Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
“Football is nothing without fans”
Kalimat tersebut tak pelaknya mewakili
visualisasi nyata dari dunia sepakbola Indonesia. Fanatisme dan kreativitas
suporter selalu mewarnai jalannya laga di sepanjang kompetisi tiap tahunnya.
Bisa dikatakan hampir setiap klub sepakbola tanah air memiliki basis suporter
nan besar. Bara loyalitas, demikian bisa kita tagih entah kala bertanding di
kandang maupun bertandang.
Kemunculan berbagai kelompok suporter ini
sudah diawali sejak era 80-an dengan lahirnya berbagai nama besar seperti Jack
Mania dan Bonek Mania. Tak perlu kemampuan pengamatan pandit untuk menyadari
bahwa tiap-tiap suporter memiliki ciri khas tersendiri. Terlebih dalam
memberikan dukungannya. Tentu hal ini dipengaruhi oleh karakter hingga tradisi
dari kota asal klub sepakbola mereka.
Simbol khas yang menonjol terpampang
melalui warna kebanggaan klub sampai penggambaran wujud tokoh atau hewan
tertentu. Terlepas dari perbedaan karakter yang ada, pada akhirnya kultur lokal
tetap melekat pada kelompok-kelompok suporter di Indonesia. Namun, kali ini
kita tidak akan membicarakan corak kultur lokal tersebut. Tulisan ini justru
akan membicarakan kultur yang hadir dari seberang benua—kini telah bercampur
dengan tradisi suporter Indonesia. Yakni “Ultras”.
Mengenal Ultras
Satu dekade ke belakang, kultur suporter
ultras yang berasal dari Italia mulai menyeberang masuk nan memberikan warna
berbeda dalam dunia sepakbola Nusantara. Kelompok suporter yang menganut paham
ultras ini, memiliki perbedaan mencolok dari suporter yang terlebih dahulu
lahir. Hal ini bisa dilihat dari karakter serta bentuk dukungan yang diberikan,
demikian menjadi pembeda dengan kultur lokal suporter Indonesia lain.
Menariknya kehadiran ultras tak jarang
memunculkan dualisme suporter dalam satu klub sepakbola. Meskipun demikian, pun
pada akhirnya gaya elegan dan rasa totalitas yang ditonjolkan ultras mampu
menarik perhatian lebih beberapa kaum muda, ketimbang nuansa suporter lama yang
cenderung memiliki stigma anarkis. Berpijak dari itulah banyak
individu-individu yang bergabung ke dalam mazhab suporter ini.
Ultras berasal dari kata “ultra” yang
berarti di luar kebiasaan. Dalam konteks ini adalah mengenai totalitas,
loyalitas, dan kreativitas dalam memberi dukungan terhadap klub. Pada awalnya
kultur ini hanya terkenal di dalam negara asalnya, Italia. Kelompok bercorak
hitam ini selalu dikaitkan dengan kelompok sayap kiri Italia. Maka pernah
seorang penulis sepak bola dari
Jerman, Kenny Legg menyebutkan bahwa ultras selalu up
to date mengenai isu-isu politik.
Jadi jangan heran saat menemukan
kelompok ultras di stadion yang menyinggung mengeni permasalahan yang sedang
aktual terjadi. Ultras mengekspresikan dukungannya lewat koreografi dengan
iringan “chant” ala Italia. Perkumpulan ultras yang menjadi panutan aliran ini
adalah Curva Sud Milan, basis supporter AC Milan.
Jauh sebelum hari pertandingan,
kelompok ultras sudah mempersiapkan aksi mereka sehingga tepat pada peluit
dibunyikan mereka sudah siap memberikan dukungan. Dalam 2x45 menit jalannya
laga, seorang ultras tidak diperbolehkan hanya duduk dan menonton. Mereka harus
selalu mendengarkan arahan seorang yang disebut “Capo”. Meskipun demikian, capo
bukanlah seorang pemimpin, dia hanya orang yang mengorganisir aksi ultras.
Karena pada akhirnya ultras tidak mengenal istilah petinggi, mereka berjalan
beriringan dengan manifesto “no
leader just together”.
Ketika laga hendak dimulai, ultras
membentuk sebuah gerombolan dari luar stadion. Mereka masuk stadion dengan
tertib. Kesadaran membeli tiket untuk turut serta membantu finansial klub juga
hadir menghapus stigma negatif suporter tanah air. Ultras akan menempati
tribune tepat di belakang gawang. Hal ini yang menyebabkan sebutan “curva”
melekat dengan Ultras. Atribut yang mereka bawa juga sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Perkembangan suporter beraliran ultras
kian menjamur di Indonesia. Media sosial menjadi medium untuk memperkenalkan
kultur supporter ini. Contohnya saja ialah akun Instagram milik Brigata Curva
Sud atau terkenal dengan sebutan BCS. Supporter PSS Sleman ini selalu
mempublikasikan aksi aksi mereka ketika mengobarkan semangat para pemain Super
ELJA. Dari publikasi tersebut, nama BCS melambung menjadi salah satu kelompok
supporter yang dikenal seantero nusantara bahkan dunia.
Ultras dari kabupaten paling utara di
DIY ini dianggap sebagai Ultras terbaik di Asia. Terlepas dari bagaimana
keadaan sepakbola Indonesia yang pasang surut prestasi, tetapi kemunculan
aliran ultras sudah memberikan gairah baru dunia si kulit bundar tanah air.
Euforia yang dimunculkan ultras lewat aksi-aksinya sedikit menyembuhkan duka
sepakbola kita. Loyalitas yang ditonjolkan aliran ini meneguhkan kalimat bahwa
“Sepakbola adalah romantisme paling nyata” di Indonesia.
Selain Brigata Curva Sud, bakteri baik
kultur ultras banyak menular pada suporter dari pelbagai klub lain di
Indonesia. Meskipun aksi memukau ultras banyak mendatangkan pujian. Namun,
kehadiran kultur ini tidak jarang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi
suporter beraliran “lokal”.
Keberadaan kultur ultras di Indonesia
seolah menjadi alasan bentrok antar supporter bahkan dengan kelompok pendukung
klub yang sama. Praktik saling menyakiti
dan disakiti seperti ini dapat dijumpai di Kabupaten Bantul. Kelompok suporter
Paserbumi yang cenderung berkultur lokal sering kali berkonflik dengan Curva
Nord Famiglia, Ultras Persiba Bantul. Hal demikian dipicu kuat akibat
persaingan eksistensi.
Terlepas dari banyak PR yang harus
diperbaiki oleh kita bersama. Pada akhirnya sulit membantah bahwa keberadaan
ultras membantu tumbuhnya heterogenitas warna suporter Indonesia. Setidaknya
kita patut lega karena loyalitas dan kreativitas ultras sedikit mengikis stigma
buruk terhadap suporter sepakbola tanah air. Demikianlah kelompok hitam
sekonyong-konyongnya--bak semut memadati riuh ingar stadion
Haidar Putra
Editor: Rachmad Ganta Semendawai