XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Menjawab Problem Teologi dalam Kajian LGBT

 

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah cerita lucu, entah pembaca merasa lucu atau tidak, tapi setidaknya cerita ini lucu bagi saya. Suatu hari, seorang mahasiswa yang dianggap intelek kampus menulis statement.


Ia resah dengan perbincangan soal homoseksualitas. Intelek kebanggaan kampus ini menulis, kurang lebih: "Hai kawan-kawan beragama, sadarlah, bahwa tindakan LGBT itu terlarang".


Statement ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lucu dalam benak saya: Apakah lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah tindakan? Bukankah itu semua adalah varian gender? Bukankah yang merupakan tindakan sosial (social - performance act) adalah maskulinitas dan feminitas?

 

Apakah konsep homoseksualitas, diversifikasi gender, varian gender, sampai tindakan seksualbiologisdisamaratakan saja dalam sebuah istilah "LGBT"? Jika itu yang terjadi, di manakah diskursus gender yang berlandaskan filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, bahkan teologi?

 

Lalu, apakah dogmatika agama hanyalah kumpulan kontra narasi terhadap diskursus homoseksualitas dan diversifikasi gender? Dapatkah kajian teologi berdialog dengan wacana dalam kajian gender dan homoseksualitas?

 

Bagi saya, kumpulan-kumpulan pertanyaan itu sangatlah lucu. Kelucuan pemikiran konseptual itu akan menjadi titik berangkat tulisan sederhana dan cukup santai ini. Mari kita mulai.

 

Konstruksi Konseptual Teori Queer dan Kajian Homoseksualitas. 

Pertama-tama perlu diperhatikan, bahwa diskursus soal seksualitas adalah wacana akademis. Sehingga pembahasan dalam tulisan ini bukanlah pembahasan praktikal mengenai pro dan kontra isu gender dan homoseksualitas.

 

Tulisan ini adalah upaya penjelasan tentang perkembangan diskursus homoseksualitas atau teori queer sebagai sebuah konstruksi wacana. Sebelum memasuki diskursus teologi dan pertemuannya dengan kajian gender, mari kita melihat sejenak salah satu fondasi filsafat dalam kajian ini.

 

Michael Foucault, seorang filsuf pasca-strukturalisme dari Perancis, dianggap sebagai salah satu pemikir besar tentang kajian gender dan seksualitas. Ia adalah seorang pemikir besar filsafat pasca-strukturalisme.

 

Kajian dan fokus studinya sangat luas sekali, mulai dari orang gila, seksualitas, sistem pengetahuan, dan anak-anak. Gagasan inti Foucault mengenai kontrol kebenaran dan konstruksi wacana yang berasal dari kekuasaan.

 

Kekuasaan bagi Foucault adalah pihak yang mengendalikan sebuah wacana, sehingga terjadi sebuah kontrol untuk menentukan "kebenaran". Akhirnya, muncul konsekuensi logis berupa marginalisasi dan pembungkaman kepada yang dianggap "berbeda” atau "abnormal" (dalam istilah Foucault “the other”) dari wacana kebenaran itu.

 

Dari gagasan itulah penelusuran tentang seksualitas berangkat, yaitu seksualitas selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ekspresi seksualitas yang dianggap sebagai sebuah kebenaran adalah wacana yang dikonstruksikan atau dikendalikan oleh kekuasaan.

 

Jadi, bentuk-bentuk seksualitas yang dianggap "menyimpang" dan "abnormal" itu disingkirkan, bahkan dihukum. Akan tetapi, menariknya, Foucault melihat homoseksualitas sendiri sebagai sebuah konstruksi wacana yang sengaja dibentuk sebagai "abnormal" dan "menyimpang" oleh kekuasaan, terutama pada abad ke-19.

 

Menurutnya sebelum abad ke-19, homoseksualitas adalah konstruksi budaya yang umum dalam beberapa kultur dunia Barat dan Timur. Akan tetapi, abad 19 adalah sebuah era di mana seksualitas dilembagakan dalam scientia sexual, yakni studi-studi medis tentang seksualitas manusia. Gagasan Foucault akhirnya berdampak sebagai dasar dari kajian gender, bahwa konstruksi gender adalah sebuah bentukan wacana dari konstruksi sosial dan kuasa.

 

Gagasan Foucault kemudian hari berkembang, terutama oleh seorang filsuf bernama Judith Butler. Ia mengembangkan sekaligus mengkritik teori konstruksi wacana dan relasi kuasa dari Foucault. Melalui karyanya yang berjudul "Gender Trouble", Butler memakai pendekatan filsafat pasca-strukturalisme, biologi, dan sosiologi soal konstruksi gender.

 

Maskulinitas dan feminitas bagi Butler adalah konstruksi yang dibentuk, melalui sebuah kondisi sosial yang bernama “performativity”. Performativity bisa diartikan sebagai peran sosial dari gender yang kita terima itu.

 

Peran itu tidak secara pasif tertanam dalam diri kita begitu saja, tapi dibentuk oleh bahasa, geografi, fenomena kultural, dan konstruksi patriarki. Gagasan Butler senada dengan ide utama dari filsafat eksistensialisme, bahwa eksistensi mendahului esensi.

 

Bagi konstruksi gender dalam budaya Nusantara, varian gender yang beragam bukan hal aneh lagi. Tradisi agama Bugis memiliki lima varian gender, lalu, ada konsep manang bali di Sarawak (third gender), sampai peran warok dalam masyarakat Ponorogo prakolonial.

 

Itu semua adalah kenyataan sosial dan kultural. Hal ini banyak dikaji oleh Saskia Wieringa, seorang guru besar kajian gender dan feminisme di Universitas Amsterdam. Tesis historis yang dilakukan Saskia Wieringa terhadap diversifikasi gender di Nusantara pra-kolonial mengajarkan kita banyak hal.

 

Bahwa teori Butler dan Foucault, khususnya tentang pluralistas gender, tidak aneh lagi dalam varian gender masyarakat Nusantara. Terbukti bahwa pemahaman seksualitas yang dilembagakan, seperti tesis Foucault, membuat masyarakat kita terjebak dalam modernitas dan pandangan biner soal gender.

 

Pendapat Foucault tentang gender, kuasa, seksualitas menjadi dasar teori queer dan kajian homoseksualitas. Begitu juga teori psikoanalisis dan identitas Jacques Lacan, gagasan dekonstruksi biner Jacques Derrida, sampai gagasan performativity Judith Butler.

 

Pemikir-pemikir besar pasca-strukturalisme ini adalah dasar filsafat awal dari teori queer dan kajian gender, patut diakui bahwa kajian ini dibangun dari konstruksi filsafat post-modernisme dan pasca-strukturalisme. Akan tetapi, pertanyaan awal tulisan ini belum juga terjawab: Apakah teologi dan kajian gender, khususnya tentang homoseksualitas, selalu bertentangan?

 

Pengaruh Kajian Gender dalam Teologi

Seperti tulisan sebelumnya mengenai teologi feminis, bahwa teologi kontemporer adalah teologi yang selalu berangkat dari problem kemanusiaan. Dialog teologi kontemporer dibangun dari permasalahan sosial dan upaya teologis untuk pembebasan.

 

Maka dialog antara teologi dan kajian gender bisa kita temukan secara masif. Jika kita membaca teologi kontemporer, terdapat teologi queer sebagai dialog teologis antara problem ilahi dan isu gender, khususnya homoseksualitas.

 

Margaret Altahuis-Reid adalah seorang pemikir teologi queer dan teologi pembebasan yang mengawali diskursus ini. Gagasan Altahuis-Reid berangkat dari konstruksi filsafat Foucault dan Judith Butler tentang homoseksualitas, lalu, ia juga melandasi gagasan teologisnya dengan teologi pembebasan. Sehingga kita bisa melihat sintesis antara pemikiran pasca-strukturalisme,, kajian homoseksualitas, dan teologi pembebasan.

 

Altahuis-Reid menawarkan sebuah pandangan bahwa teologi adalah sebuah sexual act, karena banyak ekspresi seksualitas yang muncul dari pemahaman teologis. Sehingga ia tak melihat teologi sebagai diskursus keilahian saja, lebih jauh lagi, ia melihat teologi sebagai sebuah upaya epistemologis untuk menyuarakan seksualitas yang termarginalkah.

 

Ia berusaha menjauhkan penelusuran teologis tentang seksualitas dari pandangan naif soal konstruksi gender yang dominan secara politik. Terlihat sekali bagaimana pemikiran Foucault tentang kuasa dan seksualitas yang dimarginalisasikan mempengaruhi pandangan Altahuis-Reid. Namun, tak hanya Altahuis-Reid, teologi ini juga berkembang secara diskursus oleh Margaret Kamitsuke, Patrick Cheng, sampai Kecia Ali.

 

Dari keberagaman diskursus ini, kita bisa melihat bahwa kajian teologi tidak bertentangan dengan problem gender, bahkan, homoseksualitas bisa dikaji menggunakan wacana teologis. Pertentangan-pertentangan yang dibuat antara dogmatika keagamaan dan homoseksualitas tidak selalu menjadi wacana yang dominan dalam teologi kontemporer. Kajian alternatif seperti teologi queer bisa bermanfaat bagi kita untuk mengembangkan dialog teologis yang terjadi.

 

Sehingga, seperti kata Moltmann, bahwa upaya teologis adalah upaya berdialog dengan keterbukaan, upaya ini adalah upaya untuk selalu membuka ruang kepada suara-suara terbungkam, terutama mereka yang dimarginalkan. 

 

**

 

Apa yang ideal bagi dunia akademis adalah memperbincangkan homoseksualitas dalam sebuah kerangka filsafat, studi-studi historis, teologis, sampai sosiologis. Titik tolak inilah yang penting untuk dimaknai dalam dunia akademis hari ini. Bahwa pada akhirnya pembacaan dan perbincangan kita terhadap isu gender dan homoseksualitas adalah sebuah bentuk dialektika wacana.

 

Lingkungan akademis terasa begitu kering jika perdebatan terhadap homoseksualitas dan diversifikasi gender hanyalah sebuah perdebatan praktikal tentang pro dan kontra. Padahal, perbincangan tentang isu gender ini bisa dipenuhi wacana dan dialog-dialog teoritik

 

Sebuah komunitas akademis yang sehat selalu berdialektika menggunakan perangkat-perangkat berpikir. Patut disayangkan jika hanya debat kusir yang mengisi ruang-ruang akademis tanpa benar-benar merekonstruksi atau dekonstruksi wacana ilmiah dalam kajian gender.

 

Tulisan sederhana yang berangkat dari kelucuan-kelucuan konseptual ini bisa berakhir, tapi diskursus teoritik tidak akan pernah berakhir. Patut dipertanyakan jika kampus sebagai lingkungan akademis tidak banyak dipenuhi diskursus mendalam, apalagi, jika hanya berisi statement generalis, debat kusir, dan pikiran praktis (horse sense). Untuk itu, saya tidak ingin menutup tulisan ini dengan kelucuan, sebagaimana kelucuan mengawali tulisan ini.

 

Izinkan saya menutup tulisan ini dengan keseriusan ilahi, bukan kelucuan "atas nama yang ilahi". Izinkan saya mengajak pembaca sekalian berdoa. Semoga kekuatan ilahi memberikan kita rahmat untuk terus menerus mampu dalam mengajukan diskursus teoritik dan membedah wacana akademis. Semoga kekuatan ilahi memberikan kita kepekaan untuk melihat realitas sosial - politik - kultural yang penuh warna dan keberagaman.


Amos

Editor: Rachmad Ganta Semendawai

 

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar