50 tahun yang
lalu 20 juta orang berkumpul di Fifth Avenue di New York untuk menyuarakan
kegundahan atas kerusakan lingkungan. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh
tumpahnya 8000 barel minyak di Santa Barbara California dan tercemarnya sungai
di Ohio. Gerakan ini diprakarsai oleh seorang senator yaitu Gaylord Nelson. Kesadaran
masyarakat akan lingkungan saat itu diawali oleh seorang perempuan ahli
biologi, Rachel Carson yang menerbitkan buku Silent Spring tahun 1962.
Kesadaran
masyarakat juga didorong oleh Gaylord Nelson yang mengecam kerusakan lingkungan
pada pidatonya kala menjadi senator tahun 1969. Namun, ia tidak hanya berpidato
di gedung senator, tetapi ia juga menjadi pengajar di berbagai universitas. Sehingga ia dapat menyebarkan keresahannya di kalangan
mahasiswa. Tak heran, mahasiswa menjadi salah satu massa yang mendominasi
kampanye pada 22 April 1970 . Pada hari itu terjadi momentum yang diperingati sebagai Hari Bumi.
Empat tahun kemudian aksi tersebut berhasil mengubah berbagai kebijakan level negara menjadi
pro-lingkungan.
Kebijakan
tersebut berhasil mengubah paradigma pembangunan di Amerika menjadi lebih ramah
lingkungan. Namun, hal ini berbeda dengan negara-negara berkembang yang baru
saja memulai pembangunan bersamaan dengan maraknya industrialisasi.
Negara-negara maju sudah menyadari akan pentingnya lingkungan. Maka dari itu
mereka mengalihkannya risiko kerusakan lingkungan pada negara-negara berkembang
melalui janji-janji investasi dan pinjaman modal bersyarat.
Indonesia
membuka investasi modal asing sejak tahun 70-an yaitu pada era Orde Baru
ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang penanaman
modal asing. Adanya peraturan tersebut membuka peluang para penanam modal dari
luar negeri untuk menanamkan modal di Indonesia. Di mana Soeharto kala itu
membutuhkan suntikan dana dengan dalih pembangunan.
Pengalihan aset
tersebut juga diikuti dengan pengalihan polutan produk sampingan industri.
Negara-negara maju kian melupakan prinsip bahwa bumi ini adalah satu kesatuan
sistem yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Kini mereka tidak lagi
melakukan kerusakan di negaranya, tetapi melakukan kerusakan di negara lain.
Tentu ini tetap tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pengrusakan
lingkungan pada seluruh elemen yang ada di bumi. Industrialisasi yang baru
dimulai di negara-negara berkembang menjadi pembenaran oleh negara-negara maju.
Hingga banyak negara-negara berkembang menyumbang angka besar dalam laju
deforestasi.
Sungguh
menggelitik jika ditelisik, negara-negara berkembang diberikan tugas untuk
menjaga hutannya dengan cara negara-negara maju memberikan bantuan untuk
melestarikan lingkungan. Akan tetapi, disisi lain mereka justru dengan
leluasanya tetap melangsungkan industrialisasi yang tidak ramah lingkungan.
Memang mereka memberikan insentif terhadap negara yang berhasil menjaga
hutannya yaitu diberikan melalui Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD). Dimana insentif itu berkisar antara US$ 17
miliar dan US$ 33 milyar per tahun sampai dengan tahun 2030. Akan tetapi, apakah yang mereka beri lebih banyak daripada yg mereka ambil?
Berbagai upaya
yang dilakukan beralasan untuk memperlambat perubahan iklim, padahal
perubahan iklim sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Menurut Murdiyarso
(2005) perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka yang
panjang (50-100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan
Gas Rumah Kaca (GRK). Bertambahnya gas rumah kaca tersebut didominasi oleh
unsur antropogenik daripada unsur alami. GRK alami dihasilkan dari interaksi
antara laut, atmosfer, dan letusan gunung berapi yang terjadi dalam periode
tertentu.
Sedangkan GRK
antropogenik dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang saat ini
digunakan hampir di seluruh negara. Senyawa GRK dapat bertahan hingga puluhan
tahun pada atmosfer, CO2 bertahan hingga 100 tahun, CH4 bertahan hingga 15
tahun dan N2O bertahan hingga 115 tahun. Maka perubahan yang terjadi saat ini
merupakan akumulasi dari proses yang terjadi 100 tahunan yang lalu. Dari
sinilah penting kemudian kita secara sadar berlaku untuk tidak
sewenang-wenang dalam merusak alam. Karena keberlangsungan kehidupan harus
tetap dijaga. Bukan untuk kita! Akan tetapi, untuk generasi yang akan datang.
Jika kekayaan alam yang berlimpah ruah sudah tidak dapat diwariskan, setidaknya
lingkungan yang cukup bersahabat masih bisa diwariskan.
Konvensi
perubahan iklim diterima sebagai komitmen politik Internasional tentang
perubahan iklim pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tentang Lingkungan dan
Pembangunan di Rio de Janeiro (1992). Kegiatan ini bertujuan untuk menstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan
manusia yang membahayakan iklim. Karena perubahan iklim yang terjadi tidak
hanya berdampak pada panasnya udara yang kita rasakan, tetapi juga berpengaruh
pada suhu rata-rata air laut. Bersamaan pula dengan pengaruhnya pada Antartika, yang
menyebabkan bertambahnya volume air laut, sehingga menimbulkan dampak buruk bagi
Indonesia.
Tragedi ini akan
menenggelamkan ribuan pulau-pulau kecil di Indonesia dengan meningkatnya muka
air laut 1,4-5,8 meter pada kurun waktu 101 tahun (1999-2100). Belum berhenti
sampai situ, karena hal ini tidak hanya mengancam pulau kecil, tetapi akan
menyebabkan mundurnya garis pantai sebagai penentu batas antar negara melalui
analisis citra penginderaan jauh (Khakim, 2013). Tentunya hal ini akan berdampak pada para nelayan dengan
menurunnya jumlah tangkapan ikan. Berdampak pula pada petani yang tidak bisa
memprediksikan kapan waktu tanam sehingga sering terjadi gagal panen. Berdampak
pula pada kita yang turut serta merasakan panasnya terik matahari berkali lipat
lebih panas dari 10 tahun yang lalu.
Konsistensi
Hari Bumi
Hari Bumi akan
selalu diperingati seirama dengan perubahan iklim yang akan terus terjadi. Hari
Bumi yang memiliki latar belakang semangat untuk mengurangi dampak buruk terhadap
lingkungan saat itu tidak boleh berhenti. Euforia peringatan Hari Bumi yang
berdampak hanya satu dua hari tidak boleh dibiarkan begitu saja. Karena tiap
hari harus kita buat sebagai hari bumi. Perubahan tidak akan terjadi jika tidak
adanya keikutsertaan seluruh elemen di negeri ini untuk mengimplementasikannya.
Peringatan Hari
Bumi hendaknya tidak hanya terhenti sebatas kegiatan seremonial belaka, namun harus berdampak
pula pada kebijakan-kebijakan yang pro-lingkungan. Karena hanya sebuah omong
kosong jika pemerintah menggembor-gemborkan pelestarian lingkungan, akan tetapi
kebijakan yang dikeluarkan justru merusak lingkungan. Hal ini juga berlaku pada
diri pribadi. Jangan-jangan kita mengkritik pengrusakan lingkungan, tetapi di
sisi lain kita justru turut ambil bagian dalam menyebarkan kezaliman bagi bumi
tercinta.
Triyas
Chusnul F
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dissara