XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tuturan Pedagang Buku Bekas


Barang dagangan Tanto
Kronjot atau tas obrok itu selalu dibawanya dengan motor setiap kali datang ke rumah Sri Margana, guru besar Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM). Begitu tiba di rumah tujuannya, ia akan membiarkan calon pembelinya itu memilih buku-buku bekas yang  ada di dalam tas obrok. Biasanya, buku-buku yang ditulis langsung dengan tangan dan beraksara Jawa, paling sering diambil oleh penulis buku Perebutan Hegemoni Blambangan itu, tutur si pedagang buku bekas. 

Wartawan Philosofis mencoba menghubungi Sri Margana via direct message (DM) Twitter pada Sabtu, 21 Mei 2022 untuk menanyakan kebenaran cerita di atas. Sri Margana, dengan singkat menjawab bahwa, kisah itu benar belaka.

Pedagang buku bekas yang mampir ke kediaman Sri Margana itu adalah Sri Hartanto atau kerap disapa Tanto. Usianya 50 tahunan, dan 15 tahun dari hidupnya itu ia gunakan untuk berjualan buku bekas. Ia memulainya sekitar tahun 2007.

Kegemarannya membaca buku sejak kecil, secara tidak langsung mempengaruhi Tanto menjadi penjual buku 

“Dari kelas tiga SD (Sekolah Dasar) sudah suka buku. Aku justru “mainan” (jualan-red) buku, karena suka buku,” ucap Tanto saat wartawan Philosofis mewawancarainya kala menggelar lapaknya di Pasar Sentir—sebuah pasar dadakan yang buka di parkiran Pasar Beringharjo pada malam hari, Sabtu, 30 April 2022 atau dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri sekitar pukul sepuluh malam. 

“Dari Gramedia (yang ada di Jalan Jenderal Soedirman-red) belum dibangun (seperti sekarang-red), bangunannya masih jelek, terus pindah ke utara, terus balik lagi sudah ditingkat. Aku sering ke sana sampai ditendangi satpam karena daya baca tinggi, daya beli kurang,” lanjutnya dengan tertawa keras, menertawai kehidupannya yang lalu.

Saat masih kecil, sekitar tahun 80-an, ia hobi sekali membaca komik. Bacaan yang ia sukai seperti serial komik Tintin dan serial komik Album Cerita Ternama (ACT). Walaupun demikian, ia jarang sekali membeli komik dan memilih menikmatinya di toko buku. Namun, ada satu kejadian yang terus diingatnya dan sangat membekas. Di mana suatu ketika ayahnya membelikannya komik Tintin Penerbangan 714. 

Sekarang, kala bukunya melimpah—walau untuk berjualan—ia justru jarang membaca. 

Berbicara tentang  barang dagangannya, Tanto mengatakan, buku-bukunya yang dijual berasal dari bermacam tempat. “Ada yang dari rongsok, ada yang diantar orang (ke tempatnya-red), ada yang aku cari sendiri, ada juga yang (beli-red) beli borongan di rumahan,” katanya.

Itu semua tidak ada yang pasti kapan datangnya. Semua terjadi dengan tiba-tiba atau—dalam kata-kata Tanto—sakkecekele.

Buku-buku yang didapatkannya, ia jual melalui dua cara: daring dan langsung. Secara daring, sejak 2018, ia menjualnya melalui akun Facebook dengan nama Mas Tanto Widjojokusumo, dan akun Instagram @tantobuku.  “Kalau di IG, kebanyakan anak-anak muda. Kalau di Facebook (orang-red) cari buku yang langka dan jarang orang punya. Kan susah,” ucapnya.

Sedangkan penjualan secara langsung, ia sering melapak di Pasar Sentir, Sleman, Cebongan, dan Godean. Seperti yang wartawan Philosofis jumpai ketika wawancara. Tanto mengatakan, buku-buku yang ia jual di Pasar Sentir ialah buku-buku yang tidak laku saat dipajang di sosial media. Otomatis, buku-buku yang ia jual secara langsung lebih murah ketimbang di online.

Pengunjung lapakan buku Tanto

“Kadang ya cuma tak bokke (tidak diambil untung-red). Masalahnya, besok harus beli buku lagi. Setiap hari kan tuku buku. Muter terus. Maka, kalau gak ada buangan akhir ya repot.”

Karena harus memutar uang, ia menjadi pedagang seutuhnya, tidak menjadikan buku sebagai benda koleksi. Pernah suatu ketika ia menyimpan buku, tetapi tiba-tiba ada orang datang menawari buku-buku bagus. Mau tidak mau ia harus menjual buku yang disimpannya tadi demi bisa membeli buku-buku lain. Siklus memutar itulah yang terus dijalaninya.

Selain dua hal itu, Tanto juga berjualan dengan cara menyetor pada penjual-penjual buku bekas lainnya. Katanya, selama tiga tahun terakhir, saat sempat berhenti berjualan online, ia menjualnya pada pedagang lain. Namun, sekarang, ia telah berhenti menyetori dan kembali berjualan daring. Terutama karena adanya pandemi Covid-19, di mana banyak orang melakukan transaksi jual-beli secara melalui gawai.

 Tanto dulu juga sering menyetori buku ke salah satu pelapak  yang ada di Shopping lantai dua timur Taman Pintar. Sampai-sampai buku yang dijual berasal dari tempatnya semua.

Dari kegiatannya beradagang buku selama 15 tahun itu, ia pernah mendapat notulensi persidangannya Kartosuwiryo yang kemudian menjadi penjualan tertingginya.

“Aku dulu pernah dapat (notulensi-red) persidangannya Kartosuwiryo, ada cap rahasianya. Mungkin dari tentara. Dulu, ada orang nganterin (dokumen itu-red). Dia beli 20 ribu. Dikasih aku 750 ribu. Dan tak jual laku 6 juta. Tapi, itu ga cepet, karena yang cari orang-orang tertentu.” 

Dengan berjalannya waktu, Tanto  juga mulai mengetahui dan memahami buku-buku yang menjadi minat pembeli. Ia mengatakan, ada empat jenis buku yang sering diburu: buku sastra, kebudayaan, filsafat, dan politik.

Atau, ia juga mengikuti tren buku apa yang harganya sedang naik. Ia mencontohkan kejadian yang dialami beberapa waktu silam perihal komik lawas.

“Kemarin, aku dapat komik-komik tahun 80-an dan 70-an, kan lumayan. Tapi, dibeli penjual lain yang bukan kolektor. Aku beli borongan 250 ribu. Terus tak jual laku 650 ribu. Itu kalau dijual lagi masih bisa naik harganya,” katanya.

Selain berjualan buku, Tanto juga pernah berjualan barang-barang antik, arsip, foto, perangko, dan duit lawas. Semuanya serba kertas. Menurutnya, barang-barang itu ada sebagai pendamping dari jualan buku. Ia mencontohkan,  jika ada orang yang berjualan keris, pasti jualan sampingannya gading, emas, dan perang. Kira-kira demikian cara orang-orang berdagang.

Tanto ketika diwawancarai wartawan Philosofis

Walau demikian, tetap saja, berjualan buku merupakan pekerjaan dengan hasil yang tidak pasti. Ketika wartawan Philosofis bertanya kisaran omset perbulan yang didapat dengan membandingkannya dengan upah minimum regional (UMR) Yogyakarta, Tanto tertawa keras.

“Ya, lebih dari UMR Jogja lah,” katanya tertawa. “UMR Jogja parah. Sumpah, super parah.”

Omset yang didapat Tanto sekitar berada di angka 2 juta. Omset dari berdagang buku itu, ia gunakan untuk menghidupi dirinya dan isterinya, serta menghidupi gaya hidupnya setiap hari yang merokok Marlboro. 

Malam itu Tanto membuka lapaknya setelah mahgrib sampai pukul sepuluh. Sudah ada tujuh buku yang laku. Salah satu buku yang laku itu adalah buku karya F.A.E. van Wouden berjudul Klen, Mitos, dan Kekuasaan yang dibawa pulang wartawan Philosofis dengan harga 25 ribu.Uang yang dikantonginya  ada lebih dari 100 ribu. Dari jumlah itu, ia menyisihkan tiga ribu untuk membayar lapak di Pasar Sentir. 


Farras Pradana

Reporter: Farras Pradana dan Yoga Hanindyatama

Editor: Zhafran Naufal Hilmy


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar