XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Hidup di Atas Rob: Mereka yang “Dipaksa” Beradaptasi di Tengah Kepungan Air Laut

Akses jalan masuk ke Kampung Timbulsloko. (09/01/2023). Foto: Dewa Saputra
Naiknya permukaan air laut dan krisis iklim mengancam keberlangsungan hidup warga Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Mereka mempertaruhkan segala hal untuk melawan air laut yang kian naik, menenggelamkan rumah, dan mengancam nyawa warga yang masih bertahan. 


Ashari (40) memacu sepeda motor perlahan menuju kampungnya. Jalan yang ia lalui berbidang sempit, berangkal batu, beralaskan urukan tanah cadas dan dipisahkan oleh jembatan yang lebih tinggi. Jaraknya kurang dari satu kilometer dari jalan utama menuju Dukuh Timbulsloko. Di samping-sampingnya, debur ombak rob menyertai laju kendaraan bermotor pria paruh baya itu.

Hanya ada satu jalan yang menghubungkan desa dengan dunia luar.  Menurut beberapa warga, tidak ada jalan yang layak dilalui kendaraan bermotor. Sebab, motor hanya dapat melintas di waktu-waktu tertentu. Kala sore hari, air laut kerap menenggelamkan jalan. Menjelang malam, warga kampung berduyun-duyun menuju rumah masing-masing dengan was-was. Berharap air laut tidak semakin naik, meski pada kenyataannya, rob kian naik. Menenggelamkan rumah-rumah dan ruang hidup mereka.

Kae to mas, deloken dewe kahanane kene ki, dadi laut kabeh saiki (itu toh mas, lihat saja sendiri keadannya di sini, jadi laut semua sekarang: red)” sambut pria paruh baya setelah memarkiran motor di satu-satunya tempat parkir Dukuh Timbulsloko. Ucapan Ashari seakan meyakinkan bahwa tidak ada hamparan daratan yang dapat mereka pijaki seperti sebelum air laut melahap kampungnya.

Setelah meyakinkan hanya ada hamparan air laut di desanya, Ashari berjalan menuju rumahnya melewati susunan bilah papan kayu berjejer. Di bawahnya, tonggak bambu berdiameter sekitar 10-15 cm berderet rapi, menahan beban laju Ashari dan penghuni lain yang melintas. Warga setempat menyebutnya gladak, susunan kayu memanjang dan ditopang bilah bambu, membentuk suatu jalan dan memberi jarak dengan air laut. 

Gedung-gedung di pemukiman Ashari tinggal kini hanya tersisa setengah dari bangunan awal ketika didirikan. Sedangkan beberapa lainnya rusak dan hancur diterjang ombak rob dan badai angin, serta hujan dengan intensitas tinggi. Tanah tempat berdirinya pondasi rumah tidak terlihat lagi, ruang bertahan hidup hanya sebatas di atas papan kayu-- Gladak. 

Ashari terus memacu laju kakinya sambil memperhatikan sekitar dan memastikan untuk berjalan berhati-hati. Sebab, teledor sedikit, atau menginjak papan kayu yang telah rapuh bisa-bisa jatuh dan terlelap dalam air laut yang mengepung desa. 

Sembari berjalan dengan mengenakan setelan celana jeans pendek, berkaus dan mengenakan topi, lelaki itu merasa miris melihat desanya yang kini tidak pantas untuk disebut sebagai tempat tinggal. Hal ini dikarenakan bertahan hidup di tengah air laut sama halnya mempertaruhkan nyawa.

Tidur Dalam Bayang-Bayang Rob

Gladak yang menjadi penyambung harapan hidup warga Dukuh Timbulsloko. (09/01/2023). Foto: Dewa Saputra

Sesampainya di pelataran depan rumahnya, Ashari berjalan masuk dengan membungkukkan badan. Ia melindungi kepala agar tidak terbentur oleh susunan atap rumah. Sembari berjalan masuk, Ashari bercerita tentang rumah di perkampungannya -mayoritas- kini yang masih dihuni telah diberi gladak. Hal ini memberi arti bahwa warga yang menghuni rumah mesti mempertaruhkan hidup dengan beradaptasi. Sehingga ketika hendak memasuki rumah, mereka harus menunduk dan terkadang merangkak secara perlahan dan penuh kehati-hatian.

Ketika memasuki rumah dengan melewati beberapa tanaman yang tumbuh di dalam pot, pria berumur 40 tahun itu bergegas duduk di kursi kayu ruang tamu. Sambil berkeluh kesah tentang kehidupan di desanya, Ashar merogoh rokok kretek dari saku celana yang Ia kenakan.  Pria itu mengaku perokok berat. Kadang, dalam sehari pria itu membakar habis dua bungkus rokok. Merokok -baginya- memberi sedikit ketenangan kala memikirkan desanya kini. 

Pria paruh baya itu tidak membayangkan pemukimannya kini seakan-akan menuju desa mati. Sebab, meski telah berupaya bertahan hidup dengan segala cara, air rob seakan berlomba dengan upaya bertahan hidup warga dengan meninggikan Gladak. Ashar bersama warga yang bermukim di Dukuh Timbulsloko tidak ambil diam. Mereka berupaya merawat desa dan rumah yang masih bertahan secara swadaya dengan membangun dan merawat gladak. Baginya, apabila rumah rusak, yang menghuninya pun akan terkena imbasnya.

“Kami berupaya apa saja untuk bertahan hidup, ya dengan membangun gladak ini, awalnya dari uang kas ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga: red) sejumlah satu juta seratus ribu rupiah. Ditambah patungan warga secara sukarela. Baru kemudian dana sosial masuk dari berbagai orang dan organisasi, serta perusahaan dekat sini, akhirnya terkumpul seratus enam puluh juta rupiah,” ucap pria yang kerap dipanggil Lik Har di kampungnya.

Sembari membakar rokok untuk kedua kali, Ashar memandangi gladak rumahnya. Ia memastikan papan kayu masih layak dan terawat guna melawan rob yang kian naik. Kemudian ia meneruskan kisahnya tentang upaya warga mendirikan gladak. 

“Waktu mau membikin gladak toh mas, saya bingung telepon sana-sini. Soalnya tidak ada anggaran dana yang masuk. Nah, dari dana sosial tadi, kami kumpulkan untuk membeli kayu dan bambu, serta peralatan lain. Semua warga berperan, terutama pemuda desa yang bekerja siang dan malam,” tuturan Ashari dengan nada semangat, kala mengingat warga secara kompak membangun gladak.

Meski gladak telah berdiri dan memberi jarak dengan air laut, ia dan warga desa masih khawatir. Sebab, papan kayu dan bambu penyangga gladak kian rapuh. Air rob semakin menggila, menggerus tembok rumah dan ombak sesekali meruntuhkan bangunan yang tersisa. Di momen tertentu, air bahkan lebih tinggi dari gladak. 

“Ya keadaannya sudah seperti ini (air rob semakin tinggi) desanya. Mau gimana lagi, Mas. Saya biasanya tidur di lantai gladak dengan beralaskan tikar. Waktu malam itu, saya rasakan kok anyes (dingin disebabkan air yang menggergoti kulit) di kuping saya.” Ashari membayangkan malam temaram kala itu, malam tahun baru 2023. Sesekali ia khawatir jika air laut menenggelamkannya dalam lelap.

Remang-remang malam menambah kegetiran warga Dukuh Timbulsloko. Terkadang, beberapa warga mesti bekerja saat matahari menunjukkan cahayanya dan berjaga semalaman di tengah kepulan air laut. 

Ngasripah berkisah serupa dengan Ashari. Di umurnya yang menuju senja, ia hanya bisa pasrah melihat keadaan di kampungnya. Di umur menginjak 56 tahun, perempuan itu harus bergelut dengan air rob. Kala malam tahun baru, Ngasripah juga disambut oleh air rob dan dipaksa merelakan perabot rumah tangganya yang rusak terkena air laut yang naik mengungguli gladak.

“Tiga hari menjelang tahun baru, robnya ngeri, Mas. Sampai sini itu to (gladak dalam rumah Ngasripah) tenggelam. Waktu itu menunjukkan pukul 01.00, dini hari. Kok rasanya anyes gitu, eh taunya air rob sudah naik segini (mengungguli gladak),” wanita 56 tahun mencoba memperlihatkan bekas rob yang naik malam itu. 

Sembari mengingat, Ngasripah kembali merangkai kejadian rob menjelang tahun baru 2023. Kala itu, perempuan bertubuh agak gempal mengungkap keprihatinannya. Ia berkisah sembari bersedih, ditambah perabot rumah tangganya dimakan oleh air rob. Sesekali histeris dan membayangkan tubuhnya yang basah kala itu. 

Ngasripah dan warga lain merisau, ingatan rob yang datang malam tahun baru 2023 membuatnya kini makin cemas, untuk sekedar tidur. Waktu yang singkat untuk meredam lelah dan sejenak melupakan air laut yang ganas.

Melanjutkan Hidup dengan Hadirn ya Gladak

Seorang warga harus berjalan dan memanggul air minum bersih, melewati gladak yang mulai reyot di beberapa titik. Jaraknya kurang lebih dari satu Kilometer sampai rumahnya (16/01/23). Foto: Dewa Saputra 
Sebelum gladak berdiri, Dukuh Timbulsloko bagaikan desa mati, pemukiman terisolir dari dunia luar. Sesekali warga harus makan seadanya, menahan lapar, dan mengharap bantuan dari luar desa dapat menyambung hidup.

“Jalan gladak ini yang menghidupkan kembali desa ini. Kalau tidak ada gladak, sudah hilang desa ini,” tegas Ashari sambil duduk di atas gladak, menikmati matahari tenggelam dan meghisap rokok perlahan.

Ashari mencoba mengingat desa sebelum adanya gladak. Lembaran cerita kembali terangkai. Kisahnya kembali pada kisah murung. Ashari melanjutkan cerita ketika jalan gladak belum terbangun, kala itu warga kelimpungan mencari sesuap nasi. Air rob menahan mereka di kampungnya sendiri. Beruntung, ada bantuan yang masuk dari luar desa. 

“Keno nggo nyambung uri lah, Mas (bisa untuk menyambung hidup lah, Mas),” Ashari bercerita ke Philosofis dengan nada lirih. Kegetiran Ashari kembali datang. Sebab, menjelang maghrib, air rob datang mengalir seperti aliran sungai. Ia khawatir.

Kisah Ashari seketika terhenti, ia melihat dua orang lelaki dewasa berjalan beriringan. Salah satunya menggendong seorang bocah yang sedang sakit. Ashari bertanya kepada salah satu diantaranya.

“Mau ke mana?” tanyanya dengan nada agak tinggi. 

“Ini memeriksakan anak saya, badannya panas banget sampe lemes, coba lihat sendiri,” jawab pria yang menggendong bocah meyakinkan.

“Apa jalannya bisa dilewati? Rob sudah naik!” timpal Ashari, mempertanyakan jalan yang menghubungkan desanya.

“Ya, mau gimana lagi, nggolek tombo nggo bocah (mencari obat buat anak), iso raiso kudu iso (bisa atau tidak bisa harus bisa)” ia berucap sambil meneruskan jalan, mencari pengobatan untuk anaknya, meski rob telah menelan jalan penghubung desa.

Sayup-sayup azan memecah keheningan sore itu. Ashari kembali melanjutkan cerita. Ceritanya masih sama: kisah-kisah prihatin warga Timbulsloko. 

Ketika bercerita, Ia teringat permukimannya, saat gladak belum hadir membangkitkan kehidupan di tengah kepungan air laut. Sembari duduk bersila, melihat rob yang naik dengan cepat, ia khawatir dengan bocah sakit yang digendong bapaknya. Beruntung, gladak memberi sedikit napas lega untuk mencari pengobatan di luar kampungnya. Sebelumnya, ketika warga sakit dan perlu pengobatan, mereka menggendong menerjang rob dan kadang menggunakan perahu.

“Dulu sebelum ada gladak, warga di sini prihatin, Mas. Apalagi saat ada warga yang sakit dan mau melahirkan. Pernah dulu ada yang mau melahirkan dan harus dibawa menggunakan perahu,” ia memulai ceritanya kala membopong seorang ibu yang akan melahirkan.

“Waktu itu jam 02.00 dini hari, beruntung selamat semua bayi dan ibunya,” lanjut Ashari.

Sakit yang diderita warga beragam. Mereka menyebutnya dalam dua kategori: sakit ringan dan berat. Kala penyakit yang diderita ringan, obat eceran yang tersedia di warung kecil menjadi penawar, terkadang dibiarkan hingga sembuh dengan sendirinya. Saat sakit yang diderita berat, terpaksa harus mencari pengobatan di luar kampungnya. 

“Orang sakit di sini itu kalau sakit berat memprihatinkan, terutama sakit berat, apalagi sesak (napas). Ibu saya dulu waktu sakit sesak (napas), saya gendong melewati jalan jembatan (akses ke luar desa). Ya meskipun robnya setinggi pinggul tetap ditrabas, namanya orang mencari obat kan,” ujar Ashari dengan nada pelan.

Nahas, sesampainya di jembatan, nyawa ibu Ashar tidak tertolong. Ia sangat berduka. Memberi luka mendalam baginya.

Solusi Konkrit Pemerintah Belum Ada, Warga "Mengemis"

Kini warga Dukuh Timbulsloko menolak tenggelam. Meski air laut semakin meninggi, mereka terus beradaptasi dan dipaksa menerima keadaan. Sembari mengharap uluran tangan dari luar desanya, berharap pada pemerintah, kendati harapan itu mulai surut.

Gladak yang berdiri kurang lebih dua tahun berangsur-angsur mulai ringkih. Warga kembali berswadaya dan bergotong royong, memperbaiki papan dan bambu yang mulai rubuh. Ongkos perbaikan membuat mereka kelimpungan. Sebab, dana pribadi tidak mampu untuk melakukan perbaikan.

Ongkos yang untuk membeli sebilah papan berkisar Rp90 ribu, ditambah selongsong bambu seharga Rp15 ribu. Menurut penuturan Ashar, harga papan kayu dengan kualitas yang mampu melawan air rob memang mahal. Belum ditambah dengan material penunjang lainnya, seperti paku dan kawat pengikat, serta ongkos transportasi sampai desanya. Biaya perbaikan menjadi kendala yang begitu berat bagi warga. Hingga kini mereka masih berharap kebijakan pemerintah dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Meski mereka menyadari harapan itu semu.

Tidak ambil diam, warga Timbulsloko mencari solusi, kendati menurut mereka tidak seberapa. Daripada mengharap kehadiran pemerintah di saat desanya yang kian mengkhawatirkan. Hingga akhirnya, Ashari dan warga lainnya berupaya mendapatkan dana tambahan. Salah satunya dengan mengemis.

“Tiap Sabtu dan Minggu, kami minta-minta di jalan. Bilangnya amal kalau ada orang yang lewat. Nanti uangnya dimasukkan di jaring kecil,” jelas Ashar diiringi lantunan azan Maghrib.

Uang yang terkumpul dari hasil mengemis hari Sabtu dan Minggu di jalanan sangat jauh dari kata cukup. Dalam sehari, biasanya terkumpul 400 ribu, jika dikumpulkan masih kurang. Sebab papan kayu dan bambu mahal, ditambah uang transportasi menuju desanya juga mahal.

Ashari dan warga merambah daerah lain. Mereka pernah meminta-minta di sebuah acara dari TNI dan di persimpangan jalan raya kala lampu lalu lintas berwarna merah. Meski mengeluh gladak dari papan kayu yang disangga bambu tidak layak, mereka tetap berupaya untuk memperbaiki gladak.

“Ya bagaimanapun segala hal kita coba, meski harus mandiri (dalam) memperbaiki gladak. Kan hanya gladak ini yang menghidupi warga. Kalau ada yang lain, mana?” jelas Ashari.


Dewa Saputra
Reporter: Dewa Saputra
Editor: Yoga Hanindyatama
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar