"Aku berada di tempat di mana aku bisa menjadi seorang yang tidak menemukan kekuatan harta, tahta dan tentara."
Demikianlah sepotong kalimat di atas sedikitnya menggambarkan karakter dari El, seorang anggota UKM Teater, dengan kepribadian merdeka, penuh idealis, dan mencintai alam. Begitulah dia di cap sebagai ikon mahasiswa yang urakan. Berbanding terbalik dengan El, Sekar merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ia dikenal sebagai sosok yang cantik, pintar, komplit dengan pribadi yang begitu patuh. Kedekatan mereka berawal dari kemarahan seorang Dosen bernama Bu Ani yang tersinggung akibat perbuatan mereka. Bermula dari titik itulah mereka akhirnya dijuluki “Sepasang yang Melawan”.
Banyak
peristiwa terjadi antara dua sejoli ini, hingga akhirnya perjalanan membawa
mereka ke Gunung Rinjani. Dari gunung itulah, bersama EL, Sekar menemukan
banyak sekali makna kehidupan. Gunung tersebut menjadi persimpangan
kisah yang membuat Sekar menjadi pribadi yang lebih bijak terhadap
semesta. Di mana sebelumnya kita dipertontonkan dengan kekacauan yang Sekar lakukan,
seperti mencuci baju dengan sabun di Danau Segara Anak, hingga memutuskan turun
gunung sendirian. Akan tetapi, berikut hari ia pun memetik arti penting dari
penjelajahan yang mereka berdua lakukan, bahwasanya, “Alam memang selalu
misterius. Sefasih apa pun seorang manusia mengenal alam, sewaktu-waktu ia
selalu bisa membuat manusia merasa bodoh dan sadar, bahwa manusia adalah
tempatnya keterbatasan dan ketidaktahuan.”
Setelah
turun gunung, El dan Sekar menjadi sepasang kekasih. Mereka
kemudian banyak melakukan petualangan yang menyenangkan dan penuh
makna. Karakter El yang kuat telah menyihir Sekar untuk menjadi dirinya
sendiri, sampai membuatnya meninggalkan popularitas dan jabatannya. Selain itu,
pertemuannya dengan El juga berhasil menyadarkannya dari pikiran pragmatis,
yang kolot. Demikianlah sosok El begitu banyak mengubah jalan hidupnya.
Pernah
suatu ketika setelah perkuliahan selesai, Sekar harus pulang ke rumahnya di
Bandung. Sesampainya di kota asal, Sekar harus berhadapan dengan persoalan
perjodohan yang dilakukan oleh Ayahnya. Sekar kemudian melarikan diri dengan El, pergi
mencari pekerjaan di Surabaya. Kini dalam usaha mencari pundi uang tersebut,
idealisme dan mental mereka benar-benar di diuji dengan rintangan besar yang
biasa kita sebut dengan “Neo-Liberalisme”.
Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Begitulah
perjalanan mereka tidak cukup diceritakan dalam satu Novel. Setelah petualangan
sebelumnya, mereka memutuskan untuk kembali mendaki Rinjani. Kemudian hal tak
terduga pun terjadi di akhir novel pertama Dwilogi Pejalan Anarki ini.
Begitulah kisahnya masih berlanjut di seri kedua. Novel ini sangat
menarik dibaca terutama untuk mereka yang mencintai alam, membenci Neo
Liberalisme, dan penyeruput kopi. Banyak makna tersurat dan tersirat dalam
perjalanan mereka berdua. Dari memahami arti kehidupan, menjaga keseimbangan
alam, perjuangan, hingga kepercayaan bagaimana semesta bekerja.
Perjalanan mereka juga dipadu dengan romansa cinta yang unik, dibumbui pula dengan
humor El yang cerdas.
Selain cukup ringan, novel ini juga cukup cerdas dalam menyoroti bagian lain dari kehidupan mahasiswa yang
penuh petualangan. Indah, menyenangkan, dan menggugah hingga akhir lembar pantas
disematkan di novel ini. Mungkin bagi Anda yang terbiasa menikmati
keindahan Gunung, buku ini akan sangat memikat. Begitu pula dengan pecandu kopi
dan mereka yang haus petualangan. Lantas bagaimana wahai pemuja semesta?
Apakah Anda tertarik membaca novel yang satu ini?
Disz
Editor: Rachmad Ganta Semendawai