XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Aku Dilecehkan, Kasusku (Sempat) Diabaikan, dan Pelaku Belum Dijerat Hukuman

Ilustrasi: Saptariaptr

Peringatan:
 Tulisan ini dapat memicu pengalaman traumatis, khususnya bagi penyintas kekerasan seksual. Kami menyarankan anda tidak melanjutkan membaca apabila dalam keadaan rentan. Kronologi dan detail cerita dalam tulisan ini sudah mendapatkan izin dari penyintas.

****

Pada mulanya hanya sebuah rapat biasa. Namun, siapa sangka, rapat organisasi itu berubah menjadi malapetaka. Maryam (bukan nama sebenarnya), mengingat peristiwa kelam yang ia alami tepat setahun yang lalu itu. Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini mengalami tindak kekerasan seksual oleh rekan sesama anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bermarkas di Student Center.

Di hadapan dosen perempuan dan seorang pendamping, di bilik kecil kecil berukuran 3x4 meter laboratorium prodi yang kedap suara, Maryam menjahit kisahnya. Matanya berkaca-kaca. Sambil sesekali menundukkan kepala, ia mulai bercerita.

Pada hari itu, kira-kira Rabu, 27 Januari 2021, UKM-nya tengah menggelar rapat rutin bulanan. Akibat pembatasan aktivitas di kampus selama masa pandemi Covid-19, pertemuan itu pun digelar secara luring dan daring. Rapat tatap muka diadakan di rumah salah satu alumni UKM, daerah Mlati, Sleman. Sementara Maryam, mengikuti rapat secara daring melalui ruang virtual di indekosnya, yang beralamat di Karangmalang, dekat kampus UNY.

Selama rapat berjalan, Maryam mengaku tidak menemui hal-hal ganjil. Rapat berlangsung seperti biasanya. Akan tetapi, ketika memasuki waktu  Zuhur, kira-kira pukul 12 siang, seorang kakak tingkat di UKM-nya yang bernama R (inisial) memintanya untuk datang ke rapat tatap muka di rumah alumni. Saat itu, R tercatat sebagai anggota aktif UKM dengan jabatan Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO).

“Awalnya, aku mager (males gerak), karena sepertinya rapat sudah mau selesai juga,” ujarnya, sebagaimana dikutip oleh tim kolaborasi liputan kekerasan seksual di UNY.  

“Tapi akhirnya aku iyakan, karena aku merasa gak enak aja.”

Singkat cerita, R menjemput Maryam ke indekosnya, dan akhirnya mereka berdua berangkat bersama ke rumah alumni. Ketika sampai di lokasi, ia menyebut, di sana  masih ramai dengan peserta rapat. Namun, ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, keadaan rumah sudah terlihat sepi. Hanya ada sekitar lima atau enam orang yang sedang mengobrol di teras. Karena berpikir rapat sudah selesai, Maryam pun meminta R untuk kembali mengantarnya pulang.

“Tapi, dia bilang kalau aku jangan pulang dulu. Katanya ‘gak enak, masa ada alumni baru datang langsung balik, sih’,” ujarnya, menirukan perkataan R. Alhasil, Maryam hanya mengiyakan saja. Meski sebelum ini, ia sebenarnya dijanjikan untuk diantar pulang selepas Mahgrib.

Sementara R menghampiri dan mengajak ngobrol beberapa alumni, Maryam memilih untuk masuk ke ruang tamu dan menonton drama korea di platform Netflix. Saat itu, posisi pintu masih terbuka, begitu pun dengan tirai jendela yang belum ditutup. Meski hari telah sore, tetapi langit belum begitu gelap, yang bikin dirinya masih dapat melihat orang-orang di teras dari ruang tamu tempatnya menonton drama korea.

Beberapa saat kemudian, ketika Maryam tengah asyik dengan serial drama Korea yang ia tonton, ia melihat R menerima telepon di ruang tamu. Setelah menutup telepon, R  mendekatinya, dan mengajak nonton film bareng. Maryam sempat menolak ajakan itu karena ia merasa malas dan risih. Meski pada akhirnya mereka menonton film bareng--yang setelah beberapa kali memilah, mereka memutuskan untuk menonton Jumanji.

Saat itu, posisi Maryam tengah duduk bersila di sofa, sedangkan R duduk lesehan di bawah dan bersandar pada badan sofa. Sementara gawai Maryam, yang dipakai untuk menonton film, mereka letakkan di atas meja. Dalam situasi ini, Maryam mengaku sama sekali tidak menaruh curiga kepada R karena memang hubungan pertemanan mereka selama ini terkesan dekat, layaknya kakak-adik, katanya. Pun, R sendiri juga merupakan teman dekat dari kekasih Maryam, yang artinya pria itu bukan orang asing baginya. Ketika itu, sejak menit awal fim diputar, R menutup pintu dan mematikan lampu. Demikianlah, mereka akhirnya menonton film bersama.

Saking asyiknya menonton film, Maryam tak mengingat saat itu tepatnya pukul berapa. Ia hanya sadar bahwa hari sudah mulai gelap ketika gawainya mendadak low-bat (baterai lemah), yang membuat R harus pergi ke teras untuk meminjam power bank. Setelah mendapatkan power bank, R kembali masuk ke ruang tamu. 

“Pikirku, karena sudah gelap makanya tirai jendela ditutup,” katanya. “Soal lampu dimatiin, aku sih waktu itu mikirnya biar fokus aja nontonnya,” Maryam mengimbuhkan.

Ketika kembali menonton film, posisi mereka berubah. Kini, gantian Maryam yang duduk lesehan di bawah dan bersandar pada badan sofa, sementara R berpindah di atas sofa. Dalam posisi inilah Maryam mulai merasakan perilaku-perilaku R yang membuatnya risih. Katanya, pria itu mulai mengelus-elus kepalanya bahkan menyentuh telinganya. Meskipun risih atas tindakan R, tapi ia mengaku sungkan untuk menegur.

Melihat gelagat Maryam yang terlihat risih, R sempat menghentikan tindakannya. Namun, beberapa saat kemudian, perilaku R malah semakin berlebihan. Dalam sekejap, tangannya secara sadar dan sengaja mulai menyentuh payudara Maryam, yang bikin dia sempat shock, freeze, tak tahu harus berbuat apa saat itu. Bahkan, ketika badan dan otaknya masih terasa membeku, R memaksa mencium Maryam dan mengajaknya ke belakang.

“Aku cuman bisa menggeleng kepala aja,” katanya, yang menandakan penolakan.

Melihat penolakan itu, R sempat berhenti. Situasi pun menjadi saling diam. Akan tetapi, setelahnya justru R makin nekad. Bahkan, ia memasukkan tangannya ke dalam pakaian Maryam yang membuat perempuan ini semakin takut. Maryam ingin menangis. Ia tak bisa berteriak dan hanya menarik napas dalam-dalam, coba mengumpulkan tenaga untuk menyingkirkan tangan R dari tubuhnya. Setelah tenaganya terkumpul, akhirnya ia mampu menghalau tangan R, yang bikin pria ini menghentikan aksinya.

Air mata Maryam terasa mau tumpah saat itu.

Pada momen tersebut, salah seorang senior masuk ke ruang tamu. Maryam, yang tengah menahan tangisnya langsung beranjak berdiri dan meminta untuk segera diantarkan pulang. Sebenarnya R menawarkan diri untuk mengantarkannya balik, tapi ditolak oleh Maryam. Sementara wajah senior terlihat kebingungan dengan situasi tersebut.

“Akhirnya, aku diantarkan oleh salah satu alumni.”

Ia beranjak pulang dari tempat itu. Namun, sepanjang perjalanan pulang, Maryam tak mampu menahan tangisnya. Akhirnya, dalam perjalanan, sambil berderai air mata, ia memberanikan diri untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada alumni yang mengantarnya pulang itu.

Keesokan harinya, R datang ke indekos Maryam. Ia berniat menemui Maryam dan meminta maaf atas semua yang ia lakukan kemarin. Namun, Maryam menolaknya. Ia masih trauma dan memilih untuk mengurung diri. Permintaan maaf pun R sampaikan via pesan Whatsapp (WA).


Kasus Ditutupi UKM, Korban Diintimidasi Teman
Maryam bukan satu-satunya perempuan yang mengalami tindak kekerasan seksual di UKM-nya. Ia mengatakan, bahwa setidaknya ada tiga korban R selain dirinya yang ia ketahui. Berdasarkan keterangannya, dua korban lain masih se-UKM dengannya. Sementara satu yang lain merupakan mahasiswa dari sebuah Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada).

“Aku mengenal para korban. Bahkan, salah satunya adalah teman dekatku di UKM. Kita juga sering membahas ini,” tegasnya.

Keterangan Maryam, yang menyebut ada korban lain selain dirinya diafirmasi oleh salah satu informan tim kolaborasi bernama Dodik (bukan nama sebenarnya). Dodik, yang menolak disebutkan nama terangnya, kala itu merupakan salah satu pengurus UKM yang punya posisi cukup penting.

Menurutnya, beberapa hari setelah rapat bulanan itu, kekerasan seksual yang menimpa Maryam mulai ramai dibicarakan di ranah internal UKM. Katanya, salah seorang alumni menceritakan kejadian yang menimpa Maryam kepada beberapa anggota UKM ketika mereka sedang bermain futsal. Hal tersebut sontak membuat situasi memanas, karena kekasih Maryam juga berada di tempat futsal ketika alumni bercerita.

“Pacar Maryam marah. Bahkan, si pelaku akan didatangi dan dipukuli malam itu juga, meski akhirnya bisa dihalangi,” kata Dodik, berkisah pada tim kolaborasi.

Alhasil, beberapa hari setelah kejadian itu, Ketua UKM mengumpulkan para anggota untuk membahas kasus ini. Dalam forum ini, diketahuilah bahwa Maryam ternyata bukan hanya satu-satunya korban. Selain Maryam, ada pula laporan yang menyebut bahwa terdapat dua korban lain dari pelaku R di UKM ini.

Selain itu, nyatanya, R juga bukan satu-satunya pelaku. Melalui pertemuan itu pula diketahui bahwa ada pelaku lain di UKM tersebut.

“Bahkan, menurutku, kalau mau buka-bukaan, sih, mungkin ada lebih dari dua pelaku. Dua orang ini baru yang ketahuan aja,” ujarnya, yang ditemui pada Kamis, 10 Februari 2022.

Dalam forum itu pula, Dodik juga mengatakan bahwa dua pelaku ini pada akhirnya diberikan sanksi internal berupa pencabutan hak-hak mereka sebagai anggota. Lebih jauh, pelaku juga dilarang datang ke agenda-agenda yang diselenggarakan oleh organisasi. Meski demikian, sebagaimana diungkapkan Dodik dan Maryam, sanksi ini hanya berakhir di mulut saja, karena beberapa kali dirinya masih menjumpai pelaku datang ke sekretariat UKM, bahkan ke agenda latihan rutin mereka.

Selain sanksi yang ia rasa “kurang tegas”, Dodik juga menyayangkan sikap UKM yang cenderung tertutup dan nirempati kepada korban. Menurut Dodik, UKM cenderung cuci tangan, “mengharamkan” kasus ini untuk dibahas oleh anggota lain. Mirisnya lagi, UKM terkesan lepas tanggung jawab. Mereka sama sekali tak menyediakan pendampingan hukum maupun pemulihan mental bagi korban yang sudah jelas mengalami trauma.

“Aku paham mengapa UKM cenderung tertutup atas kasus ini,” kata Dodik dengan nada begitu pelan seraya melihat sekitar. “Tahun ini, UKM akan menggelar event besar di auditorium. UKM juga sedang menyusun anggaran buat pengadaan perlengkapan.”

Ia melanjutkan, “Jika sampai kasus ini diketahui rektorat, orang-orang UKM khawatir ini bakal mengganggu semua rencana yang sudah disusun.”

Kelakuan pelaku yang sedemikian jelas itu, sangat disayangkan tidak ditanggapi dengan tepat oleh UKM yang bersangkutan. Menurut Dosen Pendidikan Sosiologi UNY Sasiana Gilar Apriantika, hal itu kerap terjadi lantaran kasus kekerasan seksual masih dianggap sebagai “aib”. Selayaknya aib, kasus ini akhirnya hanya disimpan rapat-rapat dan haram hukumnya bagi orang lain untuk tahu. Sehingga. Penanganannya pun dianggap tak perlu melibatkan pihak lain.

“Akhirnya yang terjadi adalah bentuk normalisasi, kekerasan seksual dianggap hal normal, yang kemudian orang-orang jadi tidak punya empati ke korban,” ujar dosen yang mengajar mata kuliah Gender, Keluarga, dan Intimasi kepada tim kolaborasi pada Minggu, 20 Februari 2022.

Padahal, idealnya sebuah organisasi harus bersikap terbuka dan tegas. Jika organisasi tersebut tidak mengambil tindakan tegas, Sasiana mengatakan, bahwa itu sama saja bahwa mereka telah membiarkan tindakan kekerasan seksual. Katanya, itu berarti mereka semua adalah pelaku.

Tidak hanya kurang tegas ke pelaku dan memilih bersikap terturup. Nyatanya, tekanan dari beberapa anggota UKM kepada korban juga terjadi. Sebagaimana diakui oleh Maryam, ketika dirinya sudah mulai berani terbuka bahkan berniat membuat laporan resmi ke kampus, beberapa teman dari UKM-nya justru mencacinya. Pesan-pesan singkat via WA yang isinya intimidatif, manipulatif, bahkan victim blaming tidak sedikit yang ia terima.

Bagaimana kalau tiba-tiba pelaku nekad lakuin hal-hal buruk?’, ‘kamu tega mau hancurin masa depan dia dengan menuntut DO?’,” kata Maryam, menceritakan isi pesan-pesan yang ia terima. “Pesan-pesan kayak gitu aku terima pas mereka tahu kalau aku bikin laporan resmi ke rektorat.”

Maryam sendiri tercatat melaporkan pelaku secara resmi per tanggal 26 Januari 2022, atau setahun setelah kejadian. Adapun, beberapa tuntutan yang ia ajukan antara lain penundaan kelulusan pelaku hingga perkara selesai—karena rencananya per tanggal 26 Februari 2022 pelaku akan wisuda, dan dikeluarkan dari kampus atau Drop Out (DO).

Tim kolaborasi sudah berusaha menghubungi F (inisial) Ketua UKM periode 2021 via pesan dan telepon WA, untuk mengonfirmasi hal-hal tersebut. Namun, hingga tulisan ini ditayangkan, belum ada jawaban dari pihak terkait. Bahkan, per Sabtu, 12 Februari 2022, pihak terkait justru mangkir dari agenda pertemuan yang sebelumnya telah disepakati dengan tim kolaborasi tanpa alasan yang jelas.


Laporan yang (Sempat) Diabaikan
Apa yang memantik keberanian Maryam hingga akhirnya bersuara atas apa yang ia alam setahun yang lalu itu?

Maryam mengisahkan, titik ini ia jalani dalam proses yang begitu panjang: dari minimnya support system dari UKM hingga diabaikannya laporan, yang membuat satu tahun kalender 2021 ia jalani dengan rasa traumatis, ketakutan, dan hilangnya rasa percaya atas orang lain.

Kekecewaan ini bermula pada pertengahan tahun 2021 lalu. Kala itu, ia dihubungi oleh pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) via Kementerian Pemberdayaan Perempuan (PP). Intinya, pihak BEM mengetahui masalah yang dialami Maryam dan siap mengakomodasi kasusnya melalui Kementerian PP. Maryam pun bersedia, yang membuat dirinya secara resmi melaporkan kasus tersebut ke BEM.

Singkat cerita, akhirnya ia bertemu dengan Menteri PP yang menjabat pada periode tersebut dan menceritakan semua yang dialaminya. Saat itu, Maryam melihat bahwa Menteri PP ini merupakan sosok yang baik, karena, katanya, “Ia rela jauh-jauh dari Magelang ke Jogja hanya untuk mendengar kisahku”. Bahkan, Menteri PP juga berjanji akan mendampingi kasus Maryam hingga tuntas.

Namun, Maryam harus kecewa. Baginya, janji itu tinggallah janji. Jangankan pendampingan hukum, untuk hal-hal dasar seperti pemulihan mental dan trauma pun tidak diakomodasi oleh BEM. Hingga masa jabatan sang Menteri PP berakhir, tak ada tindak lanjut atas kasusnya. Parahnya lagi, ketika diundang ke sebuah diskusi di LPM Ekspresi pada 5 September 2021, Menteri PP melaporkan bahwa UNY “Nol Kasus”. Sontak, ini membuat Maryam begitu kecewa, karena bukan hanya diabaikan, tapi ia juga merasa kasusnya tak dianggap.

Selain mengecewakan korban, klaim Nol Kasus” ini juga menjadi ironi. Pasalnya, sebagaimana dikonfirmasi oleh Ketua BEM KM UNY 2021 Mutawakil Hidayatullah, yang ia tahu sebenarnya Kementrian PP melaporkan adanya dua kasus kepadanya. Detailnya, menurut Mutawakil, satu kasus sudah mendapat pendampingan untuk pemulihan mental, dan satu kasus lainnya tengah diupayakan pelaporan ke rektorat.

“Ya, itu [kasus Maryam] salah satunya yang sedang kita upayakan laporan ke rektorat,” ujar Akil, sapaan akrabnya, yang dihubungi tim kolaborasi pada Kamis, 10 Februari 2022.

Lebih jauh, laporan yang disampaikan oleh Ruang Aman terkait jumlah kasus juga berbeda dan jauh dari klaim “Nol Kasus”. Lembaga kolektif-independen yang fokus di isu kekerasan seksual ini menyampaikan, sejak berdiri pada 2019 lalu mereka telah membuat kolom aduan (hotline) yang ditutup pada Januari 2021. Dalam kurun waktu tersebut, mereka menerima total enam kasus. Rinciannya, ada enam pelaku dengan tujuh korban.

“Lebih dari itu, ada juga pengaduan, tapi korban tidak memberikan nomor untuk dihubungi,” jelas Ruang Aman, yang ditemui tim kolaborasi, Jumat, 11 Februari 2022.


Sengkarut Penanganan di Rektorat
Ditemui tim kolaborasi di ruangannya, pada Rabu, 16 Februari 2022, Rektor UNY Sumaryanto mengonfirmasi bahwa kasus Maryam kini memang tengah ditangani oleh pihak rektorat. Kasusnya masuk per 26 Januari 2022 lalu. Ia menjelaskan, dirinya telah memerintahkan kepada fakultas yang terkait untuk membentuk tim yang nantinya akan melakukan investigasi atas kasus. Hasil sementara ini adalah pihak kampus telah menunda kelulusan dari pelaku.

“Harusnya [pelaku] yudisium Januari kemarin, dan wisuda 26 Februari nanti. Tapi kita tunda,” jelas Sumaryanto, mengonfirmasi penundaan kelulusan R.

Pernyataan Sumaryanto memvalidasi temuan tim kolaborasi. Berdasarkan salinan Surat Keputusan Dekan fakultas yang terkait tentang Yudisium Mahasiswa, yang diterima tim kolaborasi pada 2 Februari 2022 lalu, nama R tidak masuk dalam daftar peserta yudisium UNY.

Terkait sejauh apa penundaan kelulusan ini, Sumaryanto menambahkan bahwa semua ini tergantung temuan tim fakultas. Ia mengaku, dirinya hanya menunggu perkembangan informasi dan laporan terkait temuan-temuan dari investigasi tim fakultas atas kasus ini. Jika memang ditemukan fakta-fakta baru yang memberatkan pelaku, menurutnya, sanksi Drop Out (DO) akan diberikan.

“Paling ekstrim [sanksi akademik] kan di-DO. Kalau pidana ya nanti urusannya dengan polisi,” kata Sumaryanto. “Tapi, kita jembatani untuk sanksi akademik dulu. Kalau korban mau lanjut ke pidana, ya itu ranah penegak hukum, bukan wewenang saya lagi.”

Sumaryanto juga mengonfirmasi, secara statistik, laporan ke rektorat perihal kekerasan seksual sejauh ini ada dua kasus. Pertama, kasus mahasiswi KKN UNY yang mengalami tindak perkosaan oleh seorang kepala desa. Sementara yang kedua, adalah kasus Maryam. Untuk kasus pertama, Sumaryanto mengaku kasus itu telah ditutup dengan memenjarakan pelaku perkosaan. Sementara untuk kasus Maryam, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, proses masih berjalan.

Kendati kampus belum memiliki Satgas Kekerasan Seksual—sebagaimana diamanatkan oleh Permendikbud No. 30 Tahun 2021, Sumaryanto tetap menjamin bahwa pengawalan kasus tetap akan berlanjut. Sambil menunggu proses revitalisasi peraturan rektor, pengesahan surat keputusan (SK), dan dibentuknya Satgas Kekerasan Seksual, ia secara inisiatif telah membentuk tim Satgas fakultas dalam menangani kasus-kasus yang dilaporkan.

“Belum ada Satgas pun saya sudah melangkah. Saya sudah bisa menyetop [kelulusan pelaku],” katanya.

Sementara itu, Sasiana Gilar Apriantika memahami betapa mendesaknya pembentukan Satgas bagi penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Meski demikian, ia menambahkan, bahwa ada hal-hal yang lebih urgensial dan perlu diprioritaskan kampus sebelum membentuk Satgas. Seperti, ia mencontohkan, adalah sosialisasi mengenai kekerasan seksual itu sendiri.

“Karena perlu diketahui bahwa terdapat banyak sekali bentuk dan jenis kekerasan seksual, termasuk di dalamnya sebut saja catcalling, komentar-komentar bernada seksual, dan sebagainya,” jelasnya kepada tim kolaborasi. “Tidak banyak mahasiswa, bahkan dosen yang tahu jika itu termasuk bentuk kekerasan seksual. Karena bagi sebagian orang, kekerasan seksual itu menyangkut fisik saja.”

Sasi, sapaan akrabnya, juga mengimbuhkan bahwa sosialisasi terkait regulasi yang ada terkait kekerasan seksual juga perlu disosialisasikan oleh kampus. Hal ini tak kalah penting agar selanjutnya pihak-pihak yang merasa mengalami tindak kekerasan seksual menjadi paham dan tahu ke mana mereka harus melapor, serta mendapat jaminan pendampingan dan hukum atas kasusnya.

Dua hal tersebut, yang merupakan bentuk edukasi sivitas akademika UNY, menurutnya dapat disosialisasikan di agenda-agenda besar. Misalnya, ia mencontohkan ketika PKKMB, kampus setidaknya harus memberikan dua sesi materi kepada mahasiswa baru, yakni materi mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual dan materi terkait aturan-aturan dalam penanganan kekerasan seksual.

“Dengan adanya sosialisasi ini, setidaknya akan menunjukkan bahwa institusi punya komitmen yang kuat dalam menindak segala bentuk kekerasan seksual,” imbuhnya.

Selanjutnya, jika upaya sosialisasi ini telah dilakukan, barulah kampus dapat melangkah ke hal paling krusial, yakni implementasi kebijakan. Implementasi yang dimaksud adalah dengan menjalakan mandat dalam Permendikbud no. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya adalah pembentukan Surat Keputusan (SK) dan Peraturan Rektor terkait kekerasan seksual, serta diikuti dengan pembentukan Satgas.

“Sangat penting memang untuk segera membentuk Satgas,” Sasi menjelaskan. “Tapi yang lebih penting lagi adalah, komponen dalam Satgas itu haruslah orang-orang yang kompeten [dalam kasus kekerasan seksual]. Orang yang memiliki sense dan empati kepada korban. Bukan yang asal ditunjuk,” pungkasnya.

==========

RALAT: Atas permintaan penyintas, dengan mempertimbangkan keamanan dan keselamatan, LPM Philosofis sempat menurunkan berita dari pukul 10.44 hingga 12.25 WIB. Kami melakukan beberapa perubahan dalam berita karena ada beberapa informasi yang keliru dalam penyebutan detail waktu, tempat, maupun kejadian. Upaya meralat berita ini menjadi komitmen LPM Philosofis dalam mengimplementasikan kode etik jurnalistik, yakni verifikasi.

Tulisan ini merupakan hasil dari liputan Tim Kolaborasi kekerasan seksual di UNY yang terdiri atas wartawan dari LPM Philosofis, Harian Jogja, Merdeka.com, dan Pandangan Jogja.

LPM Philosofis berkomitmen sepenuhnya pada penindakan segala bentuk kekerasan seksual. Oleh sebab itu, kami membuka hotline pengaduan bagi siapa pun yang pernah menyaksikan dan mengalami kekerasan seksual di lingkungan UNY. Kami menerima pengaduan, baik secara terbuka (menyebut identitas diri) maupun tertutup (anonim/awanama) demi keamanan dan keselamatan narasumber. Kami juga menerima pengaduan secara verbal maupun tertulis, disertai bukti (foto, video, audio, dll) atau tanpa bukti sama sekali. Mengingat bahwa penyintas kekerasan seksual sering kali mengalami trauma, kami menerima pengaduan melalui penghubung/pendamping penyintas (orang kedua). Kami berusaha akan berkomitmen menjaga setiap kesepakatan yang terjalin dengan narasumber. Kami, sebagai lembaga pers bekerja sesuai kode etik jurnalistik, sehingga semua aduan yang masuk akan kami verifikasi. Terakhir, kami dapat dihubungi melalui surat elektronik sangpemulaphilosofis@gmail.com, 
Instagram @lpm_philosofis, dan Whatsapp 0818-0725-1790 (Rachma Syifa Faiza Rachel).


Ahmad Efendi
Reporter: Tim Kolaborasi
Editor: Farras Pradana
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar