Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Lagi-lagi kita akan
membicarakan soal Soekarno. Namun, bukan lagi membicarakan sosok Soekarno
sebagai tokoh. Lebih tepatnya kita
akan membicarakan buah pikirannya yang cukup terkenal yakni sosialisme
keindonesiaan, “Marhaenisme”. Tentu ide Marhaenisme tidak berangkat dari ruang
kosong, ialah H.O.S Cokroaminoto, yang memperkenalkan lebih jauh tentang paham
sosialisme kepada Soekarno. Selain itu di waktu yang sama, ada pula andil
Alimin dan Muso, memperkenalkan tentang marxisme kepada Bung Karno. Dari titik
itulah kelak Soekarno mencetuskan sebuah paham tentang sosialisme keindonesiaan
yakni “Marhaenisme”. Sayangnya, kini buminya—tempat ideologi ini berasal—seolah
menolak ingat akan pentingnya pemahaman ini.
Pemikiran yang kala
itu menjadi senjata ampuh mengantarkan Indonesia keluar dari belenggu
penjajahan, justru dilupakan oleh masyarakat yang dibebaskan itu sendiri.
Semenjak peristiwa Gerakan 30 September bersamaan dengan tumbangnya rezim Orde
Lama (Demokrasi Terpimpin-red), membuat Marhaenisme dan paham kerakyatan
lainnya menjadi tidak boleh dipelajari. Hal itu diperparah dengan buku-buku
yang berbau Marxisme-Komunisme diberangus dengan bara api kemarahan dan
ketakutan.
Hingga kini ketakutan
yang berlebih itu bersemayam dengan segala bentuk pelarangan hal yang berbau
“kiri”, hingga berakhir menjadi mandeknya upaya pelurusan sejarah. Alhasil saat
ini, orang masih merasa phobia terhadap pemahaman “kiri”
terutama yang berbau komunisme. Padahal, terdapat arti penting mempelajari
kembali ideologi yang merefleksikan pemikiran ekonomi-politik Soekarno.
Pemikiran yang melawan penindasan terhadap wong cilik dan interpretasi alat
perjuangan yang sesuai dengan corak budaya masyarakat Indonesia.
Marhaenisme
secara teoritik diambil dari dialektika yang dikembangkan oleh
Hegel dan didukung oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Sedangkan kata
“Marhaen” diambil dari seorang petani sederhana yang sedang bekerja di sawah
kala bertemu Soekarno secara tidak sengaja tahun 1920-an di Bandung. Pertemuan
inilah yang menjadi momentum penting dalam pembentukan paham Marhaenisme.
Ideologi yang
dicetuskan sejak 1927 ini, memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat
pribumi dalam melawan penjajahan pada masa Pergerakan Nasional. Selain itu,
cita-cita Marhaenisme juga tidak hanya sekedar untuk mengusir penjajah Belanda,
tetapi juga berniat membakar habis ideologi kapitalisme secara keseluruhan.
Entah kapitalisme pribumi maupun kapitalisme asing.
Tentunya dalam sebuah
ideologi terdapat pemahaman dasar yang tetap dan menjadi pakem, meskipun
terjadi perubahan zaman. Pemahaman ini yang terus menjadi landasan dalam
bersikap maupun bertindak. Dalam upaya mewujudkan tujuannya, barulah sebuah
paham maupun ideologi dikonkretkan dalam asas perjuangan dengan taktik yang
berbeda-beda sesuai zaman dan kondisi yang dihadapi. Demikian pula dengan
ajaran Marhaenisme, terdapat asas yang menjadi dasar pemahaman dan asas
perjuangan dalam mewujudkan cita-citanya.
Soekarno menyadari
bahwa pergerakan yang kacau di dalam sebuah organisasi, yang tidak memiliki landasan
dan asas perjuangan yang kuat tidak akan mampu mencapai tujuan yang ingin
dicapainya. Maka asas yang selalu dipegang dan menjadi pemahaman dari kaum
Marhaen ialah "asas sosio-nasionalisme, asas sosio-demokrasi, kebangsaan,
dan ke-marhaen-an”. Demi mewujudkan tujuannya, kaum Marhaen memakai asas
perjuangan non-kooperasi, massa aksi, dan masih banyak lagi. Bagi kaum Marhaen,
selama masyarakat yang adil dan makmur belum terwujud, revolusi tetaplah
diperlukan.
Seperti yang
dijelaskan tadi, Marhaenisme mengedepankan “sosio-nasionalisme” dan
“sosio-demokrasi” dalam perjuangan ekonomi-politiknya. Dua istilah ini
merupakan bikinan kaum Marhaen yang mendeskripsikan landasan pemahamannya.
Sosio-nasionalisme yang dicetuskan oleh Soekarno merupakan nasionalisme ekonomi
dan politik. Suatu nasionalisme yang menganjurkan kebebasan dari imperialisme
dan kapitalisme sebagai alat mengurangi kebodohan dan ketertinggalan di masyarakat.
Nasionalisme kaum Marhaen juga menolak kepentingan borjuasi yang hanya
menguntungkan segelintir orang saja. Demikianlah paham marhaenisme ialah
konsep nation yang kedua kakinya berdiri dalam masyarakat.
Lalu bagaimana dengan
“sosio-demokrasi”? Sosio-demokrasi hadir karena adanya sosio-nasionalisme.
Sosio-demokrasi ini mampu berdiri jika persatuan dan kesatuan massa aksi kaum
Marhaen dapat terbentuk. Bagi penganut Marhaen, demokrasi tidak boleh hanya
menguntungkan golongan elite politik dan pemilik modal semata. Akan tetapi,
permusyawaratan untuk kepentingan orang banyak yang melahirkan kesejahteraan
sosial. Soekarno mengatakan demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi barat,
melainkan demokrasi politik dan ekonomi dengan keadilan sosial yang dalam
bahasa belanda, “sociale rechtvaardiheid”. Artinya sistem ini tidak
bersifat liberalistis yang hanya memberikan kebebasan dalam politik saja,
tetapi juga memperhatikan perekonomian rakyat. Kesejahteraan untuk umat Marhaen
adalah “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”.
Lantas bagaimana
dengan posisi perempuan dalam Marhaenisme. Dalam konsep pemahaman Marhaenisme,
perempuan juga dilibatkan untuk berjuang dalam menghancur leburkan stelsel kapitalisme
dan imperialisme. Marhaenisme dalam pemikiran Soekarno adalah sebuah ideologi
perjuangan sekaligus pembebasan. Termasuk bagi kaum Hawa. Inilah Feminis ala
Marhaenisme yang tidak boleh membeda-bedakan organisasi berdasarkan gender.
Bisa dikatakan kesetaraan gender yang digaungkan saat ini, sebenarnya sudah
diperjuangkan kaum Marhaen sejak masa pergerakkan nasional.
Menurut Soekarno,
perempuan tidaklah harus mempunyai organisasi sendiri yang terpisah dengan
laki-laki. Akan tetapi, melebur dalam satu aksi massa yang tidak
dipisah-pisahkan. Aksi massa haruslah berasal dari orang banyak untuk memenuhi
kehendak ekonomi politik mereka (Malaka: 2019). Maka, perbedaan gender bukan
menjadi penghalang dalam perjuangan ekonomi-politik Marhaenisme. Perempuan juga
memiliki kesempatan yang sama dalam perjuangannya. Sebab, semuanya sama-sama
mendapatkan dampak dari kebiadaban sistem kapitalisme dan imperialisme. Aktivis
perempuan yang “seia-sekata” ikut berjuang dalam satu wadah organisasi ini
disebut kaum Marhaeni.
Marhaenisme merupakan
basis yang menghendaki terbentuknya susunan masyarakat yang menyelamatkan
kepentingan kaum Marhaen. Marhaen bukanlah kaum proletar saja, tetapi juga
kelompok masyarakat melarat yang lain, seperti nelayan, pedagang kecil,
tukang ngarit, petani dan kaum melarat lainnya. Menurut Sang
Proklamator, orang yang memiliki alat produksi sendiri, memiliki tanah yang
digarap sendiri, namun tetap melarat--itulah kaum Marhaen. Konsep Marhaen bukan
hanya mewakili kaum buruh, tetapi masyarakat yang sengsara dan tertindas.
Meskipun, semua kaum
Marhaen ini dimelaratkan oleh sistem imperialisme dan kapitalisme yang
menindas. Akan tetapi, dalam perjuangan bersama yang dilakukan oleh kaum
Marhaen, kaum proletarlah yang mengambil andil lebih besar daripada kelompok
masyarakat yang lain. Karena kaum proletarlah yang lebih mengetahui kejahatan
modernitas dan kapitalisme. Kaum proletarlah kelas bentukan dari kapitalisme
dan imperialisme yang lebih mengenal haus darahnya sistem ini daripada kaum
Marhaen yang lain. Lamun, tentu semuanya tetap berjuang demi terwujudnya
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi menuju kesejahteraan bangsa Indonesia.
Demikianlah
pokok-pokok ajaran Marhaenisme dengan Soekarno sebagai pemikir sentralnya.
Sudah seharusnya pemikiran ini dipelajari kembali, karena hingga saat ini
cita-cita Marhaenisme masih menjadi utopia yang belum terealisasi. Saya kira
Marhaenisme masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Karna dewasa ini
sistem kapitalisme yang menindas justru makin mengakar kuat di Indonesia,
walaupun kolonialisme sudah hengkang. Sistem yang telah menyengsarakan
masyarakat dengan perbudakan bagi kaum pekerja oleh buah tangan kaum borjuasi
ini, makin menggila. Pada gilirannya kemiskinan dengan jurang kesenjangan
sosial yang semakin lama semakin membengkak.
Angka rasio gini Indonesia menurut Credit
Suisse adalah 0,49. Rasio ini berarti bahwa 1% orang terkaya menguasai
49% kekayaan Indonesia. Sistem yang tidak berkeadilan dan nihil humanitas ini
sudah selayaknya dilawan! Akan tetapi, perjuangan melawan kapitalisme
dibutuhkan persatuan aksi massa yang kuat dari rakyat melarat Indonesia. Maka
Marhaenisme dapat menjadi politik alternatif untuk menyatukannya atau
setidaknya menjadi tonggak awal membangun kesadaran progresif. Inilah
Marhaenisme, inilah sosialisme Indonesia yang menjadi lambang dari pertemuan
kembali nasionalisme kita.
Amirudein Al
Hibbi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai