XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

K-Waves: Perjuangan Atas Kemiskinan hingga Digdaya Dominasi Budaya Populer

 

Ilustrasi: Adam Yogatama

K-Pop, K-Drama, Korean Food, Korean Look (Make-up), adakah hal-hal berbau Korea yang belum saya sebutkan? Kayaknya Korea banyak mengambil bagian dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai yang awalnya sekadar untuk hiburan, ihwal berbau korea lain seolah ikut masuk dan menyebar seperti virus. Tiba-tiba banyak dari kita yang terjangkit demam korea begitu saja.

Hari ini, Korea Selatan menjadi salah satu negara maju. Padahal, usia kemerdekaannya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Malahan kondisi awalnya lebih parah, terutama pasca perang saudara tahun 1953. Korea Selatan melesat seperti roket, dari pendapatan perkapita yang hanya USD 93,8 menjadi USD 35.000 dalam enam dekade.

Produk-produk budaya populer mereka juga telah banyak tersebar di seluruh dunia. Mereka dikenal mulai dari grass root hingga jadi bahan kampanye elit politik. Kenapa? Kok bisa? Apa karena K-Drama dan K-Pop aja? Tapi, drama China, drama Thailand juga ada. Karena boyband dan girlband-nya? Dulu Indonesia juga punya. Thailand, Jepang, dan China juga punya. Pertanyaannya, kenapa Korea Selatan bisa se-booming itu hingga mampu bertransformasi secepat itu? Saya pun berusaha mencari tahu.

Udah Jatuh Miskin, Masih Tertimpa Rezim Otoriter

Kita mulai dari delapan tahun pertama pasca Perang Korea (1953), di mana Korea Selatan mengalami kekacauan politik dengan pertumbuhan ekonomi yang lamban dan merajalelanya kasus korupsi. Berbeda dengan Korea Utara yang mampu melakukan pemulihan, Korea Selatan justru banyak bergantung pada bantuan besar-besaran Amerika Serikat.

Presiden pertama Korea Selatan, Syngman Rhee (1948-1960), memerintah secara otoriter dan tidak memberikan kemajuan yang baik bagi negaranya. Ia dan kroninya, tidak ragu untuk melakukan suap, manipulasi pemilu, dan praktik bersenjata untuk melanggengkan kekuasaan.

Bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat kala itu, tidak membuahkan hasil yang berkelanjutan. Setidaknya hingga tahun 1960, di akhir kepemimpinan Presiden Syngman Rhee, Korea Selatan tidak menunjukkan perbaikan yang menjanjikan. Negara ini bahkan masuk dalam daftar negara termiskin di dunia, setara dengan nagara-negara miskin Afrika. Produk Domestik Bruto (PDB) kala itu hanya mencapai USD 3,96 miliar dengan pendapatan perkapita hanya USD 93,8.

Korupsi dan pertumbuhan ekonomi yang lambat memunculkan dan memasifkan sentimen tidak puasnya rakyat terhadap pemerintahan otoriter Rhee. Kekuasaan Rhee berakhir pada periode keempat (1960), di mana kemenangannya dianggap sangat curang. Para pelajar memimpin pemberontakan dan Rhee diasingkan ke Hawai.

Runtuhnya rezim otoriter Rhee tak lantas membuat Korea Selatan mengalami perkembangan pesat. Mereka masih membutuhkan waktu untuk bisa menyesuaikan diri dan menemukan bentuk pemerintahan yang sesuai dan efektif.

Gejolak pemberontakan dan demonstrasi terus terjadi karena kondisi Korea Selatan yang tak kunjung membaik. Kondisi itu, diperparah dengan inflasi dua digit yang disebabkan devaluasi mata uang oleh pemerintahan PM Chang Myon. Inflasi juga menyebabkan dukungan komunitas bisnis terkikis. Apalagi, mereka terancam dihukum karena adanya undang-undang hukuman bagi pengusaha korup yang terafiliasi dengan rezim Rhee.

Pemerintahan kembali runtuh dengan kekerasan pada 16 Mei 1961. Pemberontakan ini dilakukan oleh sekolompok perwira militer dan dipimpin Jenderal Park Chung-hee.

Warisi Kemiskinan, Korea Selatan Tumbuh dengan Repelita

Well … sampai di titik ini, tahun 1961, Korea Selatan masih tetap jadi negara madesu (masa depan suram). Belum lagi mereka harus menelan kenyataan jika Korea Utara jadi negara yang dielu-elukan karena pertumbuhan ekonominya. Begitu pula Jepang yang juga mengalami pertumbuhan pesat pasca perang dunia II.

Yah …, kurang lebih miriplah sama kalian yang sering dibanding-bandingin sama anak tetangga atau saudara sendiri. Bedanya, Korea Selatan sampai dibuatkan tulisan sama salah satu reporter New York Times, AM Rosenthal. Sampai-sampai dalam laporannya, ia menulis, “… tak ada seorang pun yang mengetahui jawaban atas permasalahan ekonomi negara ini.” Miris. Untungnya, pemerintahan Park Chung-hee sudah mulai agak waras.

https://www.nytimes.com/1961/03/21/archives/outlook-dreary-for-south-korea-crowded-nation-has-few-resources.html

Sebagai informasi, in case ada yang belum tahu Korea Selatan itu di mana, saya akan jelaskan sedikit mengenai geografis negara ini. Korea Selatan berada di ujung Semenanjung Korea. Satu-satunya akses langsung yang menghubungkan mereka dengan daratan itu, harus melewati Korea Utara dan jelas ini tidak mungkin. Jadi, mobilitas Korea Selatan cuma bisa pakai kapal atau pesawat terbang. Nah, Korea Selatan ini diapit sama dua raksasa ekonomi. Yap, Jepang dan China, masing-masing di timur dan barat. 

Ilustrasi: Ariska Sani
Kondisi di atas membuat Korea Selatan tampak begitu kerdil. Belum lagi diperparah dengan sumber daya alam yang minim dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, seperti yang dituliskan AM Rosenthal. Perpaduan ini secara langsung menurunkan pendapatan perkapita negara tersebut.

Nah, menyadari negaranya sangat miskin dan terancam dengan posisi dan kondisi yang demikian itu, pemerintah Park Chung-hee mulai putar otak. Sebagian masyarakatnya dididik di Amerika agar mampu menjadi otak kemajuan Korea Selatan. Mereka digembleng untuk jadi ekonom hingga insinyur, meski tetap ada yang secara sukarela belajar mandiri ke sana dengan uang pribadi.

Chaebol atau konglomerat swasta yang tadinya mau dihukum karena dianggap korup, kini beralih dirangkul untuk membantu pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kalian pasti tidak asing dengan Hyundai, LG, dan Samsung. Yap, mereka inilah chaebol kawakan yang menggendong perekonomian negara, ditambah dengan SsangYong, sebuah perusahaan bus yang kini bertransformasi serupa Hyundai.

Sebelum lanjut, saya mau klarifikasi dulu. Jadi, pemerintahan otoriter Rhee yang saya jelaskan sebelumnya itu, sebenarnya bukan tidak memberikan pengaruh sama sekali—selain korupsi dan kemiskinan. Pemerintahan Rhee berhasil menerapkan landreform yang mengatur kepemilikan dan teknis pengelolaan tanah. Aturan ini jadi basis ketahanan pangan dan peningkatan produksi pertanian negara tersebut. Bonus menurunkan kesenjangan ekonomi juga.

Lebih jauh, aturan landreform ini secara tidak langsung juga meningkatkan dan memeratakan pendidikan di sana. Sebagian Tuan Tanah yang “bangkrut” karena terkena pajak tinggi, memilih buat beralih ke sektor bisnis swasta dan pendidikan.

Tentunya, pemerataan pendidikan Korea Selatan tidak semata-mata karena landreform aja. Korea Selatan juga punya aturan ketat soal standar professionalitas dan pelatihan wajib bagi guru. Gak tanggung-tanggung, pemerataan ini mengalahkan sebagian besar negara maju di dunia kala itu (1961). Angka putus sekolah pun jadi yang terendah dari seluruh negara miskin di dunia. Jadi, waktu itu Korsel ini miskin, tapi orangnya pinter-pinter.

Pemerintahan PM Chang Myon sendiri punya peran dalam memulai kerja sama dengan Jepang. Ia juga yang menggagas rencana pembangunan pembangkit listrik, industri dasar (pupuk, semen, pengelolaan minyak, besi baja), peningkatan infrastruktur dan produksi pertanian, serta pengembangan saintek. Capaian ini ikut memperkuat basis ketahanan negara tersebut.

Masuk ke era Chung-hee, ia mulai membuat rencana pembangunan lima tahun. Kalau di Indonesia kayak Repelita zamannya Soeharto gitu~. Di Korea disebut Five-Years Plan (FYP). Kurang lebih isinya tentang penguatan chaebol, regulasi tentang pengaturan modal, peningkatan industri kimia dan insdustri berat—termasuk penguasaan dan pengembangan IPTEK, dan kebijakan ketenagarakerjaan.

Semua program tersebut tidak terjadi hanya dalam satu repelita, tetapi empat (ada yang menyebut hingga enam). Tahapan-tahapan yang dijalankan begitu terstruktur, diawali penguatan industri dasar dan fokus pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Misalnya dengan pembangunan pabrik pupuk, pengolahan minyak, hingga tekstil. Dilanjutkan pembangunan industri subtitusi dan penguatan industri kualitas ekspor. Sampai pada repelita keempat, industri Korea Selatan dapat bersaing secara global.

Setelah Park Chung-hee tidak lagi menjabat, kebijakan-kebijakannya masih diteruskan secara konsisten dan berkelanjutan, meski dengan segala huru-haranya. Sampai sekitar tahun 1990-an, Korea Selatan benar-benar menerapkan kebijakan yang lebih liberal. Pihak swasta atau chaebol mendapat lebih banyak kebebasan untuk andil dalam peningkatan perekonomian negara, termasuk dalam industri kebudayaan.

Program-program yang dijalankan terbukti ampuh untuk menguatkan industri dalam negeri negara tersebut. Tidak seperti Indonesia yang secara konsumtif masih menggunakan produk luar negeri, misalnya Google dan Meta, Korea Selatan punya Kakao yang lebih banyak digunakan masyarakatnya hingga saat ini. Atau Indonesia yang masih gengsi-gengsian soal iPhone, Korea Selatan sudah punya Samsung yang akhir-akhir ini suka dibanding-bandingkan dengan merk apel keroak itu. Indonesia masih ribut soal Esemka, Korea Selatan sudah punya Hyundai yang tersebar di mana-mana.

Lantas, bagaimana dengan budaya populernya?

Korean Wave Bukan Agenda Baru

Fakta mengejutkan saya dapat dari jurnal Ar Rehla yang membahas perbandingan ekonomi kreatif di dunia (Korea Selatan, Jepang, dan Uni Eropa). Korean Wave ternyata sudah dicetuskan sejak era Presiden Rhee. Hanya saja, waktu itu masih sebatas pada sastra, seni rupa, musik, tari, drama, arsitektur, dan musik tradisional. Sementara untuk budaya populer belum termasuk.

Memasuki era Park Chung-hee, kebudayaan dinilai sebagai second economy. Budaya Korea didorong untuk dapat memberikan nilai-nilai baik, seperti hemat, pekerja keras, dan optimisme. Kayak dijadikan alat doktrin gitu, deh~. Bahkan tahun 1975, sampai ada keputusan presiden yang melarang 222 lagu Korea Selatan dan 261 lagu asing karena dianggap memberikan pengaruh negatif terhadap keamanan nasional. Konten-konten yang bernapas pesimistis juga dilarang.

Kebudayaan populer baru mulai didukung tahun 1994, era Presiden Kim Young Sam. Pemerintah memberikan anggaran khusus terhadap industri kebudayaan yang diatur di bawah Kementrian Kebudayaan. Presiden Kim juga membuat semacam repelita khusus untuk sektor ini, dengan nama Lima Tahun Rencana Pengembangan Budaya.

Korean Wave mulai didistribusikan secara internasional tahun 1997 dengan tayangnya drama What is Love di Tiongkok. Keberhasilan Korea Selatan dalam bertahan di tengah krisis moneter dan meledaknya budaya populer Korea Selatan di negara-negara Asia, membuat Negeri Ginseng ini berada di atas angin.

Enam tahun kemudian, tahun 2003, Korean Wave semakin meledak dengan tayangnya drama korea Winter Sonata di Jepang. Saat itu, Korean Wave dikenal dengan Hallyu. Kata ini memiliki makna “a sudden cold wave”, gelombang dingin yang tiba-tiba. Diambil dari aksara China, han dan liu. Sehingga, secara populer kata ini bermakna, demam Korea.

Sejak saat itu, Korean Wave terus menjamur. Presiden-presiden selanjutnya, secara konsisten terus mendukung pengembangan budaya Korea Selatan sebagai industri kreatif, menggeser industri manufaktur yang sudah lebih dulu disokong. Ledakan virus Korean Wave semakin luas terjadi semenjak masuk era digital, di mana penyebaran informasi semakin massif. Korea Selatan berhasil memanfaatkan media tersebut untuk memperluas pengaruh budaya Korea di dunia.

Bukan Karena Keberuntungan, Korea Selatan Mendunia Karena Konsistensi

Sejak di era Rhee yang sangat miskin dan seperti tidak ada harapan, Korea Selatan sebenarnya sudah menunjukkan adanya potensi kebangkitan. Keseriusan pemerintah soal pendidikan dan keberanian kroni Rhee dalam menerima kebijakan landreform, menunjukkan bahwa negara ini memiliki setitik harapan dengan adanya bibit sumber daya manusia yang unggul.

Kekuatan Korea Selatan semakin terlihat semenjak Park Chung-hee mengambil kekuasaan dan berani menumpas korupsi. Kejeniusan dalam memperkuat sektor-sektor kebutuhan pokok dalam negeri, membuat negara ini semakin kokoh. Juga usahanya dalam membangun bangsa pasca kolonial (post-colonial nation building) dengan instrumen kebudayaan untuk memperkokoh jati diri masyarakat negaranya. Ketika dirasa ketahanan dalam negeri sudah cukup kuat, Korea Selatan memberanikan diri untuk fokus pada sektor industri kreatif dan berorientasi pada peningkatan ekonomi.

Tak tanggung-tanggung, peningkatan PDB Korea Selatan melonjak dari USD 3,96 miliar pada 1961 menjadi USD 1,8 trilliun pada 2021. Pendapatan perkapita dari USD 93,8 menjadi USD 35.000 dalam kurun waktu yang sama. Angka ini berhasil menempatkan Korea Selatan dalam urutan 10 daftar ekonomi terbesar dunia dengan penduduk yang hanya 51,7 juta jiwa.


https://google.com/search?q=produk+domestik+bruto+korea+selatan

Bayangkan, kalau kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan Korea Selatan sangat tidak stabil, pemerintahnya tidak akan mampu untuk dapat mendorong second economy menjadi income terbesar negaranya. Perhatian pemerintah negara tersebut tentu akan terpecah dan tidak optimal dalam menguatkan industri kreatif mereka. Korean Wave tidak akan mungkin semeledak saat ini dan terus meluas secara konsisten selama lebih dari dua dekade.

Korea Selatan tidak seperti Indonesia yang kehilangan jati diri, terombang-ambing di tengah gempuran budaya luar negeri. Mereka tahu dan sadar betul apa yang menjadi milik mereka. Apa budaya asli mereka dan menjadikannya sebagai komoditas untuk dikenal secara luas di dunia.

Bukan bermaksud merendahkan negara sendiri. Hanya saja, rumput tetangga memang sering kelihatan lebih ijo. Masalahnya, yang satu ini ijo-nya ijo neon. Silaauuuuu…



Referensi:

Aziz, A., Nur, H., & Paryanti, A. B. (2021). Fase Ekonomi Korea Selatan Menuju Tinggal Landas dan Faktor-Faktor Pendukungnya. Jurnal Universitas Surya Darma. https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jmm/article/view/742.

Khaled, M. (2007). Park Chung-hee’s Industrialization Policy and Its Lessons for Developing Countries. CORE. https://core.ac.uk/download/pdf/51178793.pdf.

CNBC Indonesia. (2023). Bak Drakor, “Keajaiban” Ini Sulap Korea Dari Miskin Jadi Raja. CNBC Indonesia. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/research/20230606093241-128-443290/bak-drakor-keajaiban-ini-sulap-korea-dari-miskin-jadi-raja pada 8 Februari 2024.

Perdana, P. (2022). Studi Komparatif Ekonomi Kreatif di Dunia. Ar Rehla: Journal of Islamic Tourism, Halal Food, Islamic Traveling, and Creative Economy, 2(1), 72-92. https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/arrehla/article/view/5510.

Puspitasari, R. W. (2018). Dukungan Pemerintah Korea Selatan Terhadap “Korean Wave” di Indonesia pada Tahun 2005-2015. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/21146.

Seth, M. J. (2013). An Unpromising Recovery: South Korea’s Post-Korean War Economic Development: 1953-1961. Education About Asia, 18(3), 42-45. https://www.asianstudies.org/publications/eaa/archives/an-unpromising-recovery-south-koreas-post-korean-war-economic-development-1953-1961/



Ariska Sani

Editor: Zhafran Hilmy





 



Related Posts

Related Posts

Posting Komentar