XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tidak Ada Solidaritas Korban dalam Tulisan Suden: Sebuah Reaksi Logika Tupai


Ilustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

Tulisan ini merupakan tanggapan penulis terhadap tulisan Suden yang terbit di Ekspresionline dengan judul “HMIS Jual Pernyataan”, serta tulisan Ahmad Effendi yang terbit di Philosofisonline.id dengan judul “Bukan Pledoi HMIS: Tanggapan Untuk Suden”.
========
Kepada siapa Suden mempersembahkan tulisan “HMIS Jual Pernyatan”? Entahlah! Saya tidak tahu pasti. Bahkan, setelah membaca tulisan itu berkali-kali, saya masih diliputi pertanyaan tersebut. Namun, ada satu premis yang saya yakini, bahwa tulisan tersebut bukan dipersembahkan untuk korban. Bukan pula terbit demi korban.  Lantas, kepada siapa sebenarnya tulisan Suden didedikasikan?

Sejujurnya, saya tidak benar-benar tertarik menanggapi tulisan Suden. Saat pertama kali membaca, saya nyaris tidak sanggup membaca sampai akhir. Banyak aspek teknis dan nonteknis yang amat mengganggu saya. Salah satunya, bagaimana logika tupai—melompat-lompat dengan riang gembira, dipakai.

Singkatnya, dalam kapasitas saya yang terbatas, bagi saya, tulisan Suden bukan tulisan yang benar-benar buruk. Namun, bukan pula tulisan yang baik. Ini hanyalah tulisan yang hadir untuk dilupakan.

Kesalahan pertama Suden adalah, bagaimana ia membangun argumentasi panjang lebar tentang Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah (HMIS) yang penuh lipstik dan masalah rengekan publik, dengan penuh sinistis. Hal itu, seolah menjauhkan polemik Surat Pernyataan HMIS dari pihak paling rentan dari semua akumulasi masalah ini, yakni “korban”.

Tidak ada perspektif korban yang benar-benar serius dihadirkan dalam tulisan tersebut. Seolah korban bukan menjadi aspek penting dalam tulisan itu. Korban seakan tercerabut dari masalah yang diulas oleh Suden.

Cara paling mudah menguji klaim ini cukup dengan mencari berapa kata yang menyebut subjek serupa kata “korban/penyintas”. Praktis, saya hanya menemukan empat diksi “penyintas”. Bayangkan, hanya ada empat term “penyintas” dari tulisan sepanjang 800 kata lebih itu.

Pun keempat kata itu hadir dalam kalimat retoris seperti berikut:

“Saya serahkan jawaban ini kepada publik, karena keputusan pengeluaran tersebut juga tak lepas dari upaya organisai menyelamatkan penyintas dari trauma seksualnya.”

Sejujurnya, saya menaruh respek kepada HMIS yang secara tegas telah menjankan fungsi organisasinya dan memilih berpihak kepada penyintas.

Penggalan kalimat tersebut, bagi saya, tak ubahnya ragam slogan yang tumbuh di musim kampanye pemilu lima tahunan. Kalimat yang acap dilagukan, tetapi para pembaca tetap tidak mendapat nilai informatif apa pun.

Singkatnya, dalam tafsir saya sebagai pembaca, tulisan ini memang bukan dan tidak pula dipersembahkan untuk korban. Penggalan kata “penyintas” hanya dicubit sesekali saat dibutuhkan. Namun, secara keseluruhan, tulisan Sudan tidak benar-benar berada di sebelah penyintas.

Saya jadi penasaran, apakah sebelum menulis artikel ini, Suden sudah mencoba memahami korban. Atau, bila tidak, apakah Suden sudah memverifikasi kepada pihak yang mengadvokasi/perwakilan korban, sebelum lebih jauh mencelupkan jari-jarinya di atas papan tik.

Bila tidak, maka wajar apabila tulisan itu tidak ramah penyintas. Di mana sebagian besar dibangun dari prasangka dan kecurigaan, tanpa melibatkan aspek yang paling penting dalam jurnalisme, yakni verifikasi. Justru Suden tak ubahnya hakim yang jauh lebih dahsyat dalam mengeksekusi, tapi tidak dengan menguji dalih.

Saya jadi ngilu membayangkan saat korban membaca tulisan Suden.

Prasangka dan Logika Tupai Melompat

Bung Ahmad Effendi (Si Paling Sesat—julukan Ahmad) dalam tulisan “Bukan Pledoi HMIS: Tanggapan Untuk Suden”, menguji sebagian kekeliruan logika yang digunakan Suden dalam tulisannya.

Bagi Ahmad, tulisan Suden mempraktekkan analogi yang tidak sebanding. Ahmad menyebut perumpamaan Suden “seperti membandingkan apel dan pisang”. Hal itu berangkat dari perbandingan yang menyitir kasus siswa sekolah dengan masalah HMIS. Di mana kedua kasus itu tidak apple to apple untuk dibenturkan.

Dari sini, kita dapat melihat atraksi permainan logika yang gagal meyakinkan dan jatuh pada misleading. Sayangnya, penggalan itu bukan satu-satunya atraksi logika tupai melompat yang dapat kita temukan.

Dalam catatan lain, Suden dengan ringan mengajukan tuduhan-tudahan seperti:

“Surat pernyataan digunakan HMIS sebagai lipstik Hima, guna menutupi ketidakmampuan mereka dalam menangani problem KS.”

Sebuah tesis, yang bahkan tidak coba ia jelaskan dan coba yakinkan pada pembaca dengan pembuktian. Hanya seringan, “ini adalah lipstik, itu adalah lipstik”, tanpa penjelasan yang lebih jauh kepada pembaca, sehingga cendrung oversimplifikasi.

 “Lantas, dikeluarkannya surat pernyataan adalah solusi agar publik yang merengek-rengek bisa segera tertidur pulas.” Dalam momen ini, Suden bertransformasi menjadi cenanyang bin maha tau, yang kesaktiannya dibangun dari asumsi demi asumsi.

Begitulah dahsyatnya tulisan Suden menjadi tirani asumsi. Seolah, ia benar-benar paham isi kepala dan perdebatan yang hadir di antara anggota HMIS menyoal kasus kekerasan seksual yang terjadi. HMIS seakan tidak memiliki ruang duka dengan kondisi keluarganya yang dihantam kekejian pelecehan seksual. No! Saya yakin HMIS sangat-sangat berduka seperti kita semua. Surat pernyataan itu tidak sesederhana dan hanya untuk keren-kerenanan. Ada banyak pertimbangan yang mengiringi kisahnya.

Apakah Suden tahu, setidaknya ada tiga korban dari tindakan keji ini?

Apakah Suden tahu, bahwa pemberhentian keanggotaan pelaku salah satunya adalah karena dorongan dan permintaan korban?

Apakah Suden memahami, bahwa surat pernyataan ini dirilis atas konsensus dengan korban?

Semoga Suden sudah tahu. Karena, bila tidak, AndaSudentidak benar-benar mencari tahu apa yang Anda tulis. Melihat sikap HMIS tidak bisa dimulai dari hadirnya pernyataan sikap. Akan tetapi, Anda juga harus memahami proses yang terjadi di masa sebelumnya. Bahkan lebih jauh dari itu.

Sehingga, Anda tidak perlu terburu-buru mengambil premis dari prasangka-prasangka yang Anda sendiri tidak bisa buktikan. Beri jeda untuk asumsi Anda. Cobalah rendah hati untuk mengatakan “belum tentu” atau sekedar menyisipkan kata “mungkin” dalam tulisan Anda. Sebelum bergerak cepat dan melompat-lompat seperti tupai.

Karena serius! Anda nampak terlalu percaya diri saat mengajukan tuduhan. Seolah prasangka Anda adalah keniscayaan. Bahkan terang-terangan melempar kecurigaan tanpa penjelasan seperti di bawah ini:

“Saya curiga, sikap populis semacam ini tidak lain hanya untuk meninabobokan publik dari kecenderungannya mengeram-eram.”

Dari sini, saya patut bertanya, apa yang terjadi dengan Pendidikan Jurnalistik Dasar yang pernah Anda ikuti, sehingga luput menerapkan prinsip penting seorang wartawan, yaitu skeptis.

Saya yakin Anda sudah tahu,skeptis” sangat berbeda dengan “sinis”. Skeptis adalah momen saat Anda mempertanyakan apa yang benar-benar terjadi dengan  HMIS menyoal kekerasan seksual ini. Sinis adalah saat Anda secepat mungkin membrondong senjata dengan amunisi prasangka-prasangka yang dibombardir tanpa arah.

Dalam alam demokrasi memang tidak ada yang patut melarang prasangka. Entah berbaik sangka atau berburuk sangka, keduanya memiliki posisi penting dalam tradisi demokratis. Akan tetapi, bagaimana bila kita kehilangan kontrol atas prasangka kita? Lalu membuangnya ke ruang publik?

Maka, menjadi sah-sah saja, jika saya mengajukan tuduhan ajaib seperti:

“Suden pengen tampil beda, nyari perhatian dan viewer dari pilunya nasib korban. Onani intelektual! Sok-sok nuduh HMIS make lipstik.”

Tentu tidak begitu dong! Pun saya tidak akan memberikan ruang kepada kepala saya untuk berprasangka seperti demikian. Namun, celakanya, akan begitulah rezim prasangka berjalan. Seperti kata Voltaire, “Prasangka akan menghasilkan penghakiman.

Bahkan bila kita tarik lebih jauh, Cicero sudah mengingatkan, praeiusticium (prasangka) sebagai lawan dari kebenaran. Baginya prasangka lahir dari manipulasi dan berangkat dari pendapat yang tergesa-gesa.

Proses yang Wajar

Wahai temanku Suden, tidak ada satu pun organisasi yang mau dengan sengaja menerima pelaku kekerasan seksual di dalam keluarganya. Kita bahkan nyaris tidak bisa membedakan siapa yang berpotensi melakukan kekerasan seksual. Karena pada akhirnya, para iblis-iblis itu bisa menggunakan wajah apa saja. Ia bisa berkostum keagamaan. Ia juga bisa menjelma sebagai aktivis dengan skill orator ulung.

Bahkan lebih ngerinya lagi, mereka bisa secara licik menyusupi organisasi mulia yang berusaha mengadvokasi kasus kekerasan seksual. Masih ingat kasus yang terjadi dengan Ruang Aman. Siapa pun akan sulit menyangka komunitas kolektif ini bisa disusupi oleh seorang iblis.

Saya tidak akan menyalahkan Ruang Aman, karena itu adalah situasi yang sulit dihindari. Bertarung dengan kekerasan seksual memang tidak mudah, dan Ruang Aman masih tetap berjuang di jalan yang sama. Toh, pada akhirnya Ruang Aman tidak hanya diam, ia mengeluarkan pelaku dari organisasinya dan berikut hari merilis pernyataan sikap. Sebuah tindakan yang nyaris sama dilakukan oleh HMIS.

Apakah ada yang mau bilang Ruang Aman menggunakan lipstick dan jual pernyataan? Kalau benar demikian, saya akan membela Ruang Aman mati-matian! Maksud saya, mari melihat tindakan HMIS dan Ruang Aman sebagai bagian dari proses yang wajar. Tidak perlu sinis.

Saya sebagai generasi yang tumbuh dari periode-periode pelik, kala menyaksikan tak ada satu pun yang membicarakan komersialisasi pendidikan dan pelecehan seksual di UNY, setidaknya memaknai apa yang terjadi kini sebagai perkembangan. Saya beruntung menjadi saksi bagaimana kekerasan seksual mulai menjadi diskursus publik UNY, lahirnya organisasi seperti Srikandi dan Ruang Aman, serta kian banyak organisasi berbicara soal kekerasan seksual. Ini adalah perkembangan yang patut diapresiasi.

Terlebih dalam kondisi kampus UNY yang amat laknat ini, hal-hal kecil nampak sangat berarti. Sehingga, tindakan HMIS dengan mengeluarkan pelaku, berikut membuka kasusnya ke ruang publik menjadi sangat penting.

Sebagai penganut historisisme, bagi saya pribadi, apa yang terjadi sekarang ialah bagian perkembangan dalam “gerak sejarah” kampus ini. Memang kondisinya amat prematur dan penuh kekurangan, tapi saya percaya ini akan menjadi fondasi yang penting dalam perkembangannya.

Adalah tidak mungkin mendambakan lahirnya feminisme gelombang keempat, tanpa diawali oleh feminisme gelombang pertama yang hadir dengan tuntutan yang jauh lebih sederhana daripada sekarang. Adalah tidak mungkin hadir kesadaran setajam SK Trimurti, jika tidak diawali oleh kehadiran Kartini, sebagai pejuang kesetaraan perempuan periode paling awal.

Universitas ini juga demikian, sedang bergerak, dan kita dalam tahap menyaksikan perkembangan. Tentu dengan segala kekurangannya. Saya tidak ingin bilang, HMIS sepenuhnya benar. Ada beberapa ruang yang harus dikritisi, seperti metode advokasi yang cendrung ugal-ugalan, karena tidak melibatkan lembaga yang lebih mengerti. Namun, saya mencoba memahami ini sebagai bagian dari proses belajar. Saya yakin HMIS belajar dari situ.

Saya baru-baru ini mendapat infomasi, bahwa DPM Fakultas Ilmu Sosial sedang menyiapkan peraturan untuk menangani kekerasan seksual di Ormawa, pascatragedi di HMIS. Saya rasa ini harus kita kawal oleh FIS dengan serius. Kini, saatnya kita melakukan sesuatu untuk melawan tindakan iblis yang disebut kekerasan seksual. Termasuk mendesak kampus untuk segera menerbitkan regulasi yang lebih jelas. Dan, untuk sementara, demi korban, kita berhenti untuk saling menyalahkan, terlebih bila kita satu visi untuk melawan kekerasan seksual

Nyatanya, tidak semua bagian dari publik pasif. Tidak semua orang melihat masalah kekerasan seksual sebatas pernyataan sikap. Tidak semuanya segera tertidur pulas dengan cepat, seperti yang Suden katakan. Masih banyak yang peduli dengan korban dan mereka yang akan terancam menjadi korban.

Saya justru was-was apa yang Suden tulis hanya membangun distorsi (pembalikan kebenaran). Sehingga lembaga yang mencoba mengambil tindakan berani seperti HMIS menjadi takut untuk melangkah. Takut akan usaha dan langkah berani mereka disebut lipstick dan obral pernyataan. Sehingga, muara dari perdebatan ini berakhir dengan tidak adanya lagi pihak yang berani bertindak serupa.

Inilah latar belakang saya menulis opini balasan ini. Untuk menguatkan mereka yang berani dan berpesan “kalian ga sepenuhnya salah kok”. Saya jarang bereaksi sekeras ini. 

Sebagai seorang penulis, saya paham betul, ditiap goresan tinta kata, terdapat tanggung jawab yang dipikul oleh penulis. Karena tidak semua penulis menulis untuk dirinya sendiri. Apa lagi bila telah dibagikan ke publik. Sehingga, pertanyaan terakhir saya:

Kepada siapa tulisan Suden didedikasikan? Kepada korban? Kepada publik? Atau kepada egonya sendiri?

======

Opini adalah gagasan pribadi penulis.

 LPM Philosofis menerima tulisan berbentuk opini dari siapa saja yang ingin tulisannya dipublikasikan di Philosofisonline.id. Opini dapat dikirim ke sangpemulaphilosofis@gmail.com dalam format docx/doc dengan panjang tulisan antara 800-3000 kata.

Rachmad Ganta Semendawai

Editor: Farras Pradana

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar