XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Untaian Kejanggalan Dalam Insiden Bentrok di Simpang Tiga UIN Suka

Potret Aksi Gejayan Memanggil di Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga, Jumat (16/8/2020)

Rekaman video yang memperlihatkan sekelompok orang tidak dikenal menyerang massa aksi Gejayan Memanggil di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga, sempat santer di publik baru-baru ini. Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), sebagai pelopor gerakan, awalnya mengusung aksi damai dengan membawa tuntutan utama “Gagalkan Pengesahan Omnibus Law”,  Jumat (14/8/2020).


“Salah satu hal yang harus digaris bawahi dari Gejayan Memanggil adalah Gerakan ini adalah non-violence. Kita tanpa ada kekerasan, kita mengusung tinggi kemanusiaan. Maka dari itu hal ini sangat bisa diterima di Jogja.” Demikianlah hal tersebut disampaikan oleh Refo, Humas Aliansi Rakyat Bergerak, sebelum pecahnya serangan dari oknum tak dikenal.


Sejak awal, aksi berjalan damai dengan barisan panjang massa yang dijaga ketat oleh pihak kepolisian, dari titik kumpul di Bundaran UGM. Selepas melakukan longmarch dari Bundaran UGM, massa sempat terkonsentrasi di pertigaan Gejayan-Colombo untuk mengadakan konferensi pers dengan media.


Setelahnya, aliansi pun melanjutkan barisan panjangnya dan berakhir di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga. Di titik ini, massa mengadakan mimbar orasi hingga pukul 17.45 WIB. Aparat keamanan terpantau masih melakukan pengawalan terhadap aksi, sebelum massa akhirnya memutuskan untuk istirahat dan melakukan salat Maghrib secara berjamaah di lokasi.


Sekitar pukul 18:30 WIB,  massa aksi pun bersepakat untuk melanjutkan aksi, setelah sebelumnya mengadakan musyawarah pasca-salat Maghrib. Aksi berlanjut di tengah pekatnya malam, yang ditemani nyala api, karena sebelumnya beberapa massa terlihat membakar ban, kertas, dan kayu di lokasi.


Mendekati pukul 19:00
 WIBketika aliansi tengah “merayakan” acara dengan bernyanyi bersama, mereka
mendapatkan lemparan batu pertama dari arah kelompok yang tak dikenal. Meskipun demikian, gelaran aksi tetap dilanjutkan, hingga sesaat kemudian hujan batu pun terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi. Mobil komando aliansi menjadi sasaran utama dari oknum yang tidak dikenal ini. Bersamaan dengan serangan batu yang bertubi-tubi, massa aksi juga diserbu oleh beberapa orang yang bersenjatakan batu, bambu, dan tongkat kayu. Sekonyong-konyong, massa berhamburan.





Pasca-insiden, pihak kepolisian yang melakukan penjagaan mengklaim bahwa bentrokan itu tidak memakan korban luka. Namun, klaim polisi ini sejatinya keliru, setidaknya jika merujuk beberapa pernyataan korban berikut.


Philosofis sempat mencoba melakukan komunikasi dengan beberapa korban, demi menemukan validitas dari klaim polisi. Salah satunya adalah Jessica (27), yang mengaku terkena lemparan batu hingga menyebabkan kakinya memar.


“Ada temen-temen yang luka, kena batu, kejadiannya sangat cepat. Aku juga baru sadar terkena batu,” cerita Jessica, kala ditemui sejenak sebelum aliansi melaksanakan evaluasi pasca-aksi. Saat itu, ia berada di dekat mobil komando, sehingga sulit menghindar dari hantaman benda keras tersebut.


Bila Jessica mendapati luka memar, lain lagi dengan Wahyu Kurniawan. Kala dikonfirmasi secara daring tertanggal Sabtu (15/8/2020), mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan ini memperoleh luka sobek tepat di pelipis. Luka tersebut disebabkan oleh lemparan batu sebesar gumpalan tangan, sesaat sebelum ia mencoba masuk mobil komando untuk mengamankan diri dari kelompok yang mengaku dari Papringan ini.


Beruntung tim medis ARByang berada tidak jauh dari lokasi insidensigap mengambil upaya keselamatan pertama. Sekalipun demikian, dari unggahan yang dirilis oleh akun Twitter Gejayan Memanggil, terlihat foto kepala yang berlumuran darah dari mahasiswa yang masih menempuh studi di Jurusan Komunikasi ini.


 

Beberapa Kejanggalan


Sejurus dengan  hujan batu dan serbuan kelompok bersenjatakan bambu itu, secara bersamaan jalan raya yang awalnya diblokir pun terbuka. Hal ini, sontak menciptakan kondisi yang makin ingar dan tidak kondusif, alih-alih meredakan situasi yang memanas. Pecahnya konsentrasi massa pun tak terhindarkan, yang menyebabkan kemacetan dan menimbulkan ketegangan lain antara massa dengan pengendara yang beradu klakson.


Dalam kondisi jalanan yang semakin inkondusif, Thalita Zarah, seorang massa aksi perempuan  mengaku mendapati luka akibat terinjak-injak setelah sebelumnya terjatuh. Bahkan, ia mengaku polisi justru tak melakukan langkah pengamanan kepadanya, “HP aku ilang, kemejaku sobek, jilbabku lepas, (tetapi) polisinya diem aja,” tuturnya. Di sisi lain bersamaan dengan itu, beberapa massa telah melakukan evakuasimeninggalkan gelaran aksi.


Akhirnya pada pukul 19:30 WIB, massa aksi yang tersisa beramai-ramai kembali ke Bundaran UGM, dengan kawalan polisi. Pada saat yang bersamaan, salah satu mobil menyalakan klakson secara terus menerus, dan sekelebat selanjutnya menerobos kerumunan massa. Gesekan tak terhindarkan. Beberapa massa aksi pun terpancing  emosi dan mengejar mobil tersebut. Salah seorang massa aksi yang paling belakang pun terjatuh.


Pratama Wasisto namanya. Kala bersamaan dengan ia mencium aspal,  beberapa oknum polisi menginjak-injak tubuh korban—sehingga menyebabkan lecet dan nyeri. Beruntung, ia diselamatkan oleh massa aksi lain. “Polisi mengeroyok saya dan ada satu orang massa aksi yang menyelamatkan dengan menyeret tubuh saya.” Kisahnya, kala diwawancarai via Whatsapp, Sabtu (15/8/2020).


Dalam pantauan Philosofistepat sebelumnya pecahnya kekerasanwartawan kami juga menyaksikan seorang pria tidak dikenal yang menyalakan senter secara cepat dan berulang. Cahaya senter tertuju kepada kelompok oknum yang membawa bambu dan diduga sebagai pelempar batu. Pun demikian, Philosofis tidak sempat melakukan konfirmasi lebih jauh kepada pria yang tidak dikenal itu secara langsung di lokasi, mengingat situasi seketika menjadi pecah, bersamaan dengan hilangnya nyala senter.


Menurut rilis pers yang dikeluarkan Gejayan Memanggil, ARB menduga hal tersebut adalah isyarat kepada kelompok oknum tidak dikenal untuk menjalakan aksi kekerasannya. “Terlihat seseorang yang diduga dari pihak kepolisian memberikan isyarat pada pihak penyerang massa aksi dengan menggunakan senter kecil dengan cara mematikan dan menyalakan secara cepat dan berulang.”


Demikian begitulah yang tertuang dalam kronologi resmi dari Aliansi Rakyat Bergerak.  Namun, dugaan sementara yang dimaksud, masih coba dikonfirmasi oleh wartawan kami. Sementara berita ini ditulis, kami belum bisa mengontak pria yang membawa yang membawa senter di antara kerumunan massa itu.


Terlepas dari itu, menariknya wartawan Philosofis saat sedang merekam kejadian pecahnya kekerasan, sempat didatangi seorang pria yang tidak dikenal yang muncul di antara kerumunan massa. Ia meminta video dokumentasi segera dimatikan dan dihapus. Dalihnya karna hal itu tidak diperbolehkan. Pria tersebut mengenakan masker dan berbaur di antara kerumunan massa. 


 

Warga Papringan Menjawab


Sebuah potongan video yang diunggah oleh akun Twitter @MurtadhaOne1 memperlihatkan sebuah teriakan “Papringan bersatu tidak bisa dikalahkan”. Hal ini pun membangun dugaan, bahwa pihak yang terlibat dalam insiden bentrok itu adalah aksi massa Gejayan Memanggil dengan warga Dusun Papringan. Pasca-aksi, kami sempat melakukan wawancara dengan Hustam Fatoni (60), penjual angkringan yang berada paling dekat dengan oknum pelempar batu, tepatnya di sebelah Jl. Petung.


 

Berdasarkan kisahnya, ia mengira konflik tersebut antara warga Papringan dengan Mahasiswa. Hal ini diakibatkan karena mahasiswa yang tidak kunjung bubar sampai jam 19:00 WIB. Selain itu, menurut pria yang pernah tinggal di Purbalingga ini, tingkat eskalasi konflik kian memanas setelah oknum-oknum yang mendakku warga Papringan mendengar suara sumbang dari massa aksi.


“Sebenarnya saya dengar-dengar (dari kelompok pelempar batu) ada suara sumbang (oleh massa aksi yang mengatakan) ‘Disuruh bubar tidak takut’. Sehingga langsung ditawur, karena warga emang sudah siap (dengan) kayu dan lain-lain. Demikian ujarnya merekonstruksi kejadian.


Namun, menurut Kepala Padukuhan Papringan, Nurhamidia sama sekali tidak mengetahui adanya aksi di sekitar Simpang Tiga UIN Kalijaga. Kala  ditemui di rumahnya Sabtu (15/8/2020) sekitar pukul 14:00 WIB,  ia juga menambahkan bahwa dirinya tidak pernah diberitahu oleh pihak polisi ataupun massa aksi terkait demonstrasi. Pria yang telah menjabat sebagai Kepala Dukuh sejak 2010 ini, baru mengetahui bahwa adanya aksi setelah diberitahu anaknya lewat video pecahnya kekerasan yang beredar di sosial media.


Lebih jauh, pria yang bergelar “S.Ag” ini juga bercerita, bahwa hari itu juga dilaksanakan rapat dukuh dan banyak dari perangkat dukuh tidak mengetahui pula tentang aksi dan kekerasan tersebut. Bahkan, ia sama sekali tidak mendapat laporan terkait apa pun mengenai aksi, bahkan setelah sehari pasca-demonstrasi. Kala di wawancarai saat itu, dia belum bisa memastikan apakah oknum bersenjatakan bambu yang dimaksud adalah warga dusun Papringan. Kala ditanyai akan adanya indikasi bahwa kelompok pelempar batu hanya orang yang mengaku warga dusun Papringan, ia menjawab: “bisa jadi”.


Dari hasil terjun ke lapangan, setidaknya ada sejumlah tiga warga dusun Papringan yang ditanyai oleh wartawan Philosofis terkait aksi kemarin. Ke semua yang ditemui oleh Wartawan Philosofis menjawab tidak mengetahui terkait aksi hari Jumat”. Selain itu, kami juga sempat mengajukan pertanyaan yang sama dengan dua warung yang berada di Jl. Petung—Satu Warung Kelontong dan satunya lagi adalah Konter Pulsa. Kendati warung yang wartawan kami tanyai cukup dekat dengan lokasi aksi, tapi ke semuanya mengaku tidak mengetahui perkara aksi tersebut.


Terbaru, mengutip artikel yang dirilis oleh wartawan Pandangan Jogja, Ketua RW 01 Padukuhan Papringan, Untung Wahyono menjamin tidak ada warganya yang terlibat dengan penyerangan kepada Mahasiswa. “Enggak ada yang terlibat, saya jamin itu bukan orang sini,”


Sebelum meninggalkan rumah Kepala Dukuh Papringan, Pak Nurwahid berkata kepada wartawan kami bahwa kasus ini bukanlah barang baru. “Sudah biasa bila sekelompok orang menunggangi, mengatasnamakan warga. Apa lagi ini urusan politik.” Demikian ucapnya bersamaan dengan gema Azan Ashar yang mengakhiri wawancara.


Rachmad Ganta Semendawai

Repoter: Rachmad Ganta Semendawai, Dissara, Nadia Nur Azizah

Editor: Ahmad Effendi



Related Posts

Related Posts

Posting Komentar