XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Anak-Anak dalam Pusaran Kekerasan Polisi di Desa Wadas

 

Ilustrasi: Saptariaptr

Siang itu, pukul 11.30 WIB, dia pulang dari sekolah, bermaksud beristirahat di rumah. Namun, saat tiba di depan rumah, bukan kedua orang tuanya yang menyambutnya. Melainkan, puluhan aparat kepolisian beserta anjing-anjing pelacaknya, dan orang-orang berpakaian sipil yang memenuhi halaman rumahnya. Sadar bahwa ada situasi yang tidak biasa, anak perempuan itu menanggalkan tas sekolahnya di halaman. Dia pun pergi menjauhi rumah.

Dengan ketakutan, dia berlari ke arah rumah temannya. Sepanjang jalan, dia menyaksikan para polisi merobek dan membakar bendera-bendera penolakan tambang yang membentang di jalanan desa.

“Aku takut liat bendera-bendera disobekin semua, bendera-bendera Gempa Dewa (Gerakan masyarakat peduli alam Desa Wadas--red) sebangsanya itu,” ujarnya pada wartawan Philosofis pada Sabtu, 12 Februari 2022.
 
Setelah berlari sejauh 500 meter, anak berusia 12 tahun itu tiba di rumah temannya. Sesampainya di sana, sembari berurai air mata dia mengetuk pintu serta memanggil nama temannya. Tak lama kemudian, temannya yang bernama Tia membukakan pintu--juga dengan menangis. Dia langsung dipersilahkan masuk dan pintu ditutup. Keduanya lalu berbagi air mata bersama sambil berpelukan. Keduanya ketakutan. Keduanya tidak keluar rumah sampai malam hari.
 
Demikianlah kisah Aura Anggarista pada hari Selasa, 8 Februari 2022 ketika puluhan aparat kepolisian berpakaian dan bersenjata lengkap datang ke Desa Wadas, dengan dalih pengawalan proses pengukuran tanah untuk rencana pertambangan batuan andesit.

Peristiwa itu menyebabkan penangkapan puluhan warga desa. Terhitung 67 orang warga Wadas ditangkap secara paksa oleh aparat dan dibawa ke Polres Purworejo karena dinilai menghalangi proses pengukuran lahan.

Pengalaman Ditangkap
Proses penangkapan secara paksa itu salah satunya dialami oleh seorang anak bernama Farhan berusia 15 tahun. Siang itu, memasuki waktu zuhur ia datang ke masjid. Di sana ia menunaikan ibadah sholat dan dilanjutkan dengan mujahadah (berdoa) selama sekitar satu jam. Selesai ber-mujahadah, ia berniat pulang ke rumah.
 
Namun, ketika keluar dari masjid ia dikejutkan—karena terlalu khusuk berdoa--pengepungan oleh aparat kepolisian. Ia pun kembali ke dalam masjid untuk bersembunyi. Selama tiga setengah jam–dari pukul satu siang sampai setengah lima sore—ia bertahan di dalam. Merasa situasi sudah aman, ia keluar dari masjid. Akan tetapi, dugaannya meleset, aparat kepolisian dan preman-preman masih memenuhi halaman. Dan, ketika keluar, ia ditangkap polisi.
 
“Pas jam setengah lima, katanya, udah aman. Mau keluar, terus ditangkap dibawa ke polsek dulu,” ujarnya pada wartawan Philosofis pada Sabtu, 12 Februari 2022.
 
Awalnya dia dibawa ke Polsek Bener sebelum kemudian dipindah ke Polres Purworejo, menyusul warga Wadas yang telah lebih dulu ditangkap. Di sana, ia bertemu dua temannya yang ditangkap seusai pulang sekolah, Kholis dan Hanang. Ia lalu diinterogasi mengenai identitas, sertifikat tanah, luas tanah desa, dan segala hal yang berkaitan dengan tambang. Setelah diinterograsi, dia bersama warga Wadas yang lain diperbolehkan istirahat. Namun, saat tengah malam ketika masih terlelap, ia dan yang lainnya dibangunkan untuk mengisi formulir biodata. Kejadian itu membuat dia tertekan.
 
“Kalau di sana itu merasa tertekan, soalnya kalau disuruh duduk kan pasti nurut. Malem itu saya sedang tidur, lalu dibangunkan untuk mengisi formulir.”
 
Selepas mengisi formulir ia dan warga Wadas lainnya istirahat kembali. Keesokan paginya, Rabu, 9 Februari, ia bersama yang lainnya dibebaskan dan diantar pulang kembali ke Desa Wadas menggunakan bus.
 
Trauma Penangkapan
Pengalaman ditangkap yang dialami Farhan itu begitu membekas dalam benaknya. Setelah dibebaskan, ia mengalami trauma. Ia enggan pulang ke rumah dan memilih untuk bersembunyi di rumah tetangganya. Hal ini dilakukan karena selepas pembebasan, masih banyak aparat yang berkeliaran di desa Wadas.
 
“Masih banyak (polisi—red), setelah di bebasin, aku engga berani untuk pulang ke rumah. Soalnya di depan rumahku banyak banget aparat.”
 
Satu hari pasca pembebasan, Kamis, 10 Februari, tersebar isu bahwa polisi akan kembali memasuki Wadas untuk memaksa warga menyerahkan SPPT tanah. Ini menyebabkan Farhan dan beberapa warga desa memilih mengungsi ke alas. Bahkan, ada warga yang membawa anaknya yang masih berumur tiga tahun untuk ikut bersembunyi.
 
Kondisi saat itu, warga Wadas masih ketakutan, terlebih anak-anak. Jika mereka melihat orang asing atau orang berpakaian serba hitam, anak-anak akan langsung menangis dan mengurung diri di kamar karena takut ditangkap. Belum lagi anak-anak yang tidak ingin pergi ke sekolah karena takut saat pulang sekolah orang tuanya kembali ditangkap.
 
Trauma semacam itu dialami juga oleh Aura. Sesudah melihat sikap represifitas aparat kepada warga desa, ia mengalami trauma yang mendalam. Ia memilih untuk tidak masuk sekolah selama beberapa hari karena takut untuk keluar rumah. Terlebih, saat kedua orang tuanya ditangkap dan ia hanya sendirian.
 
“Awalnya saat bolos sekolah, aku tidak izin. Baru pas masuk, aku memberi keterangan pada guru, bahwa tidak masuk karena takut banyak aparat.”
 
Gangguan Mental Anak
Pengalaman yang dialami warga Desa Wadas itu diamati dan didalami oleh Ari Surida dari Staf Pengorganisasian Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta. Sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang berfokus pada isu sosial, perempuan, dan kesetaraan.
 
Ari yang pada saat aparat merengsek masuk ke desa Wadas ada di tempat menuturkan ceritanya kepada wartawan Philosofis pada Selasa, 15 Februari melalui sambungan telepon WhatsApp.

Menurut Ari, pada saat kejadian, seusai warga ditangkap, Wadas menjadi desa mati. Hal ini disebabkan oleh banyak warga yang memilih untuk mengungsi ke alas untuk mengindari represifitas polisi dan anjing-anjing pelacak. Hanya sedikit warga yang berdiam diri di rumah, aktivitas warga pun berhenti total.

Sementara soal anak, kata Ari, pasca penangkapan terdapat beberapa perubahan perilaku anak. Sejak aparat datang ke desa, banyak anak-anak yang memilih mengurung diri di rumah, bahkan enggan untuk berangkat ke sekolah.

Ketika ditinggal keluar rumah oleh orang tuanya, menurut Ari, anak-anak akan menangis. Hal ini disebabkan ketakutan apabila orang tuanya ditangkap kembali oleh aparat. Rasa traumatis terhadap represiftas polisi terhadap warga desa Wadas, tentu berdampak pada kesehatan mental anak.

Sepenuturan Ari, anak merekam apa yang dia lihat dalam lingkungannya, sehingga daerah konflik sangat rentan bagi kesehatan psikologis anak. Tidak adanya rasa aman membuat anak dan perempuan-perempuan di sana lebih memilih tidak keluar rumah.

Adanya ketakutan terhadap orang asing. Mereka melihat langsung represifitas terhadap aparat keamanan. Ada yang mau tidur, tapi nangis dulu. Perubahan sikap ini juga terjadi terhadap perempuan-perempuan atau ibu-ibu.”

Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh Ari, keadaan di desa Wadas begitu menyesakkan. Ia berujar bahwa, sudah seharusnya semua pihak dapat memenuhi sepuluh hak anak seperti yang dicanangkan oleh PBB. Tak terkecuali oleh negara dan aparat penegak hukum.

Kata Ari, apa yang terjadi di Wadas tidak boleh terulang, arogansi aparat tentu merugikan warga negara yang harusnya mendapatkan perlindungan. Hak-hak anak yang dilanggar, mempengaruhi kondisi psikologisnya.

 

Rachma Syifa Faiza Rachel
Reporter: Rachma Syifa Faiza Rachel dan Nadia Nur Azizah
Editor: Farras Pradana
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar