XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Keluar Mati Tidak Keluar Pun Tetap Mati, Derita Buruh di Bulan Ramadhan

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

Bulan Ramadhan tentu moment yang ditunggu-tunggu bagi umat Islam di seluruh dunia. Masyarakat muslim biasa menyambut bulan ini dengan penuh suka cita. Pengikut Muhammad percaya, pada bulan Ramadhan pintu kebaikan dibuka selebar-lebarnya dengan pahala yang berlipat ganda. Demikianlah puasa mengandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya dari endapan buruk (bagi kesehatan) dan akhlak yang rendah (Ibnu Kasir: 2000). Berbagai keistimewaan ini membuat Ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Akan tetapi, Ramadhan kali ini tampak berbeda dengan Ramadhan sebelum-sebelumnya.

Ramadhan tahun ini berlangsung di tengah merebaknya pandemi Covid-19. Demi memotong rantai penyebaran virus Covid-19 banyak kebijakan usaha yang diterapkan oleh pemerintah, seperti kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Begitu pula pada sektor pendidikan, pembelajaran sekolah diubah dari tatap muka menjadi homeschooling. Hal ini membuat berbagai budaya dan tradisi kala bulan Ramadhan menjadi tersendat dan pada titik tertentu tidak bisa dilakukan seperti biasa. Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam bulan Ramadhan seperti, buka bersama, ngabuburit, bahkan mudik menjadi terhambat untuk dilakukan oleh umat muslim.

Pembatasan aktivitas masyarakat ini dimaksudkan untuk memutus rantai penyebaran virus corona tersebut. Akan tetapi, pembatasan ini tidak berlaku sepenuhnya untuk para buruh. Pada kondisi bahaya pandemi Covid-19 ini, para buruh justru masih diwajibkan untuk bekerja. Kelas pekerja tetap diperas keringatnya, meskipun ancaman kematian membayang-bayanginya.

Padahal berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada 17 Mei 2020 sudah tercatat 17.025 orang warga Indonesia yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Pun sudah 1.089 orang dinyatakan meninggal dunia. Meninggal bung! Ini bukan sekedar data, ini adalah satu bukti besar bahwa kasus Covid-19 di Indonesia terus memburuk. Terakhir saja dalam empat hari, peningkatan jumlah orang yang terjangkit virus corona mencapai kisaran 4000 orang.

Semakin bertambah banyaknya orang yang terinfeksi Covid-19 membuat resiko penularannya semakin tinggi. Resiko pun hadir terutama bagi masyarakat yang terpaksa harus tetap beraktivitas di luar rumah. Kondisi seolah tidak memberi mereka pilihan. Sederhananya bila mereka tidak bekerja, mereka tidak bisa makan. Maka bagi mereka yang tidak mempunyai simpanan harta yang cukup, resiko terinfeksi pun kian rentan. Terbukti dua orang karyawan di salah satu pabrik rokok di Surabaya meninggal setelah terpapar virus corona saat bekerja. Dilansir dari kompas.com, Saat ini, ratusan pekerja di pabrik tersebut sedang mengalami karantina di salah satu hotel Surabaya.   

Pandemi corona pada bulan Ramadhan ini malah semakin menderitakan para kelas pekerja. Pada bulan yang penuh berkah ini justru kelas pekerja tidak dapat menikmati Ramadhan dengan riang gembira. Orang yang berpuasa tentunya merasakan rasa lapar karena seharian tidak dapat makan. Sedangkan kelas pekerja seharian berproduksi tanpa adanya peringanan jam kerja. Hal ini semakin membuat para pekerja bertambah lemas dan capek. Imunitas yang rendah dengan tubuh yang lemas membuat para pekerja memiliki resiko yang semakin tinggi terkena virus corona.

Pekerjaan berat yang dipikulnya, terkadang membuat para buruh merelakan untuk tidak berpuasa dalam bekerja. Tentu ini berkaitan dengan jenis pekerjaan yang berat. Maka tak heran banyak buruh yang di bulan Ramadhan ini, tak kuat menahan rasa lapar dan haus. Walaupun upahnya tidak seberapa dibandingkan akumulasi keuntungan yang diperoleh bosnya. Para buruh tetap bekerja merelakan ibadahnya yang wajib untuk memenuhi kewajibannya yang lain. Sandungan ekonomi, membuat kaum pekerja ini merelakan pahala puasanya.

Dengan kondisi seperti ini, seolah-olah mereka merelakan dirinya untuk menghadapi kerentanan virus corona karena dipaksa bekerja. Inilah yang disebut dalam penelitian Munir (2013), karya Ramly. Ia menjelaskan bahwa penghisapan ini menjadi semacam syarat dalam mencapai kebahagiaan bagi kapitalis, tidak boleh tidak, individu dipaksa menderita meskipun individu tersebut berasal dari kelompok mayoritas (kelas pekerja).

Seolah keluar mati, tidak keluar pun tetap mati. Ancaman kesengsaraan pada masa pandemi Covid-19 ini sebenarnya bukan hanya menimpa para buruh yang bekerja saja. Akan tetapi--barang siapa yang tidak bekerja—resiko kelaparan dapat menimpa diri dan keluarga ketika hanya berada di rumah saja. Pun himbauan untuk “di rumah saja” dari pemerintah agaknya tidak berlaku bagi sebagian kelas pekerja.

Sebab banyak buruh yang saat ini “di rumah aja” adalah mereka yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sungguh ironis kehidupannya, seolah tidak punya pilihan untuk dirinya sendiri agar dapat terlindung dari virus corona, nyawanya seakan-akan berada ditangan bosnya. Bagi kelas pekerja yang bergantung dengan upah, ketakutan terjadi bukan hanya karena Covid-19. Namun, lebih dari itu, mereka lebih takut jika harus dipecat. Mereka (buruh) dipaksa harus bekerja atau mengikuti anjuran pemerintah “di rumah saja" dan berakibat PHK oleh majikan.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini menjadi jalan aman bagi perusahaan untuk menyelamatkannya dari kerugian. Terbukti saat ini, PHK telah banyak dilakukan oleh perusahaan terhadap para pekerjanya. Berdasarkan data dari kementerian tenaga kerja tertanggal 20 April 2020 yang dilansir di kompas.com. Sudah terdapat 3 juta buruh yang terkena PHK atau dirumahkan.

Demi mengatasi kerugian dan kebangkrutan, langkah PHK pun diambil perusahaan. Tentu ini bukanlah kebijakan yang berkeadilan dan memanusiakan manusia. Pemecatan hanya akan merugikan para pekerja, dan menyelamatkan keuntungan bagi segelintir orang saja. Mereka yang di-PHK tentu juga akan mengalami kesengsaraan, kelaparan, dan mungkin dapat berujung pada kematian bagi diri dan keluarganya.

Pada saat pandemi ini, para kelas pekerjalah yang paling rentan alami kesengsaraan. Demikian pula pada saat krisis ekonomi atau krisis ekologi, kelas pekerja adalah orang yang paling tertonjok dampaknya. Padahal mereka tidaklah menjadi penyebab krisis tersebut. Nasibnya cuma ada dua pilihan, bekerja membahayakan nyawanya atau mengisolasi diri dan tidak mendapat upah yang ujung-ujungnya juga menimbulkan kesengsaraan.

Keuntungan untuk segelintir orang ini memberikan malapetaka terhadap banyak orang, terkhusus kelas pekerja. Terus bertambahnya orang yang terinfeksi corona bukanlah kesalahan rakyat yang ngeyel untuk tidak di rumah saja. Melainkan, para pemilik modal yang tetap memaksakan mengakumulasi profit, meskipun dunia sedang berperang melawan pandemi corona.  Pun kita harus menyoroti pula keengganan pemerintah untuk menerapkan Undang-undang Karantina Kesehatan (UU No. 6 Tahun 2018).

Pola kerja yang tidak berkeadilan ini sudah sepantasnya dihentikan, jika menginginkan wabah corona berhenti penyebarannya. Maka tindakan intervensi berupa kebijakan yang menyelamatkan seluruh masyarakat dari pandemi corona, sekaligus kemiskinan harus dipikirkan oleh pemerintah. Akan tetapi, agaknya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pada masa pandemi ini terlihat tidak berpihak kepada rakyat, apalagi kelas pekerja. Anggaran negara sebesar 150 Triliun Rupiah justru digunakan untuk memulihkan perekonomian pasar yang mengalami kerapuhan akibat wabah corona.

Kebijakan ini jelas hanya menguntungkan penguasa dan pemilik alat produksi saja. Sebetulnya banyak kebijakan yang mampu dilakukan oleh pemerintah jika memang berniat selamatkan rakyat dari berbagai dampak wabah corona. Unemployment Insurence (Asuransi Pengangguran) dan memperkuat jaminan sosial sebenarnya dapat menjadi alternatif pilihan kebijakan pada masa krisis semacam ini. Pun kita masih menunggu undang-undang karantina dimanfaatkan. Tanpa menghentikan perusahaan non-esensial yang masih bekerja dengan memberikan jaminan hidup kepada kelas pekerja, bencana pageblug Covid-19 akan sulit untuk berakhir.  

Referensi



Amirudein Al Hibbi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar