangkap itu, ada yang langsung dibebaskan karena tidak ada alasan untuk terus menahan yang bersangkutan.

Penggeledahan gedung juga tak luput dilakukan. Gedung Rakyat Gendong, tempat SOBSI berkantor digeledah. Pihak berwajib membawa arsip-arsip kantor mengenai SBPI, Serikat Buruh Kementerian Pertahanan, Serikat Buruh Rokok/Tembakau Indonesia, dan Sarbupri.

Masih di Jawa Tengah, terjadi penggeledahan ataupun penangkapan di Salatiga, Solo, Klaten, Pati, dan Banyumas juga terjadi penggeledahan dan penangkapan.

Di Salatiga, terjadi penangkapan “sedikitnja 9 orang, jaitu: Mr. Harun…BTI Salatiga. Sujud Lurah…dari SOBSI bersama2 2 kawanja Bernama Nj. Marhaeni (Gerwis/SOBSI) dan Koesirin (SOBSI), kemudian: Sidiro (BTI), Tohir... (Sekr. Umum Perdamaian dunia)…, Ismail (SBLGI), Suwandi (SEBDA da anggauta DPS setempat)… dan Slamet Basuki jang bekerdja pada DUKT setempat” (Kedaulatan Rakjat, 22 Agustus 1951). Nj. Marhaeni dan Kusirin tidak ditahan lama. Keduanya lekas dibebaskan.

Di Solo, hanya terjadi penggeledahan di rumah Tjoa King Loen yang merupakan pimpinan redaksi majalah Bentara, Wijono dari SBKA, Suripni dari Komite Perdamaian Dunia, dan Suharman. Diteruskan dengan kantor Seksi Komite PKI.

Sehari sebelum penangkapan terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pada Sabtu malam, 18 Agustus penggeledahan dan penangkapan terjadi di Jawa Barat.  “Malam minggu itu djuga kantor2 SOBSI dan seksi PKI Preangan di gledah dan beberapa archief diangkat, termasuk archief Sarbupri dan Pemuda Rakyat jang berkantor dalam satu gedung dgn PKI dan SOBSI,” (Kedaulatan Rakjat, 21 Agustus 1951).

Ruangan-ruangan di gedung PKI dan SOBSI itu disegel. Nama-nama yang teridentifikasi, antara lain Radi yang merupakan onder-seksi PKI Kota Bandung, dan Siswosumarto yang merupakan anggota pengurus Gabungan Rakyat Petani sekaligus anggota PKI. Meski terjadi penangkapan, kursus mingguan SOBSI masih berjalan pada keesokan harinya.

Sayangnya, penangkapan di Bandung ini masih simpang siur mengenai siapa penangkapnya dan berapa orang yang ditangkap. Kebingungan ini muncul karena penangkapan terjadi pada tengah malam sehingga tidak banyak saksi yang melihatnya.  

Penggeledahan dan penangkapan terus terjadi di Jawa Barat. Pada Jumat malam hingga Sabtu Pagi, 24-25 Agustus terjadi penangkapan terhadap 40 orang. Orang-orang anggota PKI maupun ormas yang memiliki keterkaitan ditahan.

Antara lain: “Anwar sekretaris umum Badan Permusjawaratan Partai2 sedang rumah2 beberapa anggota pengurus Pemuda Rakjat dan Partai Murba digeledah dan dibeslah surat2 tapi orang2nja tidak ditahan” (Kedaulatan Rakjat, 27 Agustus 1951).

Masih di Jawa Barat, tepatnya di Indramayu, pada Rabu, 1 September terdapat sembilan orang pejabat daerah yang ditangkap. “Diantara mereka ini terdapat a.l Patih Indramaju, Wedana Indramaju, Wedana Djatibarang, beberapa Tjammat, kepala djawatan penerangan Tjirebon jang Bernama Damira dan seorang anggota DPRDS Propinsi Chamdie Idradjaja. Dikabarkan bahwa Chmadie telah meloloskan diri” (Kedaulatan Rakjat, 1 September 1951).

Di Jawa Timur, penangkapan menghasilkan 190 orang. Kebanyakan di antara tahanan merupakan anggota PKI, SOBSI, Gerwis, Gerakan Perdamaian Dunia, Pemuda Rakyat, dan orang-orang Tionghoa yang dianggap punya simpati terhadap komunisme.

Namun, seperti yang juga terjadi di tempat-tempat lain, orang-orang yang ditangkap tidak semuanya anggota PKI atau organisasi-organisasi yang dekat dengannya. Beberapa merupakan pimpinan sebuah surat kabar atau majalah. Di Jawa Timur, empat pimpinan redaksi ditangkap, yakni: “pemimpin Redaksi harian Java Post, Trompet Masjarakat, Thau Kong Siang Poo…, dan Madjalah Demokrasi” (Kedaulatan Rakjat, 22 Agustus 1951).

Penggeledahan dan penangkapan yang berlangsung begitu masif dan cepat menimbulkan banyak protes. Hal ini kemudian memaksa Kejaksaan Agung – lembaga yang memberi instruksi razia – segera memproses para tahanan.

Guna mempercepat proses pemeriksaan, Kejaksaan Agung memperbantukan sejumlah jaksa-jaksa daerah yang kebetulan sedang ada di Jakarta untuk mengikuti kursus. Meski demikian, kerja Kejaksaan Agung tidak dapat mengimbang penangkapan yang terus pada bulan-bulan berikutnya. Alhasil, pada akhir Oktober, menurut pemerintah, seperti yang diungkapkan M.C. Ricklefs ada 15.000 orang yang ditahan.

Lebih jauh lagi, seperti yang akan terjadi kemudian, kerja dari Kejaksaan Agung akan berakhir sia-sia. Tidak pernah ada orang yang ditahan, yang menjalani proses pengadilan. Tidak ada alasan untuk melakukannya. Sebab, penahanan hanyalah sebuah dalih politik untuk menjatuhkan PKI. Dan, karena alasan penahanan dilakukan secara politik, maka pembebasannya pun dilakukan secara politik pula. Zonder jalur hukum.

 

Protes-Protes

Penggeledahan dan penangkapan yang terjadi begitu cepat tidak membuat PKI diam saja. Setelah Aidit menyangkal tuduhan terhadap keterlibatan PKI dalam penyerangan pos polisi, PKI datang dengan protes.

Melalui Comite Central (CC), PKI menuntut agar orang-orang dari PKI dan organisasi-organisasi yang dekat dengannya, serta partai-partai lainnya dibebaskan. Tuntutan ini dilandasi bahwa penangkapan dilakukan tanpa alasan yang jelas.

CC PKI mengatakan, “biarpun djurubitjara Pemerintah mengatakan bahwa penggeledahan dan penangkapan tidak ditundjukan kepada suatu ideologi atau aliran politik tetapi rerang bahwa mereka jang ditahan ialah orang2 jang banjak atau sedikit akan oposisi terhadap politik pemerintah atau Pemerintah Daerah” (Kedaulatan Rakjat, 27 Agustus 1951).

Sementara itu, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang dekat dengan PKI juga melancarkan protes. Gerwis menyebut tuntutan dan alasan yang sama seperti yang diungkapkan CC PKI. Namun, lebih jauh, Gerwis menyebut penangkapan yang terjadi melanggar hak-hak demokrasi.

Gerwis dapat dikatakan cukup terusik dengan razia yang terjadi. Pasalnya, Kongres pertama yang sedianya akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Oktober harus diundur menjadi bulan Desember. Itu pun dengan kondisi yang menyedihkan, karena masih banyak anggota yang belum dibebaskan.

Karena tidak hanya menyasar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang dekat dengannya, suara-suara protes muncul dari organisasi buruh lainnya. Serikat-serikat buruk ini protes karena pemimpin mereka ditangkap. Serikat Buruk Percetakan Indonesia (SBPI) pemimpin yang ditangkap Suhardjo dan Nusjirwan Alim, Serikat Tani Indonesia pemimpin yang ditangkap Sidik Kertapati, Serikat Buruh Kendaraan Bermotor anggota yang ditangkap D. Triono dan K. Werdojo, dan “Aksi Buruh Penerangan yang pemimpinnya berhubungan dengan penggeledahan kantor SOBSI dan tangkapan atas diri anggauta pimpinan Sebaud Hanapi” (Kedaulatan Rakjat, 24 Agustus 1951).

Tak hanya dari organisasi, masyarakat sipil juga melakukan tuntutan. Salah satu yang tercatat adalah tuntutan dari para istri tahanan di Pati. Tuntutan ini dilatarbelakangi keadaan rumah tangga yang semakin menyedihkan pasca suami mereka ditahan. Enam perempuan “jaitu njonja2 Heru Sukarto, Hardjono, S. Tjokrosardjono, Imam Sukardjo, Heru Harun, dan Soepadi, telah menanda-tangan sebuah surat jang dikirim kepada Presiden Sukarno untuk memohon lekas dikeluarkanja suami mereka” (Kedaulatan Rakjat, 13 Desember 1951).

 

Pembebasan Cara Politik

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Razia Agustus merupakan tindakan politik sehingga penyelesaiannya juga melalui politik. Untuk itu, hal pertama yang membuka jalan bagi pembebasan tahanan Razia Agustus adalah jatuhnya pemerintahan Sukiman pada Februari 1952.

Pemerintahan baru segera terbentuk, yakni hasil koalisi PNI-Masyumi. Namun, berbeda dari sebelumnya, tampuk PM dijabat oleh Wilopo dari PNI. Sejak awal, koalisi yang dibangun sudah sangat lemah.

Di mana, PNI mencurigai motivasi keagamaan Masyumi. Kecurigaan yang membuat PNI berusaha mencari sekutu untuk menunda pemilihan umum (Pemilu) karena takut bahwa Masyumi mungkin akan menang jika Pemilu berlangsung sesuai jadwal.

Kesempatan dari PNI itu dimanfaatkan oleh PKI yang menawarkan diri dengan strategi front persatuan nasionalnya. Di sinilah, Aidit – yang telah mengatur ulang strategi partai selama bersembunyi dari razia, menghasilkan salah satu buah pikiran, yakni –  mendefinisikan PNI bukan lagi sebagai feodal, tetapi sebagai borjuis nasional yang dapat diajak bekerja sama.

Hal ini juga terkait dengan pendukung kedua partai yang mayoritas Jawa Abangan. Hasil hubungan PNI dengan PKI ini membuat orang-orang yang ditangkap dalam Razia Agustus dibebaskan.

 

Farras Pradana

Editor: Irfan Arfianto

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar