XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tuntut Kemerdekaan West Papua, AMP Ceritakan Kejahatan Militer Dalam Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM

Seorang massa aksi membawa poster tuntutan kemerdekaan bagi Papua (7/9).

Beberapa hari setelah pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), muncul gelombang aksi penolakan di beberapa kota, salah satunya digelar di Yogyakarta. Penolakan kenaikan harga BBM di Yogyakarta tersebut diinisiasi oleh Aliansi Rakyat Bergerak (ARB). Aksi digelar pada Rabu, 7 September 2022 yang dimulai dengan long march oleh massa aksi dari Asrama Papua Kamasan menuju depan gedung DPRD DIY.

Sesampainya di depan gedung DPRD DIY, peserta aksi mulai melakukan orasi dan menentengkan poster-poster yang berisi beberapa tuntutan—utamanya tentang kenaikan BBM. Dari sekian tuntutan dan poster tersebut, terdapat poin menarik yang berisi tuntutan untuk memberikan hak kebebasan menentukan nasib sendiri bagi warga West Papua—dan tarik militer sebagai tuntutan turunanya.

Untuk mencari informasi yang lebih mendalam, Awak Philosofis mencoba memulai percakapan dengan beberapa perwakilan masyarakat Papua yang hadir dalam aksi. Salah satunya yaitu Jupe, seorang perempuan berpakaian serba hitam dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Dengan gamblang ia bercerita bahwa kondisi Papua hari ini sedang tidak baik-baik saja.

Situasi di daerah kurang kondusif. Banyak rasisme dan banyak oknum yang melakukan kekerasan. Sejak 1961 kekerasan sering terjadi, termasuk kekerasan dari militer kepada rakyat. Namun tidak banyak yang mengekspos,” ujarnya.

Selain itu, Jupe juga menyinggung tentang kasus mutilasi warga sipil Papua yang baru-baru ini terjadi.

“Setelah adanya otonomi khusus pada tahun 2000-an, kekerasan atau pun pembunuhan mulai berkurang. Sehingga ketika terjadi mutilasi belum lama ini membuat kami merasa kaget,” ucapnya seraya menunjukkan gestur prihatin.

Jupe mengatakan bahwa populasi warga sipil Papua tergerus dengan adanya militer yang ada di sana. Hal itu senada dengan John Kobay, massa aksi lain dari AMP yang juga ditemui wartawan Philosofis.

Di Papua itu lebih banyak tentara dan polisi, warga Papua sendiri hanya 46%,” Ungkapnya pada awak Philosofis.

Poster tuntutan kemerdekaan bagi Papua (7/9).

John berpandangan bahwa keberadaan personil militer di Papua harus ditarik secepatnya. Apalagi setelah terjadi kasus mutilasi seorang warga sipil Papua oleh militer beberapa waktu yang lalu, membuat masyarakat Papua resah. Menurutnya, pemecatan anggota militer saja tidak cukup.

“Bagi orang Papua dengan pemecatan itu belum bisa menyembuhkan luka batin,” Ujar pria bertubuh tegap itu.

Jumlah militer yang jauh lebih banyak dari masyarakat sipil Papua menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Jupe menambahkan, kalangan militer di Papua juga terindikasi terlibat dalam bisnis militer.

“Bisnis militer di Papua saat ini sedang banyak terjadi. Mulai dari jual beli senjata, ganja,dan narkoba, serta perdagangan manusia,” Jelasnya.

Jupe memberikan keterangan tambahan bahwa pihak militer terlibat dalam tindak kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini berupa merebaknya kasus prostitusi di mana kaum perempuan banyak menjadi korban. 

Terdapat perempuan di Papua dikirim kerja ke daerah lain tetapi ternyata ia dijadikan sebagai PSK,” Jelas Jupe.

Poster tuntutan karena banyak kematian terjadi di Papua (7/9).

Selanjutnya, ia juga menjelaskan bahwa di Papua berlaku jam malam. Jam malam dimulai pada pukul 19.00 WIT. Dalam pandangan Jupe, jam malam tidak ubahnya seperti bentuk pengekangan terhadap aktivitas masyarakat. Apalagi pihak kepolisian atau militer tidak seta merta bertanggung jawab secara optimal jika terjadi insiden yang melibatkan warga sipil, misalnya saja kematian. Mereka berdalih bahwa sudah ada aturan mengenai jam malam yang harus ditaati warga. 

Pada akhir percakapan, Jupe berharap bahwa Papua harus merdeka. Ia berkata bahwa Papua tidak bisa dianggap baik-baik saja. “Harapan kami Papua bisa merdeka, jangan berikan Papua daerah pemekaran baru, berikan Papua referendum”.


Kartiko Bagas
Reporter: Kartiko Bagas dan Zhafran Naufal Hilmy
Editor: Zhafran Naufal Hilmy

 

   

 

 

     



Related Posts

Related Posts

Posting Komentar