XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

PMI Tuntut Jaminan Kesejahteraan dan Perlindungan Hak-Hak Purna Pekerja Migran


Foto: Ariska Sani

Kamis, 1 Mei 2025, peringatan tahunan Hari Buruh Internasional diwarnai tuntutan dari berbagai kalangan. Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diwakili oleh Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI), ikut serta dalam aksi May Day tahun ini. Mereka menuntut kesejahteraan pascapurna dan perlindungan di dalam maupun di luar negeri. Diskriminasi dan eksploitasi melatarbelakangi tuntutan tersebut. Menurut mereka, hingga saat ini pekerja migran masih dipandang sebagai komoditas, ATM negara, dan pahlawan devisa tanpa jaminan kesejahteraan. Ditambah lagi, mereka harus menghadapi stigma-stigma dari masyarakat.

Siang itu, sekitar pukul 13.00 WIB, rintik gerimis sempat mewarnai peringatan May Day tahun ini. Sekelompok demonstran yang didominasi oleh perempuan dewasa, berkumpul di dekat mobil komando, tepatnya di titik Nol Kilometer Yogyakarta. Bukan tanpa alasan, mereka merupakan purna pekerja migran yang menuntut pengakuan dan jaminan kesejahteraan serta perlindungan.

Lastri, koordinator KOPPMI wilayah Yogyakarta, mengatakan mereka mengalami banyak masalah selama masa reintegrasi. Mulai dari diskriminasi, adaptasi, hingga stigma yang muncul di masyarakat.

“Ada anggapan bahwa kami yang pulang dari bermigrasi itu orang kaya. Sehingga kami tidak mendapat subsidi dari pemerintah dalam bentuk apapun. Untuk mendapat pelatihan kami juga tidak bisa karena ketika pulang usia hampir 50 tahun, sedangkan untuk mendaftar tidak boleh lebih dari 50 tahun,” jelas Lastri.

Eni, koordinator nasional KOPPMI, menambahkan, pihaknya menuntut agar PMI dimasukkan ke dalam undang-undang perburuhan. Saat ini, mereka memiliki satu undang-undang terpisah, yaitu Undang-Undang Pekerja Migran yang tidak sesuai dengan standar ILO (International Labour Organization) maupun standar Undang-undang Ketenagakerjaan. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak termasuk dalam kelompok yang mendapat jaminan-jaminan selayaknya pekerja formal.

“Pemerintah itu bersikap kalau (misal) Arab hanya ngasih kamu ini, ya sudah, terima saja. Kalau tidak dikasih libur, kamu gak usah protes. Jadi, pemerintah menyerahkan itu kepada negara sana. Padahal, itu menyangkut kesehatan dan keselamatan hidup kami,” terang Eni, memberi contoh.

Eni juga menyayangkan bahwa pemerintah saat ini justru ingin menargetkan 450 ribu pekerja migran untuk dikirim dari yang semula 250 ribu per tahun. Padahal, sebagai seorang yang pernah merasakan bekerja sebagai migran, ia ingin generasi muda mendapat pekerjaan yang layak dan bermartabat di Indonesia.

“Makanya kita sebut komoditas, kita sebut ATM negara. Karena nilai kita memang murni (dianggap) hanya di situ. Makanya pemerintah tidak terlalu peduli dengan perlindungan, jam kerja, maupun masalah masa tua kita tidak ada pelayanan,” tambah Eni.

Terakhir, Eni dan Lastri menyampaikan harapan mereka agar pemerintah lebih peduli terhadap pekerja migran dan purna pekerja migran. Mereka ingin tetap memiliki daya tawar di Indonesia, negara penempatan, perusahaan, atau dengan majikan.

“Kita masuk dulu ke dalam undang-undang perburuhan, selebihnya kita bahas nanti,” tutup Eni.

 

Ariska Sani

Reporter: Ariska Sani, Mira Agustin, dan Galih Novan

Editor: Vicky Sa’adah


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar