Ilustrasi: Saptariaptr |
Siang itu, pukul
11.30 WIB, dia pulang dari sekolah, bermaksud beristirahat di rumah. Namun, saat
tiba di depan rumah, bukan kedua orang tuanya yang menyambutnya. Melainkan,
puluhan aparat kepolisian beserta anjing-anjing pelacaknya, dan orang-orang berpakaian
sipil yang memenuhi halaman rumahnya. Sadar bahwa ada situasi yang tidak biasa,
anak perempuan itu menanggalkan tas sekolahnya di halaman. Dia pun pergi
menjauhi rumah.
Dengan ketakutan, dia berlari ke arah rumah temannya. Sepanjang jalan, dia menyaksikan para polisi merobek dan membakar bendera-bendera penolakan tambang yang membentang di jalanan desa.
“Aku takut liat bendera-bendera disobekin semua, bendera-bendera Gempa Dewa (Gerakan masyarakat peduli alam Desa Wadas--red) sebangsanya itu,” ujarnya pada wartawan Philosofis pada Sabtu, 12 Februari 2022.
Peristiwa
itu menyebabkan penangkapan puluhan warga desa. Terhitung 67 orang warga Wadas ditangkap secara paksa oleh aparat
dan dibawa ke Polres Purworejo karena dinilai menghalangi proses pengukuran
lahan.
Pengalaman Ditangkap
Proses penangkapan secara paksa itu salah satunya dialami oleh seorang anak bernama Farhan berusia 15 tahun. Siang itu, memasuki waktu zuhur ia datang ke masjid. Di sana ia menunaikan ibadah sholat dan dilanjutkan dengan mujahadah (berdoa) selama sekitar satu jam. Selesai ber-mujahadah, ia berniat pulang ke rumah.
Pengalaman ditangkap yang dialami Farhan itu begitu membekas dalam benaknya. Setelah dibebaskan, ia mengalami trauma. Ia enggan pulang ke rumah dan memilih untuk bersembunyi di rumah tetangganya. Hal ini dilakukan karena selepas pembebasan, masih banyak aparat yang berkeliaran di desa Wadas.
Pengalaman yang dialami warga Desa Wadas itu diamati dan didalami oleh Ari Surida dari Staf Pengorganisasian Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta. Sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang berfokus pada isu sosial, perempuan, dan kesetaraan.
Menurut Ari, pada saat kejadian, seusai warga ditangkap, Wadas menjadi desa mati. Hal ini disebabkan oleh banyak warga yang memilih untuk mengungsi ke alas untuk mengindari represifitas polisi dan anjing-anjing pelacak. Hanya sedikit warga yang berdiam diri di rumah, aktivitas warga pun berhenti total.
Sementara soal anak, kata Ari, pasca penangkapan terdapat beberapa perubahan perilaku anak. Sejak aparat datang ke desa, banyak anak-anak yang memilih mengurung diri di rumah, bahkan enggan untuk berangkat ke sekolah.
Ketika ditinggal keluar rumah oleh orang tuanya, menurut Ari, anak-anak akan menangis. Hal ini disebabkan ketakutan apabila orang tuanya ditangkap kembali oleh aparat. Rasa traumatis terhadap represiftas polisi terhadap warga desa Wadas, tentu berdampak pada kesehatan mental anak.
Sepenuturan Ari, anak merekam apa yang dia lihat dalam lingkungannya, sehingga daerah konflik sangat rentan bagi kesehatan psikologis anak. Tidak adanya rasa aman membuat anak dan perempuan-perempuan di sana lebih memilih tidak keluar rumah.
“Adanya ketakutan terhadap orang asing. Mereka melihat langsung represifitas terhadap aparat keamanan. Ada yang mau tidur, tapi nangis dulu. Perubahan sikap ini juga terjadi terhadap perempuan-perempuan atau ibu-ibu.”
Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh Ari, keadaan di desa Wadas begitu
menyesakkan. Ia berujar bahwa, sudah seharusnya semua pihak dapat memenuhi sepuluh
hak anak seperti yang dicanangkan oleh PBB. Tak terkecuali oleh negara dan
aparat penegak hukum.
Kata Ari, apa yang terjadi di Wadas tidak boleh terulang, arogansi aparat tentu merugikan warga negara yang harusnya mendapatkan perlindungan. Hak-hak anak yang dilanggar, mempengaruhi kondisi psikologisnya.
Reporter: Rachma Syifa Faiza Rachel dan Nadia Nur Azizah
Editor: Farras Pradana