Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Narasi ini akan dimulakan dengan satu
kutipan, “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.” Kiranya begitu, satu
kalimat yang kini paling sering dikutip. Entah dalam utas di Twitter, caption foto di Instagram, atau status di Facebook. Ungkapan
tersebut tentunya harus kita perdebatkan sebelum diafirmasi. Apakah kesimpulan
ini yang kita dapat selepas menonton film Joker (2019)?
Film garapan Todd Phillips tersebut,
sukses meraih banyak penghargaan dan berbagai pujian. Joko Anwar misalnya.
Sutradara film Gundala (2019) itu, memberikan nilai 10/10. Bahkan, kisah
“Si Badut” ini sukses membawanya meraih predikat film terbaik di Festival Film
Venesia. Tak mengherankan jika Joker
masuk dalam nominasi Oscar.
Film Joker, mengisahkan
tentang Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) yang merupakan seorang badut pesta. Dia
digambarkan sebagai pria dengan penderitaan yang kompleks. Mulai dari kisah
mengenai keluarganya yang begitu rumit, mendapat risakkan dari masyarakat,
sampai akhirnya ia kehilangan pekerjaan dan menghabisi nyawa tiga pria yang merudungnya.
Arthur harus merawat ibundanya, Penny
Fleck (Frances Conroy) yang sudah renta, dengan segudang masalah yang ia harus
lewati. Ambisinya satu, ia ingin menjadi komedian yang disegani. Namun, harapan
dan realita nampaknya berjalan saling membelakangi. Kisah kelam Arthur pada
akhirnya membawa dia kedalam pengalaman traumatis. Untuk kemudian mengubahnya
menjadi sosok yang mereka katakan sebagai: “Orang jahat adalah orang baik yang
tersakiti.”
Dalam Semesta DC, Joker merupakan
anti-tesis dari Batman. Jika Batman adalah simbol dari ketertiban sosial, maka
Joker adalah simbol kekacauan (chaos). Ia digambarkan sebagai villain
yang paling merepotkan Batman dan kepolisian kota Gotham. Dalam berbagai film
dan komik, memang selalu menarik untuk melihat pertikaian dua entitas ini.
Jika dalam film terbarunya, Joker
digambarkan berubah menjadi sosok “jahat” karena perjalanan hidupnya yang
begitu sengsara. Berbeda dalam Killing Joke, misal. Disini, ia hanya
membutuhkan satu hari yang buruk untuk menjadi sosok badut kriminil.
Ya, satu hari yang buruk. Dimana
Arthur, adalah penjahat rendahan yang bergabung bersama penjahat lain demi
memenuhi kebutuhan keluarga. Sehari sebelum merampok, istrinya meninggal karena
kecelakaan. Pun demikian, ia tetap berangkat merampok. Disanalah Arthur bertemu
Batman, kemudian tercebur zat kimia, yang mengubahnya menjadi sosok Joker pada
malam tragedi tersebut.
Si Pangeran Ketidak-Aturan
Sulit untuk sepakat, jika harus
mengatakan “Tidak, Joker tidak jahat”. Lagipula, gambaran manusia mengenai
jahat atau baik masih begitu bias dan moralis memang. Joker hanya digambarkan
sebagai anti-tesis dari hero. Kiranya begitu pikiran mainstream orang-orang.
Dalam The Dark Knight (2008),
misal. Orang-orang awam, hanya akan melihat Joker sebagai “penjahat gila” yang
tak punya visi. Akan tetapi, yang harus dikatakan: “Tujuan Joker adalah membuat
kekacauan.” Meski memang, dalam film garapan Christopher Nolan tersebut, tak
terlalu terjelaskan soal origin Joker.
Joker mampu memengaruhi psikologi
publik untuk ikut menjadi gila. Masih dalam The Dark Knight, ia memberi
ultimatum agar Batman membuka identitasnya. Jika tidak dilakukan, tiap harinya
akan ada satu nyawa yang hilang. Benar saja, hal ini menimbulkan banyak
kekacauan. Bahkan, hal tersebut membuat Batman dibenci publik – tepatnya
ditekan publik.
Joker juga sering memaksa masyarakat
untuk “ikut berjudi”. Ada satu permainan menarik. Bersama kroninya, ia menculik
Harvey Dent dan Rachel – keduanya punya ikatan emosi dengan Batman. Kemudian mereka
ditempatkan dalam gudang penuh dinamit yang siap meledak. Permainan Joker
sederhana, Batman cukup memilih salah satu untuk diselamatkan. Satu yang
lainnya, akan mati.
Atau, saat Joker menaruh bom dalam
dua kapal yang berbeda, kapal pertama berisi masyarakat sipil dan yang kedua
berisi narapidana. Permainan yang ditawarkan sekali lagi amat sederhana: mereka
harus menekan tombol ledakan, demi meledakan kapal yang satunya. Jika tak ada
yang menekan, kedua kapal meledak bersamaan. Konsekuensinya, kemungkinan besar
mereka akan saling mendahului untuk meledakkan satu sama lain.
Joker, tentu ingin menunjukkan sifat
asli manusia: egois dan saling bunuh. Narasi itulah sekiranya yang ingin ia
tunjukan. “Ketika segala hal berantakan, orang-orang beradab ini akan saling
memakan satu sama lain”, katanya. Seperti bukan ironi memang, jika kita
menyadari bagaimana realita bermain.
Atau dalam Killing Joke (2016).
Dalam film animasi tersebut – yang diadaptasi dari komik dengan judul serupa –
menunjukkan kebiadaban sosok Joker. Semenjak malam pertemuannya dengan Batman – di malam tragedi itu, Joker mulai beringas. Ia mulai membunuh.
Bahkan dia membuat cacat anak perempuan komisaris Gordon.
Lebih jauh, Joker menculik,
menelanjangi, dan “memamerkan” Komisaris Gordon dalam sangkar yang berada di
taman bermain. Ia memaksa Batman untuk datang, dan ikut bermain bersamanya demi
menyelamatkan Gordon. Pada akhirnya itulah yang diinginkan Joker: ketidakaturan.
Melawan Kepuguhan Moral
Banyak yang berasumsi bahwa perilaku Joker
adalah bentuk kejahatan. Akan tetapi, manusia terlalu cepat mengambil kesimpulan. Pada
dasarnya, norma sendiri adalah hasil kesepakatan yang ditentukan suatu
masyarakat. Dalam tatanan sosial, manusia dikatakan jahat jika menyalahi norma
tersebut. Dengan demikian, kata jahat harusnya tak punya makna absolut.
Sigmund Freud, dalam psikoanalisisnya
percaya bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan.
Maka dari itu, masyarakat membuat suatu aturan yang mereka sepakati bersama
untuk mereduksi segala bentuk kekerasan yang kapan saja bisa muncul.
Jika melihat sudut pandang ini, yang
dilakukan Joker adalah suatu kewajaran dari apa yang digambarkan Freud. Segala bentuk tindak-tanduk yang dilakukan
Joker, pada dasarnya hanyalah naluri absolut. Layaknya bom waktu, segala keresahan
yang menumpuk dari waktu ke waktu akan meledak menjadi bentuk kekerasan.
Maka, apa yang dilakukan Joker
hanyalah upaya untuk melawan segala bentuk tatanan yang sudah ada. Dari sudut
pandang yang moralis, bisa dikatakan ini bentuk penyimpangan. Namun, bukankah
secara ideologis ini hanya satu upaya pembebasan dari belenggu. Joker hanya
ingin membebaskan pikirannya dari segala dogma sosial, tentang moral, norma, dan
aturan-aturan.
Mengutip konsep “Will to Power”
dari Nietzsche. Ia meyakini hakekat manusia adalah hasrat untuk berkuasa. Ia
percaya bahwa penerimaan terhadap penderitaan akan membimbing manusia ke dalam
subtilitas (keagungan) eksistensi kemanusiaannya. Pembebasan dari terpasungnya
hasrat naluriahnya yang kemudian akan mengubah manusia menjadi Ubermensch
‘manusia super’.
Joker adalah sosok Ubermensch
tersebut. Ia adalah salah satunya. Ia telah berani mendobrak hasrat alamiah
manusia, melakukan kekerasan – kembali mengutip konsep Freud – dan menjadi
manusia yang berfikir bebas. Ia tak lagi memberikan nilai terhadap dirinya
dengan menengok dunia luar. Ia tak lagi gentar menghadapi segala dorongan dari
luar. Pada akhirnya, ia percaya bahwa, ya, Joker tetaplah Joker.
Artinya, Joker bukanlah sosok yang
jahat. Ia hanya manusia yang melepas pasungnya. Si Badut telah melepas
belenggunya. Jadi, Joker telah melampaui manusia lain, bukan?
Joker, selalu menganggap bahwa
keberadaban hanyalah omong kosong. Segala bentuk keteraturan bukanlah hal yang
absolut. Bagi dia, yang benar adalah bahwa manusia tak ubahnya binatang. Baginya yang menjadi pembeda, manusia
dipasung dengan banyaknya aturan. Aturan-aturan absurd itulah yang ia anggap
merubah binatang menjadi manusia.
Mengutip perkataannya dalam The
Dark Knight, “Aturan moral masyarakat adalah lelucon yang buruk. Lenyap
sejak masalah muncul. Mereka hanya akan menjadi baik sebagaimana yang
diinginkan dunia. Lihatlah, akan kuperlihatkan. Ketika
segala hal berantakan, orang-orang beradab ini akan saling memakan satu sama
lain.”
Pada akhirnya, kita tak bisa memilih
Joker yang mana. Apakah “Si Badut yang membutuhkan satu hari buruk untuk menjadi Joker” atau “Si Badut dengan kehidupan kelam
dan tragis hingga menciptakan Joker”.
Karena, Joker tetap Joker. Ia adalah
lambang dari pembebasan terhadap hasrat. Dirinya merupakan lambang dari manusia
yang unggul. Joker adalah pendobrak kebebalan aturan sosial. Kemudian, ia
menjadi “si tukang menertawakan” moralitas.
Jadi, yang kelihatan memang “Orang
jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Akan tetapi, sebenarnya “Orang jahat adalah
kita semua.” Harus kita akui, Joker bukan representasi kutipan pertama, dan
mungkin saja bukan yang kedua. Joker ada pada diri kita semua. Karena pada
akhirnya, kita semua bisa menjadi “Joker”.
*Merespon dari film Joker yang mulai berhenti tayang di bioskop tanah air. Maka LPM Philosofis menerbitkan tulisan ini sebagai bentuk apresiasi atas segala pencapaian dan kegilaan film tersebut
Editor: Rachmad Ganta Semendawai