XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Sengkarut Zero Konflik di Bumi Sriwijaya

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai


Gelap malam itu amat pekat, pun cahaya lampu nan menyinari demikian temaram, membuat pandangan sedikit lebih sengkarut. Dalam sunyi malam di sebuah masjid, tempat beribadahnya Jemaat Ahmadiyah Palembang, kru LPM Philosofis bertemu dengan Asep Burhanudin, penulis buku Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan.

“Sumatera Selatan Zero Konflik,” ucapnya seraya membentuk angka nol dari jari-jari tangan, menirukan Mantan Gubernur Sumsel (2008-2018), Alex Noerdin yang mengatakan kalimat serupa. “Zero Konflik” merujuk pada kondisi warga Bumi Sriwijaya yang dianggap harmonis dan nihil konflik. Jargon ini kerap kali menjadi branding pejabat lokal yang  dianggap sebagai salah satu capaian besar pemerintah daerah dalam menjaga kondusifitas. Bahkan tak sulit menemukan jargon tersebut digemborkan di media massa.

Asep bilang kondisi umat Ahmadiyah cenderung aman, mengingat masyarakat Sumsel yang condong cuek dengan keberadaan mereka. Pengikut Ahmadiyah ini juga tergabung dengan Komunitas Bela Indonesia, sebuah jaringan kepemudaan lintas nasional yang dipelopori oleh pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Denny J.A.

 

Negara, Deskriminasi, dan Website

Sayangnya, rasa percaya yang ia pelihara berbanding terbalik gerainya dengan laman resmi Kementerian Agama Sumatera Selatan. Dalam website resmi Kemenag Sumsel, sumsel.kemenag.go.id, terdapat 16 daftar aliran kepercayaan yang diklasifikasikan sebagai aliran terlarang. Ahmadiyah adalah satu dari 16 aliran tersebut. Beberapa aliran lain yang memiliki status terlarang adalah Syiah dan Bahai.

Khusus Ahmadiyah pelarangan tersebut memang pernah tertuang dalam Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor: 563/KPTS/BAN.KESBANGPOL & LINMAS/ 2008. Namun, yang cukup mengherankan adalah pelarangan Bahai dan Syiah. Mengingat Syiah tidak pernah secara resmi dilarang di Indonesia. Demikian pula Bahai yang pelarangannya telah dicabut pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid.

Nampaknya memang website tersebut tidak terurus dengan baik. Artikel yang memuat “Data Aliran Kepercayaan” terakhir di update tahun 2018 dan dalam laman lain malah 2016. Terlihat, organisasi Front Pembela Islam (FPI) yang dilarang baru-baru ini, masih tertulis “resmi”.

Menariknya Kemenag Sumsel pernah mendapat 13 penghargaan secara nasional, baik dari internal Kementrian Agama maupun dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, terkait pengelolaan Humas. Bahkan sempat mendapat juara satu tingkat nasional dan meraih Achievement di tahun 2014 di bidang pengelolaan Kehumasan.

Dalam artikel lain, Kemenag Sumsel juga pernah mengadakan dialog yang diikuti Ormas Islam seperti Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam. Anehnya, artikel tersebut dirilis tertanggal 1 Januari 1970, padahal FPI baru berdiri tahun 1998. Pun dalam keterangan tulisannya, agenda tersebut diadakan pada hari Rabu (18/2), tanpa disebut tahunnya.

Demikianlah dialog tersebut menghasilkan rekomendasi berupa perlunya “mewaspadai berkembangnya ajaran Syiah” dan “mendorong pemerintah Provinsi Sumsel untuk mengeluarkan imbauan kepada bupati/wali kota agar mewaspadai ajaran Syiah. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Sub Bagian Humas Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan, Saefuddin Latief.

22 April 2021, saat menemui Saefuddin di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan ia terlihat mengenakan masker hitam seraya nyeker, bertelanjang kaki. Dua kali menemuinya, dua kali pula Saefuddin terlihat nyeker. Dalam wawancara yang dilaksanakan dengannya, sering kali keluar kalimat seperti “sesat” dan “menyimpang”. Bahkan sekali waktu muncul eufemisme bahasa seperti “kita luruskan” dan “kita bina”. Selain itu tak kelewatan juga, kalimat “zero konflik” yang muncul selama ngobrol bersamanya.

“Mengenai aliran sesat dan aliran apa itu, memang dahulu sudah ada di sini. Lalu kemudian, ada yang dibubarkan, ada yang dibekukan, ya beberapa kali kita memang menyelesaikan masalah aliran-aliran itu, tapi memang selalu muncul.” ucapnya dengan nada kesal.

Selain itu, Saefudin agaknya kurang mengetahui bahwa tidak pernah ada larangan resmi terkait Syiah di Indonesia. Saat ditanya lebih jauh berkaitan dengan Syiah, ia menolak menjawab. Pria yang mendaku fans Rhoma Irama ini, juga mengatakan bahwa Kemenag tidak memiliki salinan surat pelarangan resmi dari pemerintah, atas aliran-aliran yang terdapat dalam daftar tersebut, meskipun telah dipublikasikan di situs mereka.

Saefuddin mengarahkan agar mengunjungi Kesbangpol & Linmas Provinsi Sumsel. Namun, Kesbangpol juga tidak memiliki surat yang diminta. Demikianlah hingga laporan ini ditulis, masih belum diketahui landasan hukum atas pelarangan aliran yang ada dalam laman tersebut. Kru LPM Philosofis hanya mengetahui pelarangan terhadap Ahmadiyah oleh Gubernur Sumsel Mahyudin NS yang berakhir dengan kecaman oleh berbagai pihak, salah satunya dari Adnan Buyung Nasution.

Saefudin pernah mengatakan dalam laman resmi Kemenag, bahwa pelarangan aliran Ahmadiyah bertujuan untuk menjaga kerukunan umat beragama. Artinya atas nama kondusifitas beberapa aliran dilarang di provinsi bekas wilayah Kerajaan Sriwijaya ini. Website tersebut setidaknya membuka babak baru dari “Zero Konflik” di Sumatera Selatan.

Terlepas simpang siur landasan pelarangan aliran tersebut. Menjadi pertanyaan besar, apakah isi situs resmi kementerian tersebut dapat dianggap mewakili sikap negara? Apabila benar adanya, hal ini sejalan dengan kalimat Andreas Harsono dari Human Right Watch. Dalam percakapan melalui telepon Whatsapp, ia mengatakan: “Diskriminasi itu dilakukan oleh pejabat pemerintah, tanpa mereka merasa bersalah”

 

Menutupi Identitas di Kota Zero Konflik

Ikhwan – bukan nama sebenarnya – memiliki perawakan tinggi dan rambut pendek tidak sampai 1 cm. Ia adalah dokter di salah satu rumah sakit di Palembang. Sore itu, 25 April 2021, saat menemuinya, sambutannya ramah, tidak ada penolakan sama sekali—bicaranya sangat terbuka, kadang penuh gurauan. Selain dokter, ia adalah Pemimpin Wilayah Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia. Ikhwan adalah seorang Islam beraliran syiah.

“Yang sedihnya, justru non-muslim yang tidak mempermasalahkan (identitas Syiah). Pasien saya di sini lebih banyak yang non-muslim, dia ga peduli saya Syiah atau Sunni, untuk dia ga ada masalah. Mereka datang kesini mau berobat sebagai profesional,” kisah Ikhwan miris.

Ia memang mengaku tidak sempat mendapatkan kekerasan fisik karena identitas. Namun, bukan berarti Ikhawan tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk karena kesyiahannya. Memang tidak ada penyerangan saat ibadah, namun kebencian di akar rumput kerap dirasakan oleh pria berumur 64 tahun ini, dari dulu sampai sekarang.

Saat masih kuliah kedokteran, ia pernah dipanggil salah seorang dosennya. Ia pun dijejali pertanyaan yang menyasar pada identitas.“Saya dengar dari teman-teman kamu, kamu ini Syiah?” Karena takut diintimidasi, ia pun tak mengaku. Dia mengatakan hanya ikut mengaji, tetapi tetap berpegang dengan ajaran Sunni. “Kalau saya jujur, saya tidak bakal seperti sekarang,” kata Ikhwan sambil menatap saya.

Ikhwan mengaku kadang kala pengikut Syiah harus melakukan Taqiyah demi keamanan. Taqiyah yang ia maksud adalah menutupi identitas keimanan demi keselamatan diri. Hal ini ada kalanya dilakukan dan diinstruksikan kepada pengikut Syiah di Sumsel. Demikianlah ia mengaku merasa terasing di negeri sendiri.

“Jadi kalau saya ke Iran, saya merasa tidak ada yang harus ditutupi. Di Iran itu saya ketemu dengan aliran Sufi, Sunni, enggak ada orang sindir mereka.”

Selain itu tuduhan tak berdasar kadang-kadang bersemayam pada para pengikut Syiah. Misalnya saja si empunya Rumah Sakit Azzahra sendiri pernah dituduh rumah sakitnya mendapat bantuan dana dari Iran. Padahal sejatinya pembangunan rumah sakit tersebut berasal dari pinjaman Ikhwan di bank.

Tuduhan semacam ini juga sewaktu-waktu ditemui dalam beberapa obrolan dengan narasumber lain. Aman (nama samaran), yang merupakan salah seorang anggota Ormas Islam. Ia menuding kekayaan Syiah berasal dari sokongan Iran. “Syiah itu berkelompok tidak terbuka dan tersembunyi, mereka kaya karena dibiayai Iran. Mobil dan semuanya punya,” ceritanya dengan menggebu-gebu.

Aman yang sehari-hari berprofesi sebagai penjual ikan ini, juga menuduh Syiah di Palembang sebagai orang-orang munafik karena tidak mau mengakui identitas kesyiahannya. Lebih jauh, bagi Aman, Syiah dan juga Ahmadiyah adalah aliran sesat yang wajib dibubarkan.

 

Konflik Akar Rumput Lintas Agama

Dalam proses liputan ini, ada banyak komentar “unik yang ditemukan di kolom ulasan Google Maps, milik salah satu gereja di Sumatera Selatan. Terlihat ada ulasan berbintang satu yang bertuliskan, "Semoga semuanya jadi mualaf.. aamiin. Gereja yang dimaksud bernama Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Indralaya.

Gereja Hati Kudus berada sekitar 500 meter dari Universitas Sriwijaya (Unsri). Tempatnya tidak berada di jalan raya, dan tampil agak sedikit masuk dari jalur utama. Tidak ada palang atau tanda yang menunjukkan keberadaannya.

Saat itu belum genap sebulan tragedi Ledakan Bom Bunuh Diri di Makassar saat berkesempatan bertemu dengan Romo Blasius Sukoto, SCJ. Ia merupakan pastor yang mengabdi untuk Gereja Katolik Hati Kudus Yesus.

Kami itu selalu merasa cemas, karena kan enggak tahu misal nanti tiba-tiba duaaar. Cemas juga. Akan tetapi, mungkin sudah mati rasa,” pungkasnya, kala disodori pertanyaan tentang perasaan umat Katolik yang berada di naungan gereja tersebut. Ia juga menambahkan kejadian gereja dilempari batu sudah dianggap biasa, jadi tak perlu diambil pusing.

“Kalau umum selalu dikatakan oleh mereka—pemerintah—Palembang itu ‘Zero Konflik’. Ya kenyataannya, beberapa waktu lalu gereja atau kapel kami dibakar. Jadi bisa dikatakan sebagai zero konflik pada umumnya, tetapi mungkin sehari-harinya intoleransi (masih) terjadi.” Tuturnya, merujuk salah satu kasus usaha pembakaran gereja tahun 2018, di Gereja Kapel Santo Zakaria, Desa Mekar Sari, Kecamatan Rantau Alai, Kabupaten Ogan Ilir.

Pria yang lahir di Lampung ini mengakui terkadang istilah zero konflik hanya hadir dalam bahasa diplomasi. Ia berharap agar semua berani jujur dengan diri sendiri, meski ada capaian dalam kehidupan bertoleransi, tetapi masih ada bibit intoleransi yang harus diperangi. Bahwa perjuangan menuju zero konflik masih menjadi tantangan.

Rasmauli Apriyatining Wulan, jemaat gereja yang masih mahasiswa juga pernah mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan saat Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Unsri.

Dengan rambut dikuncir, Rasmauli terlihat amat mencolok dari mahasiswi Islam lain yang menggunakan jilbab. Tiba-tiba ada orang yang menghampiri dan bertanya, “Eh kamu Kristen ya?” Rasmauli pun menjawab, “Iya aku Kristen”. Tidak ada kata lanjutan yang terlontar, tapi Rasmauli merasa tidak nyaman dengan tatapan orang tersebut kala itu yang memelototi tajam sekujur tubuh Rasmauli.

Rasmauli bercerita bahwa pengalaman itu sukar untuk dilupakan. Ia kerap merasa tidak percaya diri sebagai bagian dari agama minoritas. Pernah ia mereka-reka apa yang bisa ia raih sebagai minoritas, dan apa yang tidak bisa. Hingga saat ia mendapat tawaran untuk menjadi Ketua Umum Organisasi Mahasiswa di Unsri. Sontak ia terkejut, tidak menyangka. Ia pun sempat bertanya, “Aku kan Katolik nih? Apa tidak apa-apa?” kisahnya, kala menarik ulang memori saat disodorkan tawaran tersebut. Pada akhirnya ia menerima jabatan itu, meski sempat ragu-ragu. Hingga naskah ini ditulis, ia masih menjabat Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Gelora Sriwijaya.

Kasus Rasmauli ini pernah ditanyakan kepada Siti Rohmah Nurhayati, Psikolog dari Universitas Negeri Yogyakarta. Siti menjelaskan prasangka yang dibangun oleh Rasmauli sebenarnya salah dalam psikologi. Namun, itu adalah sesuatu yang amat manusiawi. Siti menjelaskan bahwa terdapat dua alasan yang mendorong kondisi Rasmauli.

“Manusia memang memiliki kecenderungan ingin selalu sama, karna jika kita sama dengan kelompok yang lebih besar maka kita akan lebih aman posisinya. Ini adalah efek masa lalu kita di zaman purba yang terbawa hingga sekarang. Khusus dalam kasus orang-orang minoritas, otak purba sudah memberi sinyal bahwa mereka merasa kalah jumlah, sehingga akhirnya mereka menunjukkan rasa inferioritas,” jelas Siti Rohmah.

 

Epilog

Seperti yang pernah Andreas Harsono katakan di salah satu pelatihan Pantau, “Jangan percaya bila ada yang mengatakan zero konflik”. Dari hasil penelusuran saya banyak dari yang mengatakan frasa ‘zero konflik’ adalah pejabat pemerintah dan kelompok mayoritas. Namun, respons dari kelompok minoritas justru berbanding terbalik. Indra sebagai salah seorang minoritas mengakui bahwa zero konflik itu tidak benar-benar terjadi. Di akar rumput masih terdapat persoalan-persoalan pelik yang dihadapi minoritas.

Istilah ‘Zero Konflik’ ini sejatinya wajar apabila digembor-gemborkan terlebih untuk provinsi yang sering disambangi event nasional dan internasional seperti Sumsel. Memang tidak ada penggerudukan atau penyerangan rumah ibadah secara berkelanjutan. Namun, temuan-temuan di atas setidaknya bisa menjadi gambaran berbeda tentang Sumsel yang katanya ‘zero konflik’.

Saat disajikan temuan-temuan di atas kepada Halili Hasan. Ia menjelaskan, bahwa secara umum persoalan tersebut menggambarkan masalah intoleransi pada dua lapis. Pertama ialah pada level masyarakat, lainnya ada pada tingkat negara. Halili juga mengingatkan bahwa intoleransi bisa dikategorikan pada taraf aktif dan pasif. Sehingga tidak semua intoleransi diekspresikan dalam bentuk tindakan langsung.

Lebih jauh dosen yang mengajar di Universitas Negeri Yogyakarta ini juga menjelaskan bahwa intoleransi pasif harus mendapatkan perhatian lebih. Sehingga respons pemerintah kota menjadi faktor penting yang dapat mengatasi atau memperburuk keadaan. Mengingat intoleransi pasif bisa menjadi aktif berikut hari, bila ada pemantik. Maka baginya pemerintah harus mengambil inisiatif.

“Bukan malah menyangkal dengan bersikap seakan-akan keadaan baik-baik saja,” sambungnya. Bertautan dengan itu perlu kita kembali mengingat pesan Romo Blasius sebelum mengakhiri wawancara. “Kalau saya sih, kita itu enggak usah basa-basi. Misal memang ada konflik, maka bagaimana kita mengatasi, (mencari) akar konfliknya apa? Jadi jangan selalu mengatakan kalau di sini zero intoleran. Ya cita-cita kan macam itu, tapi harus kita usahakan.”



Rachmad Ganta Semendawai
Editor: Yuni Puyungan

*Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar