XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Brutalitas Polisi di Wadas: Kulit Baru, Borok Lama

Salah satu jalan utama masuk ke desa yang juga sekaligus tempat bentrokan antara warga desa dengan aparat kepolisian pada Jumat, 23 April 2021 lalu di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (27/04). Philosofisonline.id/Farras Pradana.


Ia ditarik paksa. Lengan salah seorang polisi melingkar di lehernya; menyeret tubuhnya ke barisan belakang. Bogem mentah ia terima beberapa kali. Di pipi, janggut, hingga kepala belakang. Tatkala badannya terhempas ke tanah akibat tarikan dan pukulan, beberapa polisi juga masih memberinya tendangan.


“Saya merasa setengah pingsan saat itu,” kisah MAY (inisial), 20 tahun, salah satu mahasiswa solidaritas, yang mengalami tindak kebrutalan polisi pada Jumat, 23 April 2021.


Kekerasan itu MAY alami ketika ia, bersama dengan sejumlah masyarakat dan mahasiswa solidaritas lain, tengah menggelar aksi penolakan sosialisasi dan pematokan terkait rencana penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.


Sebagaimana diketahui, Wadas menjadi desa penunjang material pada proyek pembangunan Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo. Warga sendiri, secara tegas bukan menolak proyek pembangunan bendungan, namun menentang proses penambangan terbuka (quarry) batuan andesit di desa mereka. Masyarakat mempertimbangkan konsekuensinya yang begitu merusak. Itupun sejak awal, mereka juga tidak dilibatkan dalam proses sosialisasinya.


Melansir Public Virtue, penambangan itu akan berjalan selama 30 bulan dengan cara pengeboran, pengerukan, dan peledakan menggunakan 5.300 ton dinamit. Dari aktivitas penambangan itu, warga terancam kehilangan 140 hektar lahan, resiko bencana tanah longsor, serta kehilangan 27 sumber mata air.


Lebih jauh, menurut pernyataan Kepala Dusun Kaliancar, Sidiq, yang ditemui wartawan Philosofis di kediamannya, Selasa, 27 April 2021, ledakan dinamit juga akan bikin rusak (membuat retak; dapat rawan roboh – red) beberapa rumah warga, bahkan yang lokasinya jauh dari pusat penambangan sekalipun.


Aksi penolakan yang digelar pada Jumat pekan lalu, dilakukan oleh sejumlah warga dengan cara Mujahadah, duduk bersila sambil berzikir. Beberapa jalan juga warga tutup dengan pohon-pohon yang sengaja ditebang, untuk menghalau aparat kepolisian, yang menurut MAY “berseragam lengkap; membawa senjata, tameng, dan alat pemukul.”


Sekitar pukul 11.30 siang hari, polisi menerobos secara paksa dengan meneggunakan gergaji mesin untuk memotong pohon-pohon penghalang. Rombongan polisi pun semakin mendekat, bersamaan dengan warga yang semakin nyaring ber-Mujahadah.


“Polisi mulai nandain warga, berteriak sambil nunjuk-nunjuk warga yang dianggap provokator karena zikir dengan suara keras,” kata MAY.


MAY, yang berada di posisi depan, juga melihat bahwa polisi mulai melakukan intimidasi, seperti menendang kaki warga, meski tak terlalu keras. Beberapa ibu-ibu yang merasa terganggu dengan intimidasi tersebut akhirnya mulai emosi. Puncaknya, ketika sedang terjadi pembelaan disertai adu mulut, ibu-ibu itu telah menghilang; ditarik polisi ke barisan belakang.


“Aku masih mencoba menenangkan warga, jangan terprovokasi, dan menghimbau untuk tetap duduk dan berzikir. Pikirku, kalau duduk, kita nggak bakal diapa-apain sama polisi,” MAY menyambung cerita.


Akan tetapi, meski tidak melawan, ia tetap ditarik oleh polisi. Dalam posisi ditarik, dirinya merasakan beberapa warga masih mencoba menolongnya. Kendati demikian, sejumlah pukulan dan tendangan polisi mulai menghajar tubuh kurusnya itu. Dengan keadaan nyeri dan pusing akibat sejumlah tindak kekerasan, ia pun akhirnya berhasil “diamankan” ke truk Brimob, bersama beberapa orang yang telah ditangkap sebelumnya.


Selanjutnya, ia tak mengingat begitu jelas mengenai detail peristiwa dalam kericuhan tersebut. Ia hanya melihat, polisi sudah menembakan gas air mata, dengan diikuti sejumlah pemukulan yang disertai pengejaran ke rumah-rumah warga. Beberapa warga lain juga ditangkap. Sekitar pukul 13.00 siang, MAY bersama warga yang tertangkap di bawa ke Kantor Polsek Kecamatan Bener.


“Aku nggak takut. Mau dibawa kemana aja nggak takut. Karena aku tidak salah. Aku hanya berusaha membela warga," pungkasnya.

 

Spanduk penolakan penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Senin (26/04). Philosofisonline.id/Kedrick Azman.


Asal Gebuk, Asal Tangkap


MAY tidak sendiri. Kebrutalan polisi yang menimpanya, nyatanya juga dialami sejumlah warga lain. Per 23 April 2021, beberapa saat pasca-bentrok, Gerakan Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) melalui Instagram @wadas_melawan, merilis setidaknya ada 11 nama yang tertangkap dan  sembilan orang lainnya mengalami luka-luka. Mereka terdiri dari warga Desa Wadas, mahasiswa yang bersolidaritas, hingga pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang tengah mengadvokasi warga.


Wartawan Philosofis menemui Daryono, salah satu warga yang menolak proyek pertambangan, pada Senin, 26 April 2021. Ia mengisahkan, anaknya juga ditangkap oleh polisi. Padahal, saat itu anaknya hanya merekam kejadian dan sama sekali tak memberi perlawanan.


“Langsung ditarik, dicengkiwing (menarik kerah baju secara paksa – red), seperti seorang kriminal saja,” ucap Daryono menyayangkan tindakan itu. Tak hanya ditangkap, putra Daryono juga mengalami penganiayaan yang berujung cedera pada beberapa tubuhnya.


Sulaiman juga mengalami perlakuan serupa. Pria 63 tahun yang berprofesi sebagai petani ini juga mengaku dicengkiwing dan dipukul sebanyak tiga kali. Padahal, waktu itu dirinya hanya berniat membantu warga lain yang jatuh dan terinjak akibat keadaan yang semakin chaos. Namun, beberapa polisi menariknya dari arah belakang.


“Saya ditarik, disuruh berjonggok di samping mobil. Sambil ditanya-tanya, saya dipukul sebanyak tiga kali, baru kemudian diangkut, dibawa ikut ke Polsek,” kisahnya kepada wartawan Philosofis, Senin, 26 April 2021.


Sementara Ngatinah, warga penolak tambang yang lain, berkisah bahwa dirinya tak pernah menyangka aksi pada hari itu akan berujung ricuh. Ia menceritakan, ketika dirinya bersama warga lain tengah khusyuk bermujahadah, perempuan 54 tahun itu mendengar teriakan “tolong-tolong”.


“Dia [orang yang minta tolong] ketabrak sama polisi. Langsung jatuh terkapar,” katanya, mengingat-ingat kejadian.


Ia menambahkan, ketika hendak menolong, dirinya justru tertangkap. Tak sampai di situ, ketika tengah diseret ke truk Brimob, dirinya mendapatkan pukulan dari salah seorang polisi perempuan.


“Saya udah kayak bola, buat seret-seretan sampai kemana-mana,” ujarnya, sambil menunjukkan bekas luka akibat kekerasan yang ia terima sebanyak tiga kali.


Terkait kejadian ini, wartawan Philosofis mencoba meminta keterangan kepada pihak Polsek Kecamatan Bener. Namun, hingga tulisan ini dimuat, belum ada konfirmasi lebih lanjut dari pihak terkait. KSPK Polsek Kecamatan Bener Beny Irawan, hanya menyebut pihaknya tidak dapat memberikan keterangan dengan dalih kasus ini telah sepenuhnya diserahkan ke Polres Kabupaten Purworejo.


Terlepas dari keengganan tersebut, selain menyayangkan kejadian, sejumlah warga juga menyebut bahwa saat itu justru polisi yang ofensif; menyerang terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan oleh Ngatinah dan suaminya, ketika diwawancarai oleh Philosofis.


“Polisinya, Mas, yang brutal. Bukan kami yang memulai terlebih dahulu […] Polisi melempari kami untuk memancing. Yang penting bukan kami yang memulai,” tegas suami Ngatinah, meluruskan kejadian.


“Pokoknya kalau mau eyel-eyelan, dari pihak kita itu asli tidak anarkis. Mau membantu orang lain yang terinjak, kok malah kena pukul,” Ngatinah mengafirmasi.

 


Spanduk penolakan penambangan batuan andesit yang dipasang di pertigaan dekat Balai Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Senin (26/04). Philosofisonline.id/Kedrick Azman.


Kulit Baru, Borok Lama


Brutalitas aparat negara bukan cerita baru. Kekerasan yang disertai penangkapan secara sewenang-wenang. Warga yang menolak proyek penambangan batuan andesit, hanyalah satu dari banyaknya borok aparat penegak hukum di Indonesia.


Berdasarkan laporan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang dirilis awal tahun 2021 ini, sepanjang Januari sampai Desember 2020 saja terdapat 134 kasus kriminalisasi, 19 kali kasus penganiayaan, dan 11 orang tewas  di wilayah konflik agraria. Beberapa di antaranya bahkan ada yang meregang nyawa karena disiksa selama ditahan dalam penjara.


Ironisnya, modus-modus yang dipakai aparat negara untuk mengkriminalisasikan petani, aktivis lingkungan dan masyarakat adat adalah dengan “cara lama”. Melansir catatan KPA, sebagian besar masyarakat yang terkriminalisasi dijerat menggunakan UU Perkebunan (Pasal 108, Pasal 105, dan Pasal 107), UU P3H (Pasal 82 Ayat 1, Pasal 82 Ayat 2, Pasal 12 huruf b, Pasal 1 angka 6, dan Pasal 11), dan KUHP (Pasal 170 Ayat 2, Pasal 406 Ayat 1, Pasal 363, Pasal 55 Ayat 1, Pasal 362, Pasal 406 Ayat 1, dan Pasal 365).


Ketiga undang-undang tersebut tercatat sering dipakai oleh pihak perusahaan dan aparat, dalam upayanya mengintimidasi dan mengkriminalkan masyarakat yang tengah berkonflik dengan perusahaan atau negara. Tiap tahun, korban dari ketiga UU tersebut terus bertambah. Lebih parahnya lagi, instrumen hukum tersebut kerap digunakan pada persoalan dan lokasi yang sama.


Terkait penangkapan sejumlah warga Desa Wadas dan mahasiswa solidaritas, belum jelas pasal mana yang digunakan. MAY mengingat, bahwa ia dan sejumlah warga yang ditangkap akhirnya bebas setelah mendapatkan pendampingan hukum. Mereka bebas sekitar pukul 01.00 dini hari, usai melalui proses interogasi yang panjang.


“Di Polsek, aku dipindahkan ke ruangan khusus, dipisahkan dari rombongan yang lain. Diintrogasi sampai sore […] sebenarnya aku berhak diam, karena nggak ada kuasa hukum yang mendampingi proses ini. Tapi aku jawab saja sekenanya,” ujarnya, yang juga menegaskan bahwa waktu itu ia tak takut lagi mendapat tindak kekerasan, akibat jawaban-jawaban yang ia sampaikan dengan “rada emosi”.


Pada malam hari, MAY beserta yang lain dipindahkan ke Polres Kabupaten Purworejo. Di sana, ia kembali diinterogasi selama dua jam, mulai pukul 20.00, dengan pertanyaan yang sama ketika ia ditanyai di Polsek Bener. Dalam prosesnya, sejumlah pengacara dari LBH Yogyakarta telah datang untuk mendampingi. Alhasil, setelah melalui sejumlah proses panjang, ia dan yang lain dinyatakan tidak bersalah dan bebas.


“Aku rada ngeri waktu mau balik dicegat buat tes urine,” katanya. “Soalnya waktu buka puasa kita dikasih makan. ‘Kan takutnya, dalam makanan itu terdapat zat-zat yang bikin aku positif [menggunakan narkotika – red]. Alhamdulillah, aku negatif,” sambungnya.

 


Penuh Haru


Konflik agraria yang diikuti kekerasan dan kriminalisasi aparat di Desa Wadas, menjadi pengingat bagi MAY, betapa perjuangan warga tetap hidup kendati banyak tekanan dari banyak pihak. Ia terharu dengan perlawanan warga yang terus berzikir, disamping bersedih melihat negara, melalui aparat kepolisian yang justru bersikap brutal.


Ia juga merasa tersanjung ketika warga Desa Wadas menyambutnya kembali, bersama warga lain yang sebelumnya tertangkap.


“Kita disambut. Dipeluk-peluk oleh warga yang menyambut,” tuturnya, menyiratkan warga Desa Wadas begitu menghargai solidaritas dari mahasiswa.


Keharuan juga dirasakan Kepala Dusun Kaliancar Sidiq, yang sejak awal memang konsisten menolak proyek penambangan batuan andesit di desanya. Ia bahkan mengaku menangis ketika melihat banyak warganya bermujahadah di Balai Desa, pagi hari, sebelum terjadi kerusuhan.


“Ya allah, saya baru saja menjabat. Kenapa sudah harus dihadapkan pada konflik, yang mau merusak desa saya ini,” tuturnya, mengingat kembali perasaannya, dengan mata berkaca-kaca.


Senada dengan MAY dan Kadus Kaliancar Sidiq, yang memiliki pengalaman haru pasca-kejadian, suami Ngatinah yang kala ditemui memakai kaos biru dan bercelana pendek warna jingga pudar, punya harapan dan komitmen besar dalam perjuangannya pada kelestarian lingkungan Desa Wadas.


“Meskipun kami diinjak-injak, ya sudah. Kami hanya inginkan kemenangan untuk Wadas.” Pungkasnya, sambil menyandarkan tangan di dinding batu-bata rumahnya.


 

Ahmad Effendi

Reporter: Amiruedein Al Hibbi, Irvan Bukhori, Ahmad Effendi, Dewa Saputra, Farras Pradana, Kedrick Azman, dan Zhafran Hilmy

Editor: Amirudein Al Hibbi

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar