XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

HUT Ke-76 TNI: Kontroversi Penghapusan Tes Keperawanan

Illustrasi: Rindi 

Oktober 1945, tepatnya pada tanggal 5 merupakan hari bersejarah bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun tersebut, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk. Pemerintah RI mengeluarkan dekrit pembentukan TKR sebagai perubahan organisasi sebelumnya yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).


BKR hanya sebagai wadah laskar-laskar perjuangan. setelah pembentukan TKR, para pejuang mulai disatukan dan tergabung mulai didata. Hal ini juga menandai peralihan TKR dari organisasi yang belum teratur menjadi organisasi yang teratur. Oerip Soemohardjo ditunjuk sebagai kepala staf pertama.


TKR kemudian berganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kepala Staf TNI AD, Jenderal Andika Perkasa menjadi pimpinan saat iniSelama kepemimpinannya telah terjadi beberapa perubahan. Salah satunya  menghapus tes keperawanan untuk calon anggota Komando Wanita Angkatan Darat (KOWAD). Hal tersebut menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Terlebih TNI sejak Orde Baru sudah melekat dengan maskulinitasnya.


Pemeriksaan hymen atau selaput dara untuk membuktikan keperawanan sudah tidak diberlakukan karena dinilai melanggar Hak Asasi Manusia. Kebijakan ini memicu adanya kontroversi di masyarakat. Kalangan pro kebijakan berargumen  setuju karena dianggap baik dan menjunjung tinggi HAM.


Sementara itu kalangan kontra menganggap keperawanan sebagai sesuatu yang sakral dalam diri perempuan. Sejak dulu, tidak sedikit orang Indonesia yang mengganggap kehilangan keperawanan sama dengan kehilangan harga diri atau tidak suci lagi.


Sebenarnya apa itu keperawanan? Apakah seorang perempuan kehilangan keperawanan hanya karena berhubungan seksual dengan lawan jenis? Keperawanan sendiri dalam dunia medis dikenal dengan sebutan selaput dara. 


Perempuan dikatakan masih perawan memiliki selaput dara yang masih utuh. Selaput dara adalah bagian selaput yang relatif kurang pembuluh darah, jika robek tidak akan mengalami pendarahan terlalu banyak. Apabila terjadi penetrasi saat berhubungan badan yang dipaksakan, hal itu menyebabkan luka goresan pada dinding vagina sehingga menyebabkan noda darah.


Noda darah inilah yang disebut sebagai darah keperawanan. Sehingga muncul anggapan bahwa perempuan yang masih perawan adalah mereka yang saat pertama kali berhubungan seksual mengeluarkan darah pada vaginanya.


 Anggapan tersebut keliru, karena selaput dara merupakan bagian yang sangat tipis. Perempuan dapat kehilangan selaput daranya karena trauma berat yang dialami atau aktivitas berat yang pernah dilakukan. Oleh karena itu selaput dara bisa robek dengan sendirinya.


Dr. Andri Wananda, pakar Seksologi Universitas Tarumanegara menyebutkan tata cara tes keperawanan dilakukan kepada perempuan yang tidak sedang haid.  Pertama,  tubuh dibaringkan pada tempat tidur yang tersedia. Selanjutnya dokter akan membuka vagina dengan alat bantu untuk melihat selaput daranya.


Apakah masih utuh atau telah terkoyak. Kedua, adalah dengan memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menilai masih ada atau tidaknya selaput dara. Mungkin bagi sebagian perempuan dapat dikatakan tes keperawanan ini sedikit menyeramkan karena akan ada efek rasa sakit yang diterima sesaat dan sesudah tes berlangsung. Bahkan tidak menutup kemungkinan tes tersebut bisa mengakibatkan trauma.


Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) menentang adanya tes keperawanan ini. Tes keperawanan tidak memiliki manfaat ilmiah maupun klinis. Tes tersebut juga tidak menunjukan keakuratan apakah selaput dara robek karena berhubungan seksual atau akibat aktivitas berat. Bahkan tes keperawanan berdampak bagi kerugian fisik maupun psikis bagi para perempuanTes keperawanan hanya  berujung pada diskriminasi kaum perempuan dan melanggar HAM.


Hal ini menjadi dasar kebijakan Jenderal Andika Perkasa untuk menghapuskan tes keperawanan bagi calon KOWAD. Terlepas dari pro-kontra yang ada, dengan adanya penghapusan tes keperawanan ini menjadi peluang bagi para perempuan Indonesia untuk mengabdikan diri menjadi anggota KOWAD akan terbuka lebar.


Tidak logis apabila gagalnya perempuan menjadi TNI hanya karena selaput daranya. Masih banyak aspek lain yang relevan dan dapat dipertimbangkan dalam penerimaan calon anggota KOWAD.

 


Muhamad Azhari Ramadan

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah 2020

Editor: Diah Eka Artati, Rientania Nuhanida

Sumber

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar