XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Dilema Dua Wajah Akun Anonim

Dikirim oleh: Prasastyo

Illustrasi: Sweetsandpie

Adanya akun-akun persona tanpa nama atau yang biasa disebut anonim.  Baru-baru ini mulai menjamur selaras dengan kian populernya sosial media di masa modern ini. Hal ini dapat dilihat mulai dari Blog, Instagram ataupun Twitter. Twitter menjadi catatan tersendiri bagi saya, di mana platform tersebut menjadi ladang diskusi, pun juga ladang ribut. 


Sering kali terjadi pembahasan pembahasan topik apa pun berakhir dengan perdebatan. Iya, saya ulangi “apa pun”. Sampai perihal remeh-temeh seperti berbeda cara menikmati bubur ayam saja, sampai ada yang memperdebatkan (walaupun dalam konteks bercanda).


Perdebatan yang menyangkut hal-hal yang bernilai kehidupan sehari-hari pun turut meramaikan sarang si burung kecil biru ini. Misalnya saja topik tentang seorang wanita yang memasakkan suaminya tiap hari untuk bekal makan siang. Hal seperti ini pun sampai ribut antara yang pro dan kontra.


Bahwa prihal yang sangat wajar, bila seorang wanita melayani dan menyayangi suaminya dengan memasakkan bekal. Argumennya tidak jauh-jauh dari gender role pun muncul. Para aktivis penggiat feminisme menilai hal itu sebagai bentuk submisi perempuan pada lelaki. Di mana dalam perkara ini harusnya setara. Dilain sisi kelompok konservatif tetap berpegang dengan nilai luhur yang mereka junjung tinggi.


 

Buzzer Beraksi


Setali tiga uang dengan hal di atas, kini kehidupan politik pun mulai diramaikan dengan buzzer—akun-akun anonim—yang menggaungkan suatu narasi. Umumnya mereka membangun narasi-narasi kritik keras yang biasanya kontra dengan kebijakan tertentu. Bahkan lebih dari itu, kadang memang memprovokasi karena punya agenda tertentu. Begitupula buzzer itu pun juga dilawan dengan buzzer lagi untuk memberikan counter narative kepada narasi utama.


Perdebatan para buzzer ini tak jarang demikian mendistorsi kita sebagai para awam untuk mencari kebenaran di sosial media terhadap suatu isu. Kita mencoba mencari orang-orang yang sependapat dengan kita atau yang tidak sependapat. Hal ini demi mengais argumen yang masuk akal sebagai pandangan alternatif.


Sayangnya yang kita dapatkan hanya name calling, saling cap, ancam, atau doxing yang dilakukan oleh buzzer kedua kubu. Hal ini sangat tidak baik untuk membangun diskursus terhadap suatu isu. Jadi kita sebagai pencari informasi juga malah kadang ikut terpancing untuk ikut di perdebatan semu tersebut. Debat kusir tidak berguna. Dalam kasus yang lebih spesifik, saya ingin memberi pandangan tentang akun twitter @KabarUNY.


 

Colek Boy Is Riyadi


Sekilas akun dengan nama pengguna @KabarUNY tersebut seolah-olah memberitakan apa yang terjadi di UNY. Akan tetapi, setelah saya baca-baca lebih jauh akun tersebut, nyatanya @KabarUNY hanya akun persona anonim yang dibuat secara khusus untuk mengkritik kebijakan-kebijakan kurang pas di UNY. Okelah, sampai di situ saya paham dan saya juga masih setuju kenapa harus ada akun seperti @KabarUNY. Pun pada akhirnya ia juga berperan sebagai penyambung lidah para mahasiswa yang terkena dampak langsung dari kebijakan-kebijakan kampus.


Namun, pada perkembangannya saya lihat akun tersebut terlalu berfokus pada pemangku jabatan Rektor, tepatnya Sutrisna Wibawa (SW). Di mana kebetulan juga saudara SW ini sudah mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon bupati Gunung Kidul pada Pilkada 2020. Narasi utama yang dibawa oleh @KabarUNY adalah seorang SW tidak amanah, pribadi yang suka cari muka (gimmick), menyalahgunakan fasilitas, punya intensi terselubung dalam pembangunan kampus di Semanu dan lain-lain.


Saya juga sebagai mahasiswa tingkat akhir awalnya setuju dengan narasi-narasi yang ia bawa. Karena argumen yang ia bawa cukup masuk akal dan masih wajar sekali seorang mahasiswa UNY berpikiran demikian. Di mana mahasiswa hanya dinomorduakan dan hanya digunakan sebagai ladang suara kampanye politik. Akan tetapi, ada hal yang mengganggu pikiran saya untuk mempertanyakan lebih jauh kredibilitas akun kritik anonim @KabarUNY. Karena bagi saya dia tidak punya akuntabilitas.

 

Saya pernah berdiskusi dengan seorang pria paruh baya dari akar rumput Gunung Kidul (Seorang bapak-bapak dengan dua anak, di cakruk pos ronda). Dia berpendapat bahwa apa yang dilakukan SW memang tidak sepenuhnya tepat. Akan tetapi, jika intensinya demi membangun Gunung Kidul,  itu semua masih dapat dibenarkan. Toh menurut dia  hajat hidup 700.000 lebih orang GK jauh lebih penting dan jauh lebih nyata daripada hajat hidup orang-orang di Universitas Negeri Yogyakarta. Dari situ saya mulai berpikir keras, dan akhirnya saya semakin mempertanyakan kredibilitas @KabarUNY dalam memberitakan dan menarasikan isu SW tersebut.

 


Ikut Diskusi


Awalnya saya tertarik ingin bertemu dengan  pemilik akun tersebut. Berikut hari saya dengan baik-baik memperkenalkan diri saya melalui DM Twitter. Nama, asal, dan jurusan saya saya kenalkan di situ. Saya menawarkan untuk berdiskusi dengan format serius, tanya-jawab dan direkam (on record) untuk dipertanggungjawabkan nantinya kepada publik. Lamun, itu ditolak mentah-mentah olehnya.


Setelah itu saya semakin yakin bahwa akun tersebut akuntabilitasnya perlu dipertanyakan dengan keras. Sehingga beberapa tweet dia saya reply dengan bahasa yang kalem sopan untuk mengajak diskusi melihat dari sudut pandang yang berbeda. Meskipun demikian, yang terjadi justru sungguh mengecewakan. Saya langsung diserbu segerombolan pengikutnya yang sepaham dengan dia.


Semua langsung menyerbu saya dan bukan opini saya. Kata-kata seperti “belajar dulu bego”, “kakean fafifu”, “rasah elitis”, dan lain-lain, digunakan untuk mereply tweet sudut pandang saya. Saya kecewa sekali karena  para mahasiswa ini saat diajak diskusi justru demikian. Bukannya substansi bahasan yang ditonjolkan, tetapi malah cenderung debat kusir. Karena saya orang debat, maka saya paham betul pentingnya membangun diskursus dan pandangan alternatif dalam mendalami sebuah isu. 


Saya memutuskan tidak bisa terus seperti ini, sehingga saya menyusun strategi untuk bagaimana saya bisa challange @KabarUNY. Akhirnya saya putuskan untuk membuat dua akun anonim juga @ASACSchraderUNY dan @SteveGomezUNY untuk memberikan counter narative dari @KabarUNY. Saya gunakan narasi keras untuk melawan narasi keras @KabarUNY. Karena saya pikir harus mengalahkan api dengan api, to fight fire with fire. Biarkan mereka merasakan pil merah mereka sendiri dengan melawan akun anonim.


Sampai di suatu titik mereka tetap bersikukuh untuk tidak pernah menggagas isi substansi bahasan. Demikianlah yang terjadi berikutnya adalah di luar nalar saya dan jujur bahkan saya tidak menduga ia akan melakukan hal serendah itu. Dia melakukan “doxing!”


Saya di-dox di akun Menfess UNY dengan kata-kata yang sungguh membuat saya tersinggung. Nama lengkap saya disebutkan dan jurusan serta fakultas saya juga. Saya kecewa sekali, dia anonim, seharusnya melawan argumen akun anonim, tapi malah menggunakan doxing sebagai senjata.


Akun-akun anonim tersebut sejatinya susah sekali untuk diminta pertanggungjawaban dari apa yang mereka ketik atau katakan. Kalau di debat, ada konsep “Burden of Proof” di mana kami harus menjelaskan dengan rinci membuktikan apa yang kami narasikan dengan fakta dan bukti nyata. Step by step dengan runtut, sehingga secara nalar dan logika mudah dicerna bahkan untuk orang awam non akademisi sekalipun.


Namun, di @KabarUNY saya tidak melihat dia melakukan “Burden of Proof” sama sekali. Ia hanya memberikan narasi-narasi dan kadang berita provokasi untuk digelindingkan sebagai bola liar kepada khalayak. Khususnya khalayak Twitter mahasiswa UNY itu sendiri. Mereka lupa bahwa sosok SW ini sosok yang akan maju sebagai tokoh politik di suatu daerah. Di Gunung Kidul. Jika sosok SW ini personanya dihabiskan maka kasihan para rakyat Gunung Kidul.



Demi Gunung Kidul, Menggugat @KabarUNY


Seburuk buruknya trait SW ini, dia punya banyak janji politik yang nantinya bisa ditagih. Harusnya SW diberi kesempatan untuk membuktikan janji-janjinya. Karena sejatinya pengabdian tertinggi seorang putra Gunung Kidul untuk membangun Gunung Kidul Handayani ialah dengan menjadi pemangku jabatan eksekutif di posisi Bupati. Dia WNI dan Warga Gunung Kidul, dia mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.


Sedikit berbeda dengan konsep pseudonim yang saya gunakan untuk menarasikan pandangan saya tentang isu SW ini. Di mana di pseudonim atau nama pena saya masih dapat dilacak identitasnya untuk dimintai pertanggungjawaban atas tulisan atau perkataan saya. Berbanding terbalik dengan akun full anon seperti @KabarUNY yang BoP tidak dapat diminta dan segala perkataannya tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.


Dari awal saya memberi challange kepada @KabarUNY dengan intensi saya yang sudah jelas, demi memberikan diskusi berimbang tidak hanya narasi satu sisi saja. Saya tidak mengejar ketenaran (saya tidak pernah mempublikasikan nama asli) dan saya juga tidak mengejar uang. Apalagi uang bancakan kampanye politik, haram sekali menurut saya menyentuh area seperti itu. Sebagai mahasiswa dan pemuda kita harus memiliki integritas tinggi. Maka jangan mau ditawar integritas kita hanya demi pundi-pundi rupiah.


Karena sejatinya uang itu secara materiil tidak bernilai. Uang hanya selembar kertas yang mempunyai nilai jika kita mempercayainya. Sebagai alat tukar pun uang sebenarnya memiliki nilai terbatas, paling juga dipakai untuk membeli makanan atau minuman. Mungkin untuk membangun tempat tinggal dan sandangan. Sudah sebatas itu saja. Mari kita tanamkan ke diri kita nilai-nilai integritas dan akuntabilitas demi Gunung Kidul yang lebih sejahtera dan Indonesia yang lebih maju.


Selanjutnya dari sini, saya ingin bilang, “Ayolah para mahasiswa. Kita gunakan nalar kritis kita dengan penuh. Kita nyatakan Idealisme yang kita pegang agar  dapat kita manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.” Jangan lupa jika mengkritik tolong pertimbangkan imbas dari kritik tersebut. Percayalah bahwa dalam suatu cerita tidak mungkin hanya ada satu sisi saja. Pasti ada sisi yang lain yang perlu kita gali dan kita bangun perspektif baru di posisi itu. Sekian dan Terima kasih.

-ES

Editor: Rachmad Ganta


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar