XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Pameran “Kita Berteman Sudah Lama”, Sebuah Medium Refleksi Para Seniman

 
Djoko Pekik menerima buku karya Sindhunata (20/05/23). Foto: Yoga Hanindya Tama

Sabtu (20/05), Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran seni bertajuk “Kita Berteman Sudah Lama: Ekspresi 100 Seniman dan Perupa Yogyakarta Mengenang 25 Tahun Reformasi”. Pameran ini diadakan sebagai sarana seniman untuk menuangkan gagasan seni yang penuh makna kebersamaan. Selain itu, acara ini juga sebagai peringatan 25 tahun Reformasi. Peristiwa bersejarah yang menandai akhir pemerintahan Orde Baru pada  bulan Mei tahun 1998.

Pameran dibuka oleh Ilham Khoiri selaku General Manager Bentara Budaya dan Communication Management. Dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng untuk merayakan ulang tahun Pagoejoeban Ngoendjoek Tjiu (Pangoentji). Setelahnya, dilaksanakan peluncuran ulang buku karya Sindhunata berjudul Putri Cina, Kambing Hitam-Teori Rene Girard, dan Menyusu Celeng. Buku itu diserahkan Sindhunata kepada beberapa seniman, salah satunya Djoko Pekik. 
 
Karya yang ditampilkan pada pameran diisi berbagai bentuk, mulai dari karya seni lukis, hingga pertunjukan seni. Karya lukis sendiri berada di dalam dan luar ruangan. Karya yang ada di dalam umumnya menggunakan kanvas dibalut bingkai. Ukurannya bermacam-macam, ada yang kecil dengan ukuran hanya 50 cm x 50 cm. Ada juga yang ukurannya lebih dari 100 cm. Produk seni yang dipamerkan juga memiliki keanekaragaman aliran seni rupa.
 
Waktu diwawancarai Philosofis, Yunanto, pengelola Bentara Budaya Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa pameran ini merupakan refleksi akan salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia.
 
“Karena 25 Tahun reformasi itu catatan perjalanan bangsa. Ada catatan yang bagus dan banyak hal yang tidak tercapai. Reformasi itu apa capaiannya? Apa kegagalannya? Maka kita memperingati dalam bentuk seni rupa karena visual itu lebih memudahkan orang,” kata Yunanto.
 
Ia mengatakan bahwa seniman ikut serta karena diundang oleh Bentara Budaya. Selain karya dari Djoko Pekik, ada pula karya dari Butet Kartaredjasa, Nasirun, dan lainnya. Di samping itu, ia juga menjelaskan tentang penerbitan ulang buku karya Sindhunata. Buku itu lahir dalam suasana Reformasi. Buku itu sengaja dicetak ulang untuk mengingat kembali sebagian besar peristiwanya karena berisi kritik sosial.
 
“Saya secara pribadi ingin agar buku itu diterbitkan ulang. Karena buku itu bagian dari kritik sosial. Kerja-kerja intelektual dan ilmiahnya Romo Sindhu (red: Sindhunata) di situ. Terlepas dari kekurangan yang ada, itu bukan persoalan. Buku itu mengingatkan bahwa peristiwa itu pernah terjadi,” tambah Yunanto

Cerita tentang Perempuan yang di-PHK

Dari ragam karya yang ditampilkan, salah satu karya menggambarkan figur wajah seorang perempuan berambut panjang. Di sekelilingnya terdapat berbagai ornamen, seperti tulisan perempuan PHK, tahun 98 yang disilang, PHK, Reformasi, pribumi, ekonomi, dan sebagainya. Karya ini merupakan karya dari Rismanto yang berjudul “Perempuan PHK ‘98”. Ia menggunakan cat akrilik dalam menggambar sosok perempuan itu.
 
Lukisan “Perempuan PHK ‘98” karya Rismanto (20/05/2023). Foto: Yoga Hanindyatama
 
Dengan dimensi 50 cm x 50 cm, Rismanto berusaha membawa peristiwa yang pernah dialaminya ke dalam ruang seni. Pada tahun 1998, ia sudah meninggalkan daerah asalnya, Yogyakarta dan tinggal di Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Di sana, ia bekerja sebagai animator. Kala itu, keadaan sosial ekonomi di DKI Jakarta dan sekitarnya mengalami krisis. Hal ini juga mengguncang pemerintahan Orde Baru yang kala itu berada di ujung tanduk. Di Ciputat itulah ia bertetangga dengan pasangan suami istri yang kala itu bekerja di mal.
 
“Ketika tahun 1998, semua chaos karena banyak bangunan yang kebakar, termasuk mal. Artinya mal melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan. Seketika itu, saya selalu melihat wajah perempuan yang kerja di mal-mal itu. Saya merasa kasihan. Dulu mereka menggunakan pakaian yang modis-modis, lalu setelah di-PHK, kegundahan itu terlihat jelas. Hampir semua orang waktu itu menganggur,” ujar pelukis kelahiran 1972 itu.
 
Kejadian itu menandakan situasi yang semakin tidak menentu. Penuh kekacauan di beberapa wilayah. Orang-orang yang kehilangan sumber pendapatan menjadi kebingungan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa di masa mencekam seperti itu. Apabila mereka pulang, belum tentu mereka mendapatkan pekerjaan. Namun, jika mereka memutuskan untuk tetap bertahan di Ibukota, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk tetap bertahan. Tidak ada jaminan bagi orang-orang untuk mendapatkan pekerjaan.
 
Rismanto mencoba mengingat kembali peristiwa 25 tahun silam. Kala itu, dia ditanya oleh tetangganya yang baru saja di-PHK terkait kemungkinan pulang kampung. Rismanto menjawab bahwa ia akan pulang ke Yogyakarta karena kondisi yang tidak memungkinkan. Sedangkan wilayah Jabodetabek tidak dapat menawarkan solusi terkait pekerjaan yang layak. Setelah itu, ia membalik pertanyaan itu. Ternyata, tetangganya itu memutuskan untuk menetap di Ciputat.
 
“Saat dia ditanya kemungkinan pulang kampung, dia merasa malu sama tetangga. Kalau belum sukses, dia tidak mau pulang. Begitu gigihnya dia berjuang. Di situ saya tertarik melukis itu. Sebenarnya (figur) itu wajah milenialnya perempuan waktu tahun 1998. Tapi ekspresi wajah sedih dan tegarnya, saya hadirkan,” kata Rismanto
 
Lalu, ia melanjutkan ceritanya. Dalam memorinya, terekam berbagai tulisan yang hadir dalam keadaan menjelang runtuhnya Orde Baru. Ada tulisan pribumi, chaos, dan ekonomi. Di samping itu, banyak orang yang memekikkan kata-kata Reformasi dan revolusi. Ia memutuskan balik ke Yogyakarta pada 1999. Namun, ia masih kembali lagi ke Jakarta. Baru di tahun 2000, ia benar-benar tinggal menetap di Yogyakarta.
 
Midnight Father, Johnnie Walker, dan Kesendirian
 
Selain lukisan Rismanto yang menggambarkan situasi di Ciputat, ada pula lukisan karya Ugo Untoro. Lukisan ini didominasi warna putih dan abu-abu di hampir seluruh bagian. Ukurannya relatif lebih besar daripada lukisan yang dihasilkan oleh seniman lainnya. Dalam deskripsi karya, tercatat dimensinya 100 cm x 120 cm. Dalam menghasilkan produk seni, Ugo menggunakan teknik spray on paper.
 

Seniman Ugo Untoro membuat lukisan berjudul “Midnight Father” (22/05/2023).

Foto: Ariska Rafika Sani

Dalam wawancara terpisah via WhatsApp (23/05/2023), Ugo Untoro mencoba menjelaskan tentang proses kreatif dalam membuat karyanya. Dia mengaku sering memakai bungkus atau kertas dengan merk dan gambar yang menurutnya unik. Kemudian pada bagian yang unik itu, Ugo robek. Kadang ia gunting bungkus atau kertas tadi. Setelah itu, Ugo menyajikannya dengan cara menempel. Sedangkan untuk judul, ia sesuaikan dengan tema pameran.
 
Ugo berkata bahwa dalam karya itu, ia menggunakan potongan kemasan bergambar seorang laki-laki dari Johnnie Walker, sebuah produk whisky asal mancanegara. Kala itu, kemasan yang ada hanya merek Johnnie Walker. Maka, Ugo memutuskan untuk menggunakannya. Saat disinggung mengenai peristiwa di balik karya, ia memberikan jawaban.
 
"Ini seperti potret diri ya. Atau seseorang yang entah siapa. Ketika laki-laki pada umumnya menghadapi atau menanggung masalah, biasanya cara melampiaskannya dengan minum (alkohol)," tutur pria yang menempuh pendidikan tinggi di ISI Yogyakarta
 
Sosok dalam Johnnie Walker merepresentasikan tentang laki-laki pada umumnya. Namun, ia juga mengungkapkan bahwa sosok itu dapat diidentifikasikan dengan dirinya sendiri. Dalam pandangan Ugo, visualisasi laki-laki di dalam gambar itu menggambarkan tentang suasana kesendirian. Ketika disinggung tentang makna dari warna putih dan abu-abu yang dominan, ia mengatakan bahwa garis menunjukkan padang perbukitan, jalan raya, atau gang-gang kecil nan sempit.
 
Sebelum karya ini lahir, ia pernah membuat karya serupa. Saat itu, ia menggunakan kemasan rokok, korek api, pakaian hingga makanan. Karya Ugo pernah dipamerkan di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Lalu, Ugo menutup wawancara dengan memberikan harapan terkait pameran ini.
 
"Saya harap budaya minuman tradisional kita dilindungi dan dilestarikan karena itu juga salah satu kekayaan budaya kita. Tentang aturan minum sudah tertera dalam Serat Centhini, jadi saya kira pihak yang berwajib, dalam hal ini kepolisian memahami budaya kita," pungkasnya.
 

Yoga Hanindyatama
Reporter: Yoga Hanindyatama dan Ariska Rafika Sani
Editor: Dewa Saputra 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar