XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

“Kami Sudah Tidak Punya Bapak Lagi”


Potret Kepala Dusun Kaliancar Sidiq, 33 tahun, ketika diwawancarai di rumahnya di Dusun Kaliancar, Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (27/04). Philosofisonline.id/Farras Pradana.



“Kami sudah tidak punya bapak lagi.”


Kalimat itu berulang kali diucapkan ibu-ibu warga Dusun Kaliancar, Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo kepada wartawan Philosofis, Selasa, 27 April 2021. Apa yang mereka maksud sebagai “Bapak” tidak lain dan tidak bukan adalah Kepala Desa (Kades) atau Lurah Desa Wadas.


Ibu-ibu yang berjumlah enam orang itu, mengucapkan kalimat tersebut sebagai ungkapan rasa kecewa terhadap sikap Kades Wadas Fahri Setyanto. Dengan dibumbui pelbagai celetukan, ibu-ibu ini menjelaskan posisi lurah dalam masalah yang sedang menimpa warga Desa Wadas.


Sikap dari Kades Wadas Fahri Setyanto sendiri, ialah mendukung proyek penambangan terbuka (kuari) batuan andesit di wilayah ia pimpin. Perlu diketahui, batuan-batuan andesit yang ditambang tersebut, nantinya bakal digunakan sebagai bahan untuk pembangunan Bendungan Bener.


Dalam proses penambangan, sebagaimana melansir Public Virtue, akan berjalan selama 30 bulan dengan cara pengeboran, pengerukan, dan peledakan menggunakan 5.300 ton dinamit. Dari aktivitas penambangan itu, warga terancam kehilangan 145 hektar lahan, bencana tanah longsor, dan kehilangan 27 sumber mata air.


Lebih jauh, menurut Kepala Dusun (Kadus) Kaliancar, Sidiq, tatkala ditemui Philosofis, penambangan dengan peledak dinamit juga dapat membuat rumah-rumah warga yang tidak masuk wilayah terdampak – di luar wilayah pembebasan lahan –  tetap akan mengalami kerusakan.


Sayangnya, ancaman yang terlalu besar itu diabaikan begitu saja oleh Kades Fahri Setyanto. Lantas, karena sikapnya itu, warga desa, seperti dikatakan salah seorang ibu, akhirnya “hidup sendiri-sendiri”.


Ketidakberpihakan Kades pada warga juga ditegaskan oleh Sumini, 58 tahun, ketika diwawancari wartawan Philosofis pada Senin, 26 April 2021. Menurutnya, Kades Wadas Fahri telah ingkar janji.


Lha, lurahnya saja malah membantu mereka [pengembang proyek kuari – red]. Lurahnya itu mengingkari janji. Dulunya bila terpilih akan membantu, namun sekarang, tidak tahu kemana,” tuturnya menjelang adzan Maghrib.


Pada akhirnya, akibat ketidakberpihakan pemimpin desa, warga Desa Wadas pun harus menjalani keseharian, sekaligus menyuarakan perlawanan mereka serupa “anak tanpa bapak”.

 

Kantor Balai Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (27/04). Philosofisonline.id/Farras Pradana.



Merembet ke Hubungan Birokrasi

Tak hanya dengan warga desa secara umum. Hubungan yang tidak harmonis ini juga dirasakan oleh Sidiq, selaku Kadus, yang secara hierarkis membawahi Kades Fahri. Sikap Sidiq, yang sejak awal selaras dengan warga menolak penambangan batuan andesit, menjadi sumbu pemicu ketidakharmonisan hubungan dengan atasannya tersebut. Padahal, ia dan Fahri bekerja di kantor yang sama.


Tatkala ditemui Philosofis di kediamannya pada Selasa, 27 April 2021, pukul setengah sebelas siang, pria 33 tahun itu mengisahkan pengalaman yang ia alami dengan mata berkaca dan emosional.


Perlu diketahui, sebelum masalah penambangan di Wadas mencuat, perlakuan Fahri Setyanto kepada Sidiq baik-baik saja, baik secara personal maupun hubungan birokrasi. Semisal, secara personal, sebagaimana ia contohkan, dulu Kades Fahri sering membeli membeli rokok di warung miliknya.


Namun, selepas Sidiq menolak dan tidak akan ikut ambil bagian dari pemulusan agenda penambangan, Kades Fahri tidak lagi menyambagi warungnya. Bahkan, obrolan pun tidak pernah terjadi, baik secara langsung maupun via daring. Sikap Kades terhadap bawahannya itu berbalik seratus delapan puluh derajat.


“Kok gak pernah ke sini, beli rokok(?) Oh, saya langsung sadar diri. Dia [Kades Fahri – red]  sudah dongkol sekali dengan saya,” ujar Sidiq dengan penekanan, menanggapi perubahan laku Fahri Setyanto.


Sementara dalam hubungan birokrasi, awalnya bila ada agenda pekerjaan di balai desa, Kades tetap berkoordinasi dengan Kadus Sidiq. Hanya saja, jika itu menyangkut masalah penambangan batuan andesit, secara otomatis Kadus Kaliancar itu tidak dilibatkan.


Akan tetapi, seiring berjalannya waktu hubungan itu makin mereggang. Kini, Sidiq bahkan tidak dilibatkan dalam agenda balai desa, sekalipun itu tidak ada urusannya dengan proyek penambangan. Ia mencontohkan, misalnya, dalam hal agenda studi banding ke desa lain.


“Studi banding ‘kan harusnya untuk semua perangkat. Saya sama sekali tidak ditanya-tanya [dihubungi Kades],” ujarnya.


Hal serupa juga terjadi ketika Sidiq mengurusi Surat Pemberitahuan Pajak Tertuang (SPTT) warga. Ia mengaku dimarahi dan ditegur oleh Kades Fahri. Perilaku itu lantas membuatnya sangat tertekan. Padahal, urusan SPPT tidak berhubungan sama sekali dengan perkara kuari andesit.


Jika terkait agenda penambangan saja mendapat banyak tekanan, kondisi makin pelik ketika sudah menyangkut proyek kuari andesit. Ia mengakui, bahwa urusan ini yang menurutnya paling berat. Salah satunya ia rasakan ketika koordinasi terkait agenda sosialisasi dan pematokan tanah, yang dilaksanakan Jum’at, 23 April 2021.


“Setelah Kadus-Kadus didesak undangan, saya merasa kebingungan,” ujarnya. “Terus saya tetap tidak mau. Otomatis, Pak Lurah  agak mendesak. Tapi tetap saya jawab ‘keberatan’, ‘tidak mau’,” imbuhnya tegas, kala menceritakan tekanan yang ia alami.


Akibat sikapnya yang membela warga, Sidiq bukannya tidak mendapat masalah lain dari Kades Fahri. Selain mendapat tekanan, Kadus Kaliancar yang konsisten menolak proyek penambangan ini juga  pernah mendapatkan intimidasi.


Sidiq menyadari, bahwa sebagai bawahan,  mau tidak mau ia harus menerima perintah atasan. Sementara perintah terkait proyek kuari andesit yang ia tidak mau laksanakan, pada akhirnya berujung pada ancaman terhadap karirnya.


Seperti ia kisahkan, dulu para Kadus sempat akan dibuatkan Surat Keputusan (SK) yang isinya, secara garis besar, “semua Kadus dan perangkat desa harus mendukung proyek kuari andesit.” Oleh karena itu, semua Kadus dan perangkat desa harus melaksanakannya tanpa terkecuali. Mereka diharuskan mendampingi agenda pengukuran tanah yang masuk wilayah proyek.


“Langsung saya jawab,” kata Sidiq, yang ia lanjutkan dengan rekonstruksi percakapannya bersama Kades Fahri:


“’Mbah [Kades Fahri – panggilan akrab], nyuwun sewu, abot banget. Ora wani temenan. Nyong kawit awal tetep menolak. Ojo lah ngasi diobrak-abrik desane (Mbah, maaf banget, ini berat sekali. Saya tidak berani. Saya dari awal tetap menolak. Jangan sampai, desa kita dirusak),” katanya.


“Yo luweh. Nek, sik ra gelem, yo otomatis, liren sementara (Yo terserah. Yang tidak mau melaksanakan otomatis akan diberhentikan sementara),” sambungnya, mempraktekan ancaman pemberhentian sementara atau skorsing dari Kades Fahri.


Namun, ancaman itu nyatanya hanya gertak sambal. Hingga kini, Sidiq masih menjabat sebagai Kadus Kaliancar, serta masih konsisten membela kepentingan warga yang menolak tambang. Dokumen-dokumen kependudukan yang ia urus, masih tergeletak di ujung sofa ruang tamu rumahnya, menandakan bahwa dirinya masih peduli dan aktif melayani masyarakat.


Sementara itu, terkait sikap Kades Fahri Setyanto yang mendukung proyek penambangan batuan andesit, serta hubungannya dengan Kadus dan warga, wartawan Philosofis menemui jalan buntu. Ketika dimintai konfirmasi pada hari Selasa di kantornya, ia menolak permintaan wawancara “jika untuk diberitakan”. Padahal, ketika kami datang, ia sedang menyambut wartawan lain dari media broadcasting.

 

Mahasiswa yang bersolidaritas terhadap warga Wadas – yang menolak penambangan batuan andesit – bermain bersama anak-anak di sungai Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (27/04). Philosofisonline.id/Farras Pradana.


Masalah Klasik Pedesaan dan Posisi Elit Desa


Untuk mengurai masalah hubungan Kades Wadas dengan Kadus Kaliancar, wartawan Philosofis menghubungi seorang asisten peneliti di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada (UGM). Pria berusia 25 tahun, bernama Sinergy Aditya tersebut mengatakan apa yang terjadi dalam birokrasi di Desa Wadas merupakan masalah klasik dalam studi pedesaan dan agraria.


Ia menjelaskan, semenjak tahun 50-an elit desa seperti tuan tanah, kapitalisme birokrat, tengkulak jahat selalu memicu permasalahan konflik kepentingan dengan urusan publik. Sebenarnya, persoalan tersebut sudah pernah dikonfrontasikan oleh organisasi petani progresif seperti BTI (Barisan Tani Indonesia). Sayangnya, peristiwa 65 menenggelamkan narasi kritis pembangunan desa.


Akibatnya, selama kekuasaaan Orde Baru (Orba), permasalahan di desa bukan lagi menyoal struktur kelas sosial. Namun, urusannya hanya pada tataran peningkatan produksi dan produktivitas. Ketimpangan sosial dan kemiskinan di perdesaan yang stagnan, bahkan melonjak tajam, menjadi konsekuensi yang dikarenakan tidak ada lagi kritik kelas sosial dan penguasaan tanah di pedesaan.


“Hal demikian juga terjadi hingga sekarang. Elit desa dan kelas petani-kaya cenderung memiliki kekuatan sosial dan ekonomi yang besar, tidak jarang mereka juga menampuk diri sebagai politisi pedesaan. Sosok kepala desa masuk menjadi salah satu elit desa yang memiliki kekuatan dan sumber daya pengaruh di perdesaan. Sementara kepala dusun perlu dilihat kembali karakteristiknya. Dia sebagai apa? Petani menengah? Atau hanya petani-miskin?” tulisnya, ketika dihubungi melalui pesan Whatsapp pada Minggu pagi, 2 Mei 2021.


Atas pertanyaan Aditya ini, wartawan Philosofis kemudian menyampaikan hasil temuan yang didapat tatkala mewawancarai Kadus Kaliancar Sidiq.


Posisi Sidiq dalam kelas sosial adalah sebagai seorang birokrat desa. Penghasilannya ditunjang dari gaji dan warung kelontong yang ia buka di rumahnya. Untuk urusan kepemilikan tanah, ia mengatakan, “Walaupun saya tidak punya tanah, saya tetap mau mempertahankan tanah Desa Wadas ini”.

 


Farras Pradana

Reporter: Amiruedein Al Hibbi, Irvan Bukhori, Ahmad Effendi, Dewa Saputra, Farras Pradana, Kedrick Azman, dan Zhafran Hilmy

Editor: Ahmad Effendi dan Amirudein Al Hibbi


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar