XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Lima Alasan Kuliah Online di UNY Itu Menyebalkan

Ilustrasi: Adam Yogatama

Sudah dua tahun lebih saya merasakan hidup yang serba online. Sejak kelas XI SMA sampai sekarang kuliah semester dua, masih saja berhadapan dengan gawai, sampai mata saya merah—atau kah ini tanda-tanda Sharingan. Di tempat saya kuliah sekarang, Universitas Negeri Yongalah eh Yogyakarta (UNY) semenjak 2020 pun masih melakukan kuliah secara daring. Padahal, wacana untuk luring sebenarnya sudah digembor-gemborkan sejak angkatan pertama online, dan baru kemarin terbit surat resmi dari rektorat yang mengumumkan perkuliah secara luring, ya cukup melegakan, walaupun blended.

Sebenarnya saya cukup santai ketika kuliah dilakukan dengan metode online ini. Bisa rebahan, tidur, kuliah sambil makan, tugas tanya teman,  dan bisa diselingi kegiatan aktivisme lain seperti mempelajari jutsu-jutsu Naruto karena waktu yang fleksibel. Bahkan teman saya sekelas ada yang nyambi jadi Shopee Food, keren bukan? yo kuliah yo makaryo . Namun di balik ke-santuy-an tersebut, ada beberapa hal  yang membuat kuliah online selama dua semester di UNYeah ini menyebalkan. Saya punya 5 alasan untuk itu, berikut alasannya:

1.  Jadi banyak grup WhatsApp (WA)

Tentu saat perkuliahan daring, grup WA menjadi solusi ketika mengkoordinasikan perkuliahan. Namun, jangan bayangkan hanya satu sampai dua grup WA, seluruh mata kuliah punya grup masing-masing, belum lagi grup kelas, angkatan, organisasi dan yang lain. Bayangkan ada berapa grup WhatsApp (WA) yang ada, betapa ruwet-nya jika saya membuka WA, dan jujur mata saya pedes nyimaknya. Malasnya lagi jika semester sudah berakhir. Harus keluar dari grup mata kuliah,  nge-scrollnya bikin pegel jari dan pedih mata sharingan saya. Tapi masih mending sih, daripada scroll chat mantan (btw kalo scroll chat mantan menyiksa hati gengs, nggerus).

2. Diskusinya tidak jalan begitu baik

Selayaknya kuliah pada umumnya, perkuliahan daring juga tidak terlepas dari  diskusi dan bertukar pikiran. Tetapi, menurut saya tidak terlaksana secara maksimal. Dimulai saat pemberitahuan di grup WA mata kuliah saja sudah terlihat tidak berjalan dengan baik. Ada yang telat menyimak, ada yang  tidak buka handphone, ada yang tidak on WA-nya, bahkan ada yang masih memeluk “mimpi”-nya. Jadi  kayak gimana gitu. Perkuliahan melalui platform google meet atau zoom pun sepi, krik-krik. Bukan tukar pendapat yang di dapat, malah kayak cosplay manusia silver di lampu merah, upss.

Satu hal yang lumrah bila saat perkuliahan terjadi tanya jawab. Lalu di tengah kuliah, biasanya muncul pertanyaan-pertanyaan yang bikin mengernyitkan dahi, “opo iki cok.” Apalagi jika keluar dari pembahasan materi, saya jadi agak pusing mendengarnya, tapi yo gapapa, soalnya saya sering ketiduran. Nah, yang paling membuat saya ketar-ketir ketika dosen tanya balik ke mahasiswa, itu rasanya kayak ditodong tentara Orba. Di saat suasana mencekam, biasanya ada teman sekelas yang menjadi messiah satu kelas—menjawab. Sedangkan yang lain nampaknya meniru satpam UNY ketika ada represi saat aksi, diam tak bereaksi (termasuk saya, hihihi). Mungkin rasa ketar-ketir itu muncul karena mahasiswa takut salah jawab. Tapi, bukannya hal itu yang menjadi evaluasi pengajar ke depannya, bagaimana memunculkan iklim diskusi yang nyaman. Bukan kalau salah jawab langsung dituduh tidak belajar, kan takut Pak/Bu.

3. Sering terdapat kesalahpahaman

Ini kerap terjadi, antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, bahkan dosen dengan dosen. Kondisi daring ini membuat komunikasi syulit karena jarak jauh. Hal ini sering terjadi saat penyampaian materi dan tugas, dosennya bilang A, mahasiswa menafsirkannya B. Dan terjadilah suatu tragedi. Saat itu dosen memberikan intruksi penugasan yang kurang jelas, dan teman sekelas saya bertanya ulang. Eh, lhadalah, dosennya malah keluar dari google meet, sepertinya ngambek. Lah, salah kita apa, kan udah nanya baik-baik, malah semakin bingung dibuatnya.

Selanjutnya, ketika mata kuliah diampu dua dosen sekaligus. Sering terjadi kekacauan materi. Penjelasan materinya berubah-ubah, pun penugasannya. Apa mungkin dosennya ga se-circle, jadi komunikasinya kurang, hmm bisa jadi. Yang terakhir, ketika absen. Beberapa dosen biasanya ngebut menyebut nama mahasiswanya.  Kayak rapat RUU Omnibus Law. Dosen itu tidak peduli sinyal mahasiswanya jelek atau kuota mahasiswanya lagi tipis. Lebih parahnya lagi, pengabsenan itu cuma satu kali, jadi kasian yang ga jawab gara-gara sinyal jelek tapi dianggap ga masuk. Terkadang saya merasa iba dan ingin menagis tersendu-sendu melihat teman-teman itu.

4. Kuota Bantuan Internet Ga Turun-Turun Cuyy

Kuota internet menjadi suatu hal penting dalam perkuliahan jarak jauh ini. Tak kalah pentingnya seperti Pancasila bagi hidup saya, huaahahaha. Jadi, kalau tidak ada jaringan internet, ya ga kuliah dong. Dengan tuntutan harus ada jaringan internet setiap saat, maka kelompok miskin dan bukan pemakai indierumah seperti saya ini perlu bantuan kuota internet. Karena kalo pakai uang sendiri, tentu menjadi semakin miskin. Kampus pun memberi bantuan kuota, tapi yang saya heran adalah lambat turun. Turunnya itu bisa sebulan dari pengisian data nomor handphone, padahal saya bayar UKT juga tepat waktu, selalu full dan nggak pake ngangsur. Kok iso yo? YA NDAK TAU KOK TANYA SAYA (bayangin pak jokowi yang ngomong kayak gini, pasti lucu). Masih menjadi misteri kenapa bantuan kuota turunnya lambat, hmm tapi nggak heran sih, soalnya penanganan kekerasan seksual di UNY juga lambat, HAHA.

5. Teman kelompok yang cuek

Menurut saya, ini yang menjadi masalah utama, fundamental, dan puncak problematika dari kuliah online. Pernah dong ketemu teman sekelompok yang tanpa kontribusi? (Kaya birokrasi, xixixi) ya sering lah. Mau ditulis namanya tapi kok ga ngapa-ngapain, ga ditulis kok kasihan. Saya menyebutnya, paradoks kerja kelompok. Orang kayak gini biasanya ga ngerasa kalo dia punya tanggung jawab tugas. Kalo diskusi ga ikut, dibagi tugas yang ringan ga dikerjain, eh bisa-bisanya update snapgram baru nongkrong atau pacaran, yang membuat jiwa jomblo saya meronta-ronta (mungkin saya iri kali ya). Untuk orang kayak gini, tolong! anda itu kuliah pake duit orang tua heyyy, jangan seenaknya, BLOKK (pake nada Tretan Muslim) atau mungkin anda anak pejabat ya? Duitnya ga habis habis, bisa beli skripsi, hiya hiya chuakksss.

Sebenarnya masih banyak hal yang menyebalkan di UNYeah, tapi takut, ah. Nanti dituduh ga bersyukur sama yang dikasih kampus. Dengan pengumuman resmi kuliah offline, harapannya tugas kelompok lebih minim, dan perkuliahan lancar. Tapi, itu masih harapan dan cita-cita.

Kuliah luring tentu butuh kelas, tapi jangan sampai ruang kelasnya kurang, lho. Soalnya UNY ini seneng banget naikin kuota mahasiswa tiap tahun. Apalagi kuota yang paling banyak itu jalur mandiri. Kampus ini paling girang kalo mahasiswanya bayar uang pangkal di atas 20 juta bahkan sampai 100 jutaan, panen duit nihh ya ga? HAHAHA. Harapan terakhir, semoga teman yang cuek jadi lebih perhatian lagi dan berkontribusi ketika kerja kelompok. Satu hal lagi, jangan lupa kasih kabar misal terkendala. Jangan tiba-tiba ngilang kayak doi, eh malah curcol dong. Itulah beberapa alasan menyebalkannya kuliah online di UNYeah ini, dan saya ucapkan "welkom kulyeah luring". Secara keseluruhan, kuliah online itu menyenangkan bukan? BUKAN.

 

Kartiko Bagas

Editor: Zhafran Naufal Hilmy

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar