“Buku merupakan jendela ilmu”
Kalimat tersebut sudah menjadi hal yang umum bagi kita semua. Seringkali kita menemui kalimat-kalimat yang hampir serupa dengan kalimat di atas mengenai anjuran untuk membaca buku, di berbagai tempat dan kesempatan. Seringkali juga kalimat-kalimat mengenai anjuran untuk membaca buku berulang kali kita dengar dari guru-guru dan bahkan orang tua kita. Bahkan untuk lebih menghunjamkan di dalam pikiran orang-orang, tembok-tembok sekolah maupun tempat umum juga tidak luput, dari mengingatkan bahwa sebaik-baik teman duduk adalah membaca buku.
Banyaknya kata-kata mutiara mengenai anjuran untuk membaca buku, ternyata tidaklah sebanding dalam proses pelaksanaannya. Warga negara Indonesia terutama, masih jauh tertinggal jauh dengan negara-negara lainnya, dalam urusan membaca buku. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih lebih sering menggunakan waktu luangnya untuk bermain gawai dibandingkan membaca buku.
Meskipun begitu, tidak semua orang Indonesia termasuk dalam kalangan orang memiliki rendahnya minat membaca. Ada banyak tokoh Indonesia termasuk dalam kalangan orang-orang yang rakus dalam membaca. Diantara tokoh-tokoh tersebut ada sosok mantan wakil presiden Indonesia pertama yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia.
Sosok dari Mohammad Hatta tidak hanya berjasa dalam berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun, juga meninggalkan suri tauladan kepada penerus bangsa untuk ditiru, terutama perbuatan beliau terhadap membaca dan memperlakukan buku patut untuk ditiru para putra-putri bangsa.
Mengenai kegemaran sosok yang lahir di Bukittinggi tersebut terhadap buku, dapat kita saksikan dan dengarkan dari beberapa orang terdekatnya. B. M Diah, salah seorang tokoh pers terkenal pada awal kemerdekaan, pernah menuturkan bagaimana kegemaran Bung Hatta akan membaca buku.
Ia pernah mendapatkan sebuah cerita dari paman istrinya, yakni Ahmad Soebardjo, bahwa Bung Hatta adalah seorang yang sangat tekun dalam belajar, seorang yang suka akan membaca. Sehingga disebut dengan “Boe kenworm”. Sebuah istilah dari bahasa Belanda yang jika diterjemahkan secara letterlijk istilah tersebut bermakna “Cacing buku”, atau lebih tepatnya dari kebanyakan masyarakat Indonesia menyebut bahwa orang yang suka membaca buku dengan sebutan kutu buku.
Kegemarannya terhadap membaca buku juga tidak lekang terhadap jabatan yang ia sandang sekalipun, terutama saat beliau menjabat sebagai wakil presiden Indonesia. Salah seorang sekretaris pribadinya bapak I. Wangsa Widjaja pernah menuturkan, bahwa salah satu kegiatan yang dilakukan sebelum berangkat ke kantor, adalah beliau masuk terlebih dahulu ke perpustakaan pribadinya untuk memeriksa letak buku-bukunya.
Kecintaan beliau terhadap buku tidak hanya sekadar untuk dibaca saja, tapi cara memperlakukannya. Bagi Bung Hatta, buku harus diperlakukan secara sopan. Bung Hatta tidak segan-segan memarahi kepada seseorang, meskipun orang terdekatnya, apabila memperlakukan buku secara serampangan. Meskipun kita ketahui bahwa Bung Hatta jarang sekali marah.
Kejadian tersebut pernah menimpa kepada Hasyim Ning, seorang pengusaha yang masih terhitung keponakan dari Bung Hatta. Ia bercerita bahwa pada suatu hari, ketika ia sedang membaca buku. Hasyim Ning memperlakukan buku tersebut dengan melipatnya sehingga bagian kulit depan dan kulit belakang bertemu. Bung Hatta yang mengetahui hal tersebut marah seraya berujar,“Tak boleh buku dilipat macam itu” dengan nada yang keras.
Hasyim Ning tidak sekali saja dimarahi Bung Hatta akibat keteledorannya dalam memperlakukan sebuah buku. Kali ini kesalahannya adalah memberi penunjuk halaman dengan cara melipat halaman buku pada bagian yang sedang dibaca. Mungkin hal tersebut menjadi suatu hal yang lumrah, tapi menurut Bung Hatta itu merupakan sesuatu yang mencederai bentuk buku.
Mengetahui akan hal tersebut, diperintahlah Hasyim Ning oleh Bung Hatta untuk membeli sebuah buku baru yang sama dengan buku yang dilipatnya. Hasyim Ning bercerita bahwa setengah mati ia berkeliling Jakarta. Akan tetapi, satu pun tidak ditemui. Ia kemudian melaporkan kepada Bung Hatta bahwa buku tersebut tidak ia temui. Oleh Bung Hatta hanya bisa tersenyum dan secara bijak ia melakukan hal tersebut agar lebih baik terhadap dan tidak mengulanginya kembali di kemudian hari.
Kecintaan Bung Hatta terhadap buku hingga kemudian memberikan bukunya, Alam Pikiran Yunani, sebagai maskawin dalam pernikahan kepada Ibu Rachmi. Perlakuan tersebut meskipun mendapat tentangan dari ibunya, yang menurutnya tidak lazim menggunakan buku sebagai mahar. Namun, Bung Hatta tetap bersikukuh bahwa mahar yang diberikan tersebut adalah sebaik-baik mahar. Tidak mengherankan bahwa muncul sebuah anekdot bahwa istri utama dari Bung Hatta sesungguhnya adalah buku, istri kedua Hatta adalah buku, dan istrinya yang ketiga adalah Rahmi Hatta.
Ada cerita lucu mengenai kecintaan beliau terhadap buku, hal itu terjadi ketika ia dihukum oleh pemerintah kolonial Belanda dengan diasingkan ke Boven Digul. Bung Hatta ketika itu menyanggupinya dan meminta syarat agar dalam pengasingan diperturut sertakan juga buku-bukunya. Buku-buku tersebut ternyata lumayan banyak, hingga kemudian salah seorang kawannya, yang sama-sama dibuang bernama Mohammad Bondan, berujar “Anda ke sini dibuang atau mau buka toko buku?”
Perlakuan yang dilakukan Bung Hatta terhadap buku-bukunya, setidaknya bisa menjadi contoh bagi sebagai penerus bangsa. Dengan segala keterbatasan yang beliau miliki, beliau masih memiliki waktu untuk digunakan membaca dan merawat buku dengan baik. Sudah seharusnya untuk kiwari, dengan kemudahan berbagai akses. Kegiatan membaca perlu untuk digalakkan oleh para penerus bangsa, sebagai bentuk dari kualitas seseorang.
Fikri Aly Azmi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai