Illustrasi: Sweetsandpie |
Tiga orang itu berjalan dari arah hutan. Yang berjalan paling
depan adalah pemimpin sekaligus majikan dari dua orang yang ada di belakangnya.
Orang-orang memanggilnya Pak Rocik. Yang berjalan di tengah adalah tangan kanan
Pak Rocik dalam mengambil keputusan. Majikannya sering memanggilnya dengan
sebutan Ki Loho. Dari namanya saja bisa ditebak, Ki Loho tidak hanya bertugas
dalam mempertimbangkan untung-rugi. Dalam untung-rugi tersebut, ia lebih
dilibatkan tentang persoalan amalan yang didapat. Yang terakhir, yang berjalan
paling belakang sambil memanggul ranting pohon adalah Jamin. Namun, majikannya
suka menyebutnya Baja. Sedangkan Ki Loho, meski sama-sama hanya pembantu lebih
nyaman bila memanggilnya dengan sebutan Nak. Panggilan itu tercipta karena
hubungan yang lebih mirip antara kakek dan cucu, daripada pembantu yang
derajatnya agak di atas dan di bawah.
Pak Rocik, Ki Loho, dan Jamin baru saja dari
hutan untuk mengambil sesuatu yang sangat penting. Menurut Ki Loho, Pak Rocik
yang ingin menikah untuk kesebelas kali itu membutuhkan semacam tumbal. Bukan
sebuah tumbal dengan pengorbanan yang besar. Melainkan hanya sebelas cabang
ranting pohon jati dari sepuluh pohon jati, karena yang ke sebelah harus sudah
jatuh ke tanah. Sebelas ranting itulah yang dipanggul Jamin dengan lumayan
berat. Padahal diameter ranting itu hanya sebesar pergelangan tangan bayi,
dengan panjang tidak lebih dari satu meter.
“Ki, kenapa ranting ini bisa sangat berat?”
tanya Jamin dari arah belakang.
“Memang berat, Nak,” jawab Ki Loho. “Kalau
yang membawa ranting itu Pak Rocik langsung, beratnya bisa menjadi sepuluh kali
lipat. Karena itu merupakan wujud dari beban kesepuluh istri Pak Rocik. Makanya
kita ke sini bertiga.”
“Apakah pernikahanku yang ini bakal lancar,
Ki?”
“Meskipun saya tidak pernah memberi
kepastian, apakah Pak Rocik jadi ragu dengan saya,” Ki Loho menjawab dengan
tegas.
Pak Rocik diam. Ia tidak membantah. Semua
keputusan yang diambilnya dengan mempertimbangkan masukan Ki Loho selama ini
selalu tepat. Semua cabang-cabang usaha yang dikerjakannya belum pernah ada
yang gagal. Bahkan dalam urusan kawin-pun, ia selalu meminta pertimbangan Ki
Loho.
“Ki Loho tidak pernah keliru,” batin Pak
Rocik.
Mereka bertiga telah berjalan sekitar dua
ratus meter sejak keluar dari hutan. Tinggal tiga ratus meter lagi mereka akan
tiba di jurang yang memisakan kawasan hutan dan kawasan desa. Jurang yang
memisahkan desa dan hutan sudah ada sejak dahulu kala. Kono menurut orang-orang
desa, jurang itu merupakan gerbang penghubung antara manusia dan alam. Riwayat
itu sebagian dipercayai dan sebagian tidak digubris. Hanya orang-orang tertentu
saja seperti Ki Loho yang percaya bahwa ketika manusia akan menyeberangi hutan,
ia harus punya amalan yang cukup. Karena sewaktu-waktu, jurang itu bisa menelan
manusia. Benar-benar menalan dan memakan,
sebab pernah satu-dua kali terjadi insiden seseorang jatuh ke jurang
tapi mayatnya tidak ditemukan.
“Ki.” Tiba-tiba suara Pak Rocik memanggil.
“Ada yang sengaja memutus jembatan ini.”
Ki Loho dan Jamin menengok ke depan.
Terbentang dua tanah yang berjarak lima meter. Jurang itulah yang memisahkan
kedua tanah dengan kedalaman – yang menurut warga desa – sekitar dua puluh
meter. Jamin sedikit mendekat ke tubir jurang untung melongok apa yang ada di
bawah sana.
“Gelap sekali,” katanya.
“Lihat langit, Baja,” sahut Pak Rocik.
Jamin mendongak ke langit. Ia masih ingat,
tadi mereka berangkat setelah matahari di atas kepala lewat sedikit. Kini,
semuanya terlihat remang-remang. Semburat matahari hanya tersisa di sisi hutan
yang lain. Sebentar lagi malam datang.
“Bagaimana ini, Ki?”
“Mungkin tadi ada kejar-kejaran antara
penebang hutan liar dan warga desa yang bertugas jaga.” Ki Loho menunjuk bekas
telapak kaki di tanah. Jejak-jejak itu tercetak secara tidak beraturan. Saling
tumpang tindih.
“Orang yang masuk ke dalam hutan ada empat orang.
Dan mereka juga yang memutus jembatan ini.”
“Bagaimana dengan warga desa yang berjaga,
Ki?” tanya Jamin.
“Warga desa hanya bisa mengejarnya sampai
batas tanah di sana,” Ki Loho menunjuk tanah kawasan desa. “Karena para
penebang dengan cepat sudah lari sampai di sini. Untuk mencengah kejaran
warga desa, para penebang segera memotong tali jembatan. Lihat, bekas
potongannya begitu bersih,” Ki Loho menunjuk beberapa potongan tali yang
tersisa. “Mereka memotongnya dengan alat yang sangat tajam dan sekali tebas.
Tapi mereka memotongnya terburu-buru karena takut segera ditembak warga desa.
Itulah mengapa sekarang yang tersisa hanya satu tali saja.”
Analisis dari Ki Loho itu membuat Pak Rocik
terkagum-kagum. Ia merasa beruntung memiliki pembantu yang begitu cerdik dan
penurut seperti itu. Namun, di lain sisi ia masih bingung bagaimana caranya
agar bisa sampai di tanah seberang.
“Selanjutnya bagaimana, Ki?”
“Saya mengikuti keputusan dari majikan saya.”
Ucapan itu langsung membuat Pak Rocik tegang.
Bila Ki Loho sudah memanggilnya dengan sebutan “majikan” artinya memang
keputusan ada di tangannya.
Pak Rocik maju beberapa langkah, menengok
kedalaman jurang. Tiba-tiba terbayang dipikirkannya, sosok calon istri
kesebelasnya. Calon istriku pasti sedang mandi, pikirnya, dia tengah bersolek
menantikan kedatanganku membawa ranting-ranting jati dan untuk menyerahkan emas
yang banyak. Pikiran itu membuatnya melamun beberapa saat, sebelum diputus oleh
Jamin.
“Bagaimana, Pak?”
Pak Rocik hanya memandangi wajah Jamin dengan
datar. Ia tahu, Jamin merasa keberatan memanggul ranting-ranting jati itu.
Apalagi ada prasyarat khusus bahwa kesebelas ranting jati itu tidak boleh jatuh
ke tanah. Jamin harus menjaganya sebaik mungkin. Pengabdian Jamin begitu luhur
kepadanya.
“Bagaimana caranya kita menyeberang, Ki?”
Jamin bertanya ke Ki Loho karena tidak segera mendapatkan jawaban.
“Dengan kaki.”
“Hanya itu saja, Ki?” Jamin heran. Tidak
seperti biasanya Ki Loho menganjurkan untuk bersikap biasa saja.
“Siapa dari kita yang akan berjalan duluan?”
Giliran Pak Rocik yang bertanya.
“Terserah majikan, siapa yang ingin
didahulukan.”
“Apakah ada kemungkinan dari kita yang tidak
selamat.”
“Selalu ada, Pak Rocik,” jawab Ki Loho.
“Bukankah di setiap saran saya selalu ada resiko yang harus ditanggung.”
“Tapi, semua saranmu selama ini berhasil,
Ki.”
“Saya tidak selalu bisa menjaminnya. Semua
berlangsung karena tekad, keuletan, dan amalan.”
“Kalau begitu, saya persilahkan Ki Loho dulu
yang berjalan duluan.”
“Biarkan saya dulu, Pak.” Jamin menyahut.
Beban yang dipanggulnya terasa semakin berat.
“Saya harus melewati ini dulu karena saya
yang paling merasa terbebani. Baik karena ranting-ranting jati ini, atau karena
harus Ki Loho dulu yang mencoba.”
“Bagaimana, Ki?” Pak Rocik meminta
pertimbangan.
“Saya kembalikan kepada majikan saya.”
“Kalau begitu, saya suruh Ki Loho dulu yang
maju. Karena bagaimana-pun, hanya Ki Loho yang memiliki kemampuan untuk
melewati seutas tali ini, sejauh yang saya tahu.”
“Baiklah.” Ki Loho menghembuskan napas
pendek. Ia mulai melangkah pelan mendekati tubir jurang. Ia tidak melihat ke
bawah saat kaki kanannya menyentuh tali yang merentang di atas jurang. Tali
dengan ukuran ibu jari orang dewasa itu langsung melengkung karena terbebani
pijakan Ki Loho. Sementara itu, Pak Rocik dan Jamin memandangi patok kayu
tempat tali diikat. Mereka sedikit khawatir, kalau tahu-tahu patok kayu itu
jebol dan membawa Ki Loho ke dalam jurang.
Ki Loho sampai di tengah jurang. Jalannya
begitu tenang dan merasa tidak terbebani dengan kemungkinan yang akan terjadi.
Namun, ketika kurang seperempat jalan lagi, Ki Loho sudah tidak ada di atas
tali. Pak Rocik dan Jamin tidak menyadari kehilangan Ki Loho dari atas jurang.
“Ke mana Ki Loho pergi?” Keduanya bertatapan.
Di tanah seberang tidak ada orang sama sekali. Artinya, Ki Loho jatuh ke dalam
jurang.
“Sekarang bagaimana, Pak?” Jamin memandangi
Pak Rocik dengan gemetaran. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan
tubuhnya ketika jatuh ke dalam jurang.
“Apa kita harus menunggu bantuan saja di
sini?”
“Tapi, kata Ki Loho, kita harus tiba di rumah
calon istri Pak Rocik yang kesebelas sebelum hari benar-benar menjadi gelap
untuk menaruh ranting-ranting ini.”
Langit di atas kepala mereka tinggal
menyisakan sedikit cahaya.
“Kalau begitu biar saya saja, Pak.” Jamin
maju mendekati tubir jurang. Ia menyentuh tali yang terentang itu dengan
telapak kakinya. Mengetes seberapa kuat tali itu dipijaknya. Sesaat kemudian,
ia dengan masih memanggul sebelas ranting jati melangkah di atas jurang. Karena
pegal dan karena refleks, ia mengibaskan tangan kanannya. Salah satu ranting
yang dipanggulnya meluncur jatuh. Namun, dengan sigap tangan kanannya menggapai
ranting itu. Meskipun tidak jadi kehilangan ranting, malang tidak dapat
ditolak, ia terpeleset jatuh ke dalam jurang. Teriakannya begitu kencang hingga
menyisakan gema yang berkepanjangan.
“Habis sudah sekarang,” batin Pak Rocik. Ia
melangkahkan kakinya di atas seutas tali yang telah menghilangkan dua
pembantunya. Namun, bahkan belum ia berjalan, giliran dirinya dimakan jurang
tidak dapat dielak. Dorongan yang kuat telah menjatuhkannya tanpa ada
perjuangan yang lebih dulu menyertai.
Tiga orang itu jatuh ke dalam jurang.
Semuanya menghadapi nasib yang sama-sama beruntung. Mereka jatuh ke jurang
untuk meninggalkan kesengsaraan yang mereka hadapi masing-masing.
Februari
2020
Farras Pradana
Editor: Rachmad Ganta