XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Gentrifikasi dan Disparitas Sosial di Yogyakarta

Illustrasi: Rindi Aliatissolihah

Ketika mendengar kata “Jogja”, mungkin di benak banyak orang adalah distrik yang unik dan berbeda dengan kota wisata lainnya. Metropolit ini menawarkan keindahan kota dengan kebudayaan lokal yang masih dipertahankan. Slogan “Jogja Berhati Nyaman”, menjadi jargon besar yang selalu dipromosikan dalam menggaet wisatawan. Sebuah kalimat yang menggambarkan kondisi masyarakat, serta menjadi harapan yang terus tumbuh di dalam penghuninya (Rahadi, 2017).

Masyarakat Jawa, yang dinilai “santun dan ramah”, juga menjadi skala tambahan dalam mendongkrak industri pariwisata di Yogyakarta. Kata yang diserap dari ajaran Narimo Ing Pandum dalam falsafah Jawa ini, dikapitalisasi menjadi peluang destinasi dan investasi di bidang kepariwisataan. 


Akan tetapi, untuk sejenak, mari kita berfikir lebih dalam tentang jargon-jargon tersebut. Dengan demikian, ada pertanyaan lain yang kemudian muncul: Apakah kota ini benar-benar berhati nyaman? Atau, benarkah masyarakat Jogja memperoleh kenyamanan, seperti tersemat dalam jargonnya?


Ya, harus diakui, banyak apartemen, hotel berbintang, perumahan mewah, atau properti lainnya, yang terus bermunculan dengan branding “kota modern”. Selain itu, menjamur pula lokasi-lokasi seperti tempat hiburan malam, mal, serta pusat perbelanjaan hampir di setiap penjuru kota pelajar ini. Properti akomodatif nan mewah ini, tak dimungkiri tentu jadi jaminan kenyamanan bagi wisatawan yang berlibur, serta makin menunjukkan eksistensi “Keistimewaan” provinsi yang berada di Pulau Jawa bagian selatan tersebut.


Kehadiran properti mewah yang berdiri di setiap pojok Jogja itu, menyilaukan mata kita dalam riuhnya perkotaan. Sehingga, “mode nyaman” didapatkan para wisatawan. Alhasil, turis yang datang ke Yogyakarta terus meningkat.


Namun, jika kita lihat secara teliti, di sudut bawah Kali Code, atau juga di pemukiman padat penduduk pinggiran rel kereta api dan Selokan Mataram, kalian pasti akan melihat pemukiman sesak dan kumuh. Ia begitu jelas dan terpampang nyata adanya. Bagi penulis, fenomena itu mengiris hati, bahkan menimbulkan ketidaknyamanan sebagai warga pendatang.


Ketidaknyamanan itu, pasti juga dirasakan bagi masyarakat yang menempati pemukiman tidak tertata tersebut. Keniscayaan itu, tentu bukan opsi hidup yang dipilih warga pemukiman kumuh tersebut. Akan tetapi, semua punya akar masalah yang pasti: “Gentrifikasi”.


      

Kehadiran Getrifikasi di Yogyakarta

Gentrifikasi menjadi viral baru-baru ini. Kata ini mendadak ramai: di Twitter, Instagram, dan platform media sosial lain. Warganet banyak yang membahas fenomena ini. Dalam diskursus tata kelola lingkungan, gentrifikasi dapat dijadikan pisau analisis yang pas untuk melihat permasalahan ruang hidup di Jogja.


Sederhananya, wujud gentrifikasi muncul sebagai proses perubahan lingkungan kota, yang sebelumnya kumuh dan kurang produktif, menjadi properti mewah yang hanya dapat dijangkau oleh kelas menengah atas (kerah putih) atau properti lain yang diperuntukkan untuk komersiil (Lees, L. 2008). Keberadaan properti mewah, yang hanya dapat dijangkau oleh pekerja kerah putih ini, menjadi tanda gentrifikasi telah menjadi bagian dari kehidupan kota tersebut.


Anda tak perlu mengenyam pendidikan khusus untuk memahaminya. Karena, proses gentrifikasi ini sudah terlihat secara gamblang, dengan berbagai pembangunan hunian modern, pusat pertokoan atau mal, hotel maupun properti mewah lainnya, yang secara masif dan cenderung tak terkendali di Yogyakarta. 


Fenomena gentrifikasi pada daerah yang masih mempertahankan budaya feodal ini, terlihat pada perubahan gedung-gedung tua dan perkampungan sesak penghuni, yang disulap menjadi properti mewah nan modern. Memang kontradiktif, kota yang dianggap istimewa dengan banyaknya peninggalan bangunan yang bernilai sejarah dan dinilai unik, berubah menjadi gedung mewah bergaya masyarakat era kapitalisme industri.


Gedung tua dan perkampungan yang telah lama, justru menjadi peluang bagi aktor produksi perumahan dalam mengembangkannya, dengan mengubah menjadi properti baru bercirikan higest and best use (HBU).


Sebagaimana ditegaskan Sholihah (2016), proses transformasi yang tengah melanda Kota Yogyakarta – seperti dituliskan di awal – itu disebut sebagai gentrifikasi. Tak salah lagi! Transformasi perkotaan yang terwujud melalui proses gentrifikasi, dapat dilihat pada mulai tumbuh dan berkembangnya secara cepat sejumlah hunian kamar hotel di Yogyakarta. Jenis properti yang muncul, akan sangat bergantung pada karakteristik perekonomian wilayah tersebut (Wahyu, 2020).


Dalam kasus Yogyakarta, properti modern yang muncul kebanyakan berupa sarana pariwisata (akomodasi). Gentrifikasi pariwisata disinyalir lahir dari pertemuan proses penyebaran gentrifikasi ke berbagai negara (generalized gentrification), dan pembangunan massif pariwisata global di perkotaan (Liang and Bao, 2017).


Pembangunan properti yang bersifat akomodasi seperti hotel, menjadi karakteristik yang sesuai dengan kota Yogyakarta sebagai distrik wisata dan budaya. Bisnis perhotelan yang cukup pesat ini, menjadi fenomena nyata yang terlihat di Yogyakarta.


Dari data di atas, dapat diketahui bahwa pembangungan hotel di Yogyakarta mengalami peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Peningkatan jumlah hunian kamar hotel juga berkorelasi dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan di Yogyakarta.


Pada data tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mencatat penghunian kamar hotel, padahal model penginapan lainnya seperti losmen, indekos (kost) ekslusif juga menjadi alternatif pilihan wisatawan dalam berkunjung di Yogyakarta. Sejauh ini, penulis belum menemukan ada data statistik yang konkrit, mengenai berapa jumlah pasti losmen dan kost eksklusif di Yogyakarta. Akan tetapi, tingginya jumlah wisatawan, ditambah jumlah pelajar dan mahasiswa yang belajar di Yogyakarta terus meningkat, besar kemungkinan jumlah losmen dan kost eksklusif mengalami kenaikan pula.


Apabila pembangunan ruang akomodatif, yang tanpa pengendalian ini dibiarkan, potensi akan timbulnya ancaman kerusakan lingkungan dan konflik sosial maupun agraria semakin besar. Seperti yang sudah terjadi di Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta, misalnya.


Konflik itu muncul akibat displacement, dengan menggusur penghuni informal yang berada pada lahan yang akan dibangun hotel (Wahyu, 2020). Pada dasarnya penghuni menolak secara tegas pemilik lahan dalam melakukan pengusiaran. Upaya perlawanan pun dilakukan, mulai dari demonstrasi, pelemparan batu, negosiasi hingga pengadilan. Pendeknya, tindakan tersebut membawa konflik vertikal maupun horizontal.


Selain memicu konflik antarmasyarakat, gentrifikasi juga mengancam keberlangsungan ekosistem, yang tentu berdampak buruk pada makhluk hidup di sekitarnya. Lingkungan dan warga Kampung Ketempen, Kota Semarang, sudah merasakan dampak negatif perubahan kota tersebut. Pembangunan apartemen di desa tersebut berakibat pada tercemarnya air, yang biasanya dikonsumsi oleh warga sekitarnya (Aprianto, 2016).


Untuk mendapatkan haknya yang paling mendasar sekalipun, warga sekitar apartemen harus melakukan demonstrasi. Protes dan penyuaraan tuntutan kepada pengelola apartemen, terus digaungkan oleh warga terdampak, menuntut manajemen melaksanakan kewajiban mereka sesuai perjanjian di awal pembangunan. Dalam kesepakatan awal, perusahaan properti tersebut berjanji, bahwa segala dampak negatif dari pembangunan apartemen akan ditanggung oleh pihak kontraktor mewah itu. 


 

Gentrifikasi dan Pergulatan Hidup Di Yogyakarta

Perubahan kualitas kota, tak terlepas dari para tuan tanah yang membeli bangunan. Para “tuan tanah” ini menilai, bangunan-bangunan yang mereka beli ini telah usang dan perlu diganti dengan hunian modern, yang sesuai pada konsumsi masyarakat perkotaan. Ini menjelaskan, bahwa sebenarnya dalam menentukan dampak gentrifikasi, memang harus dilihat dari mana sudut pandangnya, sesuai dengan stakeholder yang terlibat (Lang. M. E., 1982).


Pengusaha properti dan kontraktor memperoleh keuntungan dari renovasi tersebut. Pemilik alat produksi akan menyewakannya kepada pekerja kerah putih, yang populasinya terus meningkat, seiring proses deindustrialisasi dengan meningkatnya jasa keuangan di perkotaan. 


Proses transformasi ini dipermudah dengan perizinan usaha, yang mulai di longgarkan (deregulasi) sebagai tren kebijakan pada daerah penganut pertumbuhan ekonomi. Peningkatan investasi dengan melakukan deregulasi, menjadi wacana ekonomi-politik neoliberal dengan menempatkan negara hanya berperan sebagai anjing penjaga (watchdog) bagi para pemilik modal (Wahyu, 2019).


Kendati Yogyakarta merupakan daerah setingkat provinsi, yang dipimpin oleh seorang raja bergelar “Sultan” – seorang pemilik kuasa yang memiliki “tanah grond” di daerahnya – namun, tak menutup kemungkinan lancarnya investasi dengan deregulasi pada daerah terebut. Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja yang telah disahkan pemerintah pusat, juga ikut memuluskan proses investasi, yang berujung pada bentuk gentifikasi di Yogyakarta.


Beberapa tahun terakhir ini, seseorang yang pernah tinggal maupun yang menetap di Yogyakarta, pasti merasakan pesatnya transformasi perkotaan, yang terjadi pada daerah feodal tersebut. Hadirnya proses gentrifikasi, terlihat dari perumahan elite yang menjamur, dengan gedung-gedung tinggi apartemen, hotel, dan pusat perbelanjaan terpampang di setiap sudut kota.


Pembangunan properti mewah dengan branding modern, memicu merabaknya kafe-kafe, restoran, tempat hiburan malam, distro dan wahana lain, yang memuasakan keinginan masyarakat kelas menengah, sebagai penunjang aktivitas perkotaan.


Perubahan wajah kota dengan bangunan modern dan elite memang menguntungkan beberapa pihak yang terlibat didalamnya. Sebut saja, mulai dari tuan tanah, pemberi pinjaman, pengembang, broker real estate, hingga pemerintah pusat dan daerah. Akan tetapi, proses transformasi ini juga perlu dilihat bahwa ia merugikan pihak-pihak lain yang tidak dapat menjangkau harga pasar pada properti modern tersebut.


Pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Yogyakarta, dengan memberikan karpet merah kepada investor, justru mengakibatkan warga asli kota yang didominasi pekerja kerah biru (kelas menengah ke bawah), yang juga membutuhkan tempat tinggal, tergusur secara perlahan.


Pada akhirnya apartemen, perumahan modern, rumah sekitar pusat perbelanjaan atau hotel hanya jadi ajang investasi yang menguntungkan kelas pengusaha, dan hanya mampu dijangkau oleh kalangan kelas menengah-atas (Parama, 2019).


Mereka, yang tidak bisa menjangkau penawaran harga properti yang tinggi, pada akhirnya terpinggirkan ke daerah sub-urban, dan yang mampu bertahan, berada di perkotaan bermukim pada wilayah pinggiran, seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta api, bahkan kolong jembatan.


Ini menjadi perampasan ruang hidup yang paling sopan dan legal. Sementara penawaran harga properti cukup mahal dan hanya bisa dijangkau kelas menengah, para pekerja kerah biru ini pada akhirnya melakukan alternatif terakhir – atau sebenarnya bukan pilihan, yakni berakhir sebagai tunawisma atau menjadi gelandangan (homeless) (Wahyu, 2019).


Gentrifikasi yang dianggap ampuh menyelesaikan persoalan kemiskinan, malah memunggungi tujuannya sendiri. Konon katanya, mengutip Loretta Lees, proses ini akan menciptakan “Sosial Mix” – percampuran penduduk antara pekerja kerah putih dan kerah biru – yang sungguh (katanya) mempan memecah konsentrasi kemiskinan di wilayah tersebut (Wahyu, 2019).


Padahal, secara ironis, gentrifikasi yang tak terkendali, dengan pembangunan hunian modern tanpa melihat kemampuan masyarakat tersebut, justru memperlebar jurang kemiskinan itu sendiri.


Disparitas sosial makin terlihat nyata dengan terampasnya ruang hidup masyarakat miskin kota. Di satu sisi, akan terbentuk perkotaan yang modern dengan perumahan elite. Namun,  bagian sisi yang lain, terdapat pula pemukiman kumuh dan warga tunawisma, yang kehidupannya cukup rentan termarginalkan. 


Yogyakarta menjadi bukti nyata konsekuensi dari model pembangunan kota tersebut. BPS merilis angka ketimpangan ekonomi yang diwakili oleh Gini Ratio (indeks pengukur kesenjangan kemiskinan dan pendapatan), dengan mengukur tingkat pengeluaran penduduk.


Mereka menemukan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi yang tertinggi se-Indonesia, yakni 0, 434 (BPS), 2020). Angka ini jauh di atas Rasio Gini Nasional, yang sebesar 0, 393 (Andhika, 2017).


Ketimpangan sosial ini, menjadi benang kusut konsekuensi dari gentrifikasi yang tak terkendali di Yogyakarta. Model pembangunan kota semacam itu perlu segera diperbaiki dengan alternatif kebiijakan yang solutif dan lebih tepat sasaran. Dengan harapan, agar di kemudian hari ketimpangan sosial yang telah membentuk jurang yang cukup lebar, tidak melahirkan permasalahan lain yang menambah penderitaan masyarakat dan beban bagi pemerintah Yogyakarta. 



Amirudein Al Hibbi

Editor: Ahmad Effendi


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar