XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Sekedar Menjual Pernyataan atau Bukan Pledoi HMIS?

Ilustratrasi: Nedyna Fajri Aeni Nur Azizah
Tulisan ini merupakan tanggapan penulis terhadap tulisan Suden yang terbit di Ekspresionline dengan judul “HMIS Jual Pernyataan”, serta tulisan Ahmad Effendi yang terbit di Philosofisonline.id dengan judul “Bukan Pledoi HMIS: Tanggapan Untuk Suden”.
======
Setidaknya dalam beberapa hari terakhir, dua argumen kritis mengenai kasus Kekerasan Seksual (KS) telah meluncur dan menjadi perbincangan publik. Kedua argument tersebut, membuka cakrawala saya tentang kasus KS yang terjadi di UNY. Argumen yang berasal dari Suden dan Ahmad, sebetulnya berangkat dari satu permasalahan yang sama, yaitu buruknya birokrasi kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Dalam pandangan Suden, ia menilai HMIS tak boleh cuci tangan begitu saja dengan mengeluarkan surat pernyataan pemecatan anggota secara tidak hormat. Lebih-lebih, seharusnya HMIS turut mengawal adanya tindak lanjut dari kasus KS tersebut. Suden beranggapan bahwa HMIS telah gagal mengedukasi anggotanya perihal moral, sejalan dengan dikeluarkannya pelaku dari organisasi tersebut.

Pada sisi yang berbeda, Ahmad beranggapan bahwa tindakan yang diambil oleh HMIS adalah langkah yang tepat. HMIS bertindak responsif untuk memutus keterlibatan pelaku dalam organisasi, dibandingkan civitas akademika lain (re: konteks UNY). Surat pemecatan ini tentu bukan keputusan tergesa-gesa, melainkan hasil pikiran matang-matang. Terlebih pelaku dan korban sebelumnya berada dibawah satu naungan HMIS, sehingga pemecatan dilakukan untuk memutus rantai tersebut.

Dalam kacamata saya sebagai pembaca, kedua argumen yang telah dilempar di ruang publik tidak benar, pun bukan berarti salah. Artinya, kedua argument tersebut memiliki sisi-sisi separuh benar dan separuh salah, dikembalikan lagi pada perspektif pembaca.

Terlebih, saya yakin penilaian Suden terkait kasus KS ini tentu tak hanya berangkat dari kasus yang baru saja terjadi. Melainkan sebaliknya, penilaian tersebut di dasarkan pada banyaknya kasus KS yang terjadi di UNY yang menggantung begitu saja. Pada akhirnya Suden menilai bahwa HMIS tak seharusnya lepas tangan, harus menyelesaikan kasus ini sampai tuntas sebagai bentuk tanggung jawab terhadap anggotanya.

Nampaknya Suden muak dengan penanganan kasus-kasus KS di kampus yang berjalan sangat alot, lebih jauh lagi mungkin ingin memutus rantai kasus KS yang terjadi di UNY.

Keraguan pun tak luput dalam benak saya, penilaian HMIS yang gagal dalam menangani anggotanya. Suden terlihat kecewa, karena HMIS tak dapat memberi contoh yang baik bagi publik, pun tidak bisa mengedukasi anggotanya mengenai moral. Lebih jauh yang saya dengar, pelaku melakukan hal tersebut, saat dalam keadaan mabuk (re: tidak sadar).

Praktis, HMIS tentu tak memiliki kontrol 100% terkait dengan diri maupun pergaulan pelaku. Lebih-lebih untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pelaku, karena sebenar-benarnya kontrol diri merupakan tanggung jawab setiap individu. Kecacatan moral individu tentu tak bisa dilimpahkan kepada orang lain.

Lalu saya sampai pada kesimpulan, bahwa dikeluarkannya pelaku dari HMIS bukan sepenuhnya kegagalan organisasi tersenbut dalam hal mengatur moral anggotanya. Hal tersebut adalah konsekuensi yang harus diterima pelaku, pun saya menyetujui pemikiran Ahmad bahwa ia mendukung HMIS atas tindakan tersebut.

Kesalahan adalah murni dari pelaku. Dia tak bisa mengontrol akal sehat dan hawa nafsu, yang tentu merugikan korban dan memicu pengalaman traumatis. Lebih jauh mengenai psikis, tak bisa dielakan bahwa kejadian tersebut memicu rasa trauma dalam diri korban. Kehadiran pelaku tentu membuat korban muak.

Saya rasa, pemecatan tidak hormat pada pelaku tak merugikan pihak manapun. Pelaku harus menerima keputusan tersebut sebagai bentuk konsekuensi.

Tanggapan Ahmad mengenai argument Suden, pun sebaliknya patut diapresiasi. Namun, tentu bukan ini yang menjadi sorotan utama dalam kasus kekerasan seksual di kampus. Melainkan bagaimana birokrasi mengeluarkan kebijakan yang progresif dan tak terkesan fafifu.

Sudah seharusnya birokrasi kampus berempati dan berusaha untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY, pun setelah UU TPKS disahkan pada 12 April 2022 lalu. Atau mungkin, pihak birokrasi kebingungan terkait advokasi kasus KS? Mengingat beberapa waktu lalu beredar pernyataan bahwa dalam kasus KS di FBS, pihak kampus meminta pelaku untuk bertemu dengan korban. Miris!

Apabila pihak birokrasi memang tak mumpuni dalam menangani kasus KS yang terjadi di UNY. Berilah pernyataan kepada publik terkait ketidaksanggupan tersebut. Saya rasa, banyak elemen-elemen di UNY dan diluar kampus yang bersedia turut serta untuk memperjuangkan hak korban. “Istana” tentu perlu terbuka, mencari solusi bersama terkait penanganan kasus KS, bukan malah menutup diri rapat-rapat dengan dalih melindungi nama baik.

Sudah sepatutnya kita semua turut menciptakan ruang aman, lepas dari predator kekerasan seksual. Sudah cukup audiensi-audiensi tanpa aksi nyata. Penekanan ini terlebih untuk birokrasi, segera mungkin merancang kebijakan progresif terkait penanganan kasus KS di UNY. Semua elemen wajib menjadi pengawas, agar tercipta ruang aman tanpa kekerasan seksual, terlebih dalam lingkungan pendidikan.

======

Opini adalah gagasan pribadi penulis.


LPM Philosofis menerima tulisan berbentuk opini dari siapa saja yang ingin tulisannya dipublikasikan di Philosofisonline.id. Opini dapat dikirim ke sangpemulaphilosofis@gmail.com dalam format docx/doc dengan panjang tulisan antara 800-3000 kata.



Gilang Kuryantoro
Editor: Rachma Syifa Fauzi Rachel
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar