XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Review Buku Dwilogi Perjalanan Anarki: Sepasang yang Melawan


"Aku berada di tempat di mana aku bisa menjadi seorang yang tidak menemukan kekuatan harta, tahta dan tentara."

Demikianlah sepotong kalimat di atas sedikitnya menggambarkan karakter dari El, seorang anggota UKM Teater, dengan kepribadian merdeka, penuh idealis, dan mencintai alam. Begitulah dia di cap sebagai ikon mahasiswa yang urakan. Berbanding terbalik dengan El, Sekar merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ia dikenal sebagai sosok yang cantik, pintar, komplit dengan pribadi yang begitu patuh. Kedekatan mereka berawal dari kemarahan seorang Dosen bernama Bu Ani yang tersinggung akibat perbuatan mereka. Bermula dari titik itulah mereka akhirnya dijuluki “Sepasang yang Melawan”.


Banyak peristiwa terjadi antara dua sejoli ini, hingga akhirnya perjalanan membawa mereka ke Gunung Rinjani. Dari gunung itulah, bersama EL, Sekar menemukan banyak sekali makna kehidupan.  Gunung tersebut menjadi persimpangan kisah  yang membuat Sekar menjadi pribadi yang lebih bijak terhadap semesta. Di mana sebelumnya kita dipertontonkan dengan kekacauan yang  Sekar lakukan, seperti mencuci baju dengan sabun di Danau Segara Anak, hingga memutuskan turun gunung sendirian. Akan tetapi, berikut hari ia pun memetik arti penting dari penjelajahan yang mereka berdua lakukan, bahwasanya, “Alam memang selalu misterius. Sefasih apa pun seorang manusia mengenal alam, sewaktu-waktu ia selalu bisa membuat manusia merasa bodoh dan sadar, bahwa manusia adalah tempatnya keterbatasan dan ketidaktahuan.”


Setelah turun gunung, El dan Sekar  menjadi sepasang kekasih. Mereka kemudian  banyak melakukan petualangan yang menyenangkan dan penuh makna.  Karakter El yang kuat telah menyihir Sekar untuk menjadi dirinya sendiri, sampai membuatnya meninggalkan popularitas dan jabatannya. Selain itu, pertemuannya dengan El juga berhasil menyadarkannya dari pikiran pragmatis, yang kolot. Demikianlah sosok El begitu banyak mengubah jalan hidupnya.


Pernah suatu ketika setelah perkuliahan selesai, Sekar harus pulang ke rumahnya di Bandung. Sesampainya di kota asal, Sekar harus berhadapan dengan persoalan perjodohan yang dilakukan oleh Ayahnya. Sekar kemudian melarikan diri dengan El, pergi mencari pekerjaan di Surabaya. Kini dalam usaha mencari pundi uang tersebut, idealisme dan mental mereka benar-benar di diuji dengan rintangan besar yang biasa kita sebut dengan “Neo-Liberalisme”.
Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

Begitulah perjalanan mereka tidak cukup diceritakan dalam satu Novel. Setelah petualangan sebelumnya, mereka memutuskan untuk kembali mendaki Rinjani. Kemudian hal tak terduga pun terjadi di akhir novel pertama Dwilogi Pejalan Anarki ini. Begitulah  kisahnya masih berlanjut di seri kedua. Novel  ini sangat menarik dibaca terutama untuk mereka yang mencintai alam, membenci Neo Liberalisme, dan penyeruput kopi. Banyak makna tersurat dan tersirat dalam perjalanan mereka berdua. Dari memahami arti kehidupan, menjaga keseimbangan alam, perjuangan,  hingga kepercayaan bagaimana semesta bekerja. Perjalanan mereka juga dipadu dengan romansa cinta yang unik, dibumbui pula dengan humor El yang cerdas.


Selain cukup ringan, novel ini juga cukup cerdas dalam menyoroti bagian lain dari kehidupan mahasiswa yang penuh petualangan. Indah, menyenangkan, dan menggugah hingga akhir lembar pantas disematkan di novel ini. Mungkin bagi Anda yang terbiasa menikmati keindahan Gunung, buku ini akan sangat memikat. Begitu pula dengan pecandu kopi dan mereka yang haus petualangan.  Lantas bagaimana wahai pemuja semesta? Apakah Anda tertarik membaca novel yang satu ini?

Disz

Editor: Rachmad Ganta Semendawai






Related Posts

Related Posts

Posting Komentar