XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Perempuan Ngerokok? Mengapa Tidak?

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai
“Tembakau, dicibir dan dituntut sebagai penista tubuh. Ditemukan masyarakat suku asli Amerika, disebarkan dan dikembangkan penjajah Eropa. Menjadi komoditas ekonomi, simbol nasionalisme, pergerakan, serta perlawanan kaum tertindas. Tapi pada akhirnya kolonialismelah yang membawanya.“
Merokok adalah salah satu kegiatan konsumsi masyarakat dunia yang sudah umum dan dapat dijumpai hampir di seluruh belahan bumi. Rokok sederhananya terbuat dari tanaman tembakau yang dilinting. Umumnya menggunakan kertas yang berbentuk lurus, lalu dibakar demi menikmati sensasinya. Ihwal telah ditetapkan oleh WHO sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi dunia. Namun, pada akhirnya rokok tetap menjadi komoditas yang laku di pasar. Bahkan pada titik tertentu menjadi bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat.

Seruan akan bahaya merokok bahkan dapat dijumpai pada tiap bungkus kemasannya. Merokok membunuhmu!” Begitulah salah satu kalimat yang tertaut di tiap kulit bungkus rokok. Pun bungkusan-bungkusan tersebut turut diwarnai dengan serangkaian gambar mengerikan, yang membangun memori kolektif akan kejamnya benda ini.  Belum cukup sampai situ, risiko penyakit yang disebabkan rokok pun turut meramaikan berbagai iklan rokok. Mulai dari menyebabkan kanker, serangan jantung, bahkan gangguan kehamilan.

Jika di masa lalu rokok menjadi bentuk konsumsi yang wajar, lain hal di masa sekarang. Pelaku, apabila merokok di depan umum, akan menyabet cemooh. Lebih-lebih pada titik tertentu mendapatkan sanksi sosial. Merokok pada akhirnya menjadi perilaku yang lekat dengan stigma buruk dan negatif di mata masyarakat. Merokok juga identik dengan maskulinitas, seolah hanya diperuntukan bagi kaum Adam. Demikianlah pada akhirnya kegiatan menghisap asap ini, akan dilekatkan kepada laki-laki yang dianggap gagah dan maskulin.

Lalu bagaimana dengan perempuan? Sampai kini, merokok masih menjadi hal tabu apabila dilakukan oleh kaum hawa. Labeling perempuan gak bener acap kali disematkan pada perempuan yang merokok. Padahal sebagian besar produksi tembakau, dilinting satu per satu oleh tangan buruh yang cekatan dan hampir semuanya adalah perempuan. Jika ditelisik dari sejarahnya, kebudayaan merokok tidak terlepas dari partisipasi dan peran perempuan.

Budaya merokok khususnya di Indonesia muncul beriringan dengan kehadiran kolonialisme Eropa. Dalam proses perkembangannya rokok di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri dibanding negara lain. Salah satunya yaitu kehadiran rokok kretek. Dalam buku Perempuan Bicara Kretek karangan Abmi Handayani, rokok kretek pertama kali diracik oleh seorang perempuan bernama Mbok Nasilah pada tahun 1870-an di Kudus. Ia mencampur tembakau dengan cengkeh dan membungkusnya menggunakan daun jagung kering (kelobot).

Pada awalnya ia menyediakan rokok kelobot untuk mengurangi kebiasaan nginang (mengunyah sirih) yang mengotori warungnya. Namun, tanpa diduga racikan tersebut demikian digemari oleh banyak pelanggan yang datang. Salah satunya yaitu Nitisemito yang kemudian menikahi Mbok Nasilah. Pasangan suami-istri ini kemudian bersama-sama mengembangkan racikan awal Mbok Nasilah. Sampai berikut hari racikan tersebut berkembang dan berevolusi menjadi salah satu industri kretek pertama di Kudus, dengan nama Bal Tiga pada 1914.

Lebih jauh sebelum itu, dalam buku Hikayat Kretek karya Amen Budiman dan Onghokhamlagi-lagi terdapat peran kaum hawayakni dari kisah Pranacitra abad ke-17 pada masa Sultan Agung. Dikisahkan seorang perempuan bernama Rara Mendut hendak dipersunting pejabat tua bernama Tumenggung Wiraguna.

Rara Mendut menolaknya, terjadilah perselisihan. Akibatnya, Rara Mendut dijatuhi hukuman dengan membayar pajak yang berlipat. Jika tidak sanggup, Tumenggung Wiraguna akan memaksa Rara Mendut menjadi istrinya. Rara Mendut menyanggupinya dengan syarat ia diizinkan untuk berjualan rokok. Rokoknya pun laris dan pajak yang berlipat dapat terbayarkan.

Kedua kisah di atas bukanlah apologi untuk membenarkan perempuan yang ingin mengeluarkan kepulan asap dari tembakau. Akan tetapi, lebih penting lagi sebagai pengingat.  Karena pada dasarnya, baik laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama apabila ingin merokok. Karena ini bukanlah persoalan gender dan gender pun tak berhak membatasi itu. Lamun, timbul pertanyaan baru. “Apa penyebab munculnya justifikasi bahwa perempuan tidak boleh merokok di antara masyarakat?” Mari kita telaah lebih dalam.

Budaya Patriarki dan Standar Ganda Pada Masyarakat
Pola pikir masyarakat mengenai buruknya perempuan yang merokok tidak dapat dilepaskan dari dominasi budaya patriarki. Budaya patriarki dibawa oleh kolonialisme Barat. Kemudian bersarang pada kebudayaan masyarakat Nusantara hingga kini. Ciri khas kebudayaan Nusantara sebelum kolonialisme tiba adalah “matriarki gaya Polinesia”. Matriarki Polinesia adalah sistem kebudayaan di mana perempuan dapat melakukan peran yang lazimnya dikerjakan oleh laki-laki.

Contoh konkret dari budaya matriarki Polinesia adalah peran Nyi Ageng Serang sebagai panglima perang pada masa perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Budaya ini lekas luruh ketika kolonial Belanda datang ke Nusantara dan menanamkan budaya patriarki. Sejak saat itu, perempuan dianggap sebagai subordinat dalam segala aspek termasuk konsumen rokok.

Seperti yang kita tau budaya patriarki adalah dogma yang menghalalkan segala bentuk peraturan baik sosial, politik, ekonomi bahkan privasi individu berdasarkan pandangan laki-laki. Dalam dogma ini, laki-laki memiliki peran sebagai sosok pengatur yang ideal untuk perempuan dalam masyarakat. Di mana perempuan menjadi boneka yang diatur dari caranya berbicara, berpakaian, bahkan sampai bertingkah laku yang baik. Meskipun budaya patriarki diatur dan digerakkan oleh laki-laki. Akan tetapi, dengan minimnya pengetahuan, perempuan pun ikut melanggengkan dogma ini.

Maka tak heran perempuan yang ideal di mata kaum patriarki, adalah mereka yang diam dan pemalu. Apabila si puan melawan dan mampu bertindak karena terjadi penindasan. Seringkali ia dianggap perempuan yang binal dan kasar. Terlebih bila si perempuan itu merokok, hancur sudah pandangan baik terhadapnya. Terlepas dari norma yang mengikat, kita mestinya memahami bahwa setiap manusia tentu tidak ingin kepentingan privatnya terusik. Menjadi perokok bukan berarti mendeklarasikan diri menjadi orang nakal, jahat, ataupun pantas untuk dihina. Kita perlu tahu, bahwa setiap orang mempunyai alasan dan keputusan yang harus dihargai.

Entah kenapa kini pada akhirnya konsumsi rokok hanya menjadi milik laki-laki. Rokok pun telah berubah menjadi simbol maskulinitas dan kejantanan. Lihat saja di berbagai tongkrongan anak muda, terdapat stigma laki-laki belum jantan apabila tidak merokok. Ia pun akan dianggap lelaki culun dan rumahan. Padahal merokok atau tidak itu adalah hak perorangan dan bersifat privasi.

Standar ganda moral yang diciptakan baik laki-laki dan perempuan yang berorientasi patriarki. Tentunya menjadi belenggu bagi perempuan perokok dan laki-laki yang tidak merokok. Di satu sisi perempuan yang merokok dianggap urakan dan nakal. Di sisi lain laki-laki yang tidak merokok dianggap tidak jantan. Cara pandang diskriminatif tersebut jelas-jelas mengandung banyak unsur kecacatan dalam berpikir. Cacat logika tersebut dapat kita lihat melalui stigma negatif yang terwujud. Di mana stigma negatif terhadap perempuan perokok telah termanifestasi nyata dalam bentuk cacian dan hinaan.

Berhenti Menjadi Seorang Moralis
Memang benar merokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, apabila konsumsi yang berlebihan atau lemahnya tubuh saat menerima asap yang dikeluarkan dari si tembakau. Namun, lagi-lagi menjadi hak manusia merdeka apabila ingin merokok. Tentunya dengan umur sudah mencukupi dan tidak bergantung dengan orang tua. Pun para perokok juga harus pula menaati aturan yang ada di khalayak umum. Jangan sampai saat menghisap rokok, asapnya justru menyesap kepada mereka yang tidak merokok

Sebagai manusia kita diciptakan untuk saling menghargai dan mengasihi. Berhentilah menjadi moralis untuk persoalan masalah pribadi seseorang. Melarang seorang perempuan merokok, sama saja seperti melarang para buruh perempuan untuk memproduksi rokok. Padahal semuanya ikut merasakan hasilnya. Jika sudah demikian siapa yang munafik? Diam-diam mencibir, tapi diam-diam juga menikmati.

Melawan Stigma Negatif dan Penghakiman Atas Perempuan Perokok
Stigma timbul karena adanya kekuatan dominan yang diamini dalam masyarakat. Stigma sendiri dipercaya sebagai fakta oleh masyarakat, kemudian disebar luaskan dan menjadi standarisasi penilaian. Demikian pula dengan stigma negatif dan penghakiman terhadap perempuan perokok. Sungguh, tak adil rasanya jika perempuan perokok mengalami siklus justifikasi dan diskriminasi sepanjang hidupnya. Stigma dan penghakiman yang terstruktur pada tatanan nilai masyarakat perlahan harus kita hilangkan.

Mengapa demikian? Tentu bukan untuk mendukung industri rokok ataupun kampanye perempuan untuk turut menghisap komoditi ini. Akan tetapi, lebih dari ituialah upaya kita untuk melawan stigma. Agar berikut hari kita dapat menghargai hak-hak perempuan yang menjatuhkan pilihan sebagai perokok.

Demikianlah sejarah tidak pernah mencatatkan bahwasanya rokok hanya bisa dinikmati oleh kaum adam. Dari titik ini saya ingin menekankan, bahwa perempuan memilik hak yang sama dengan laki-laki untuk merokok bahkan di muka umum sekalipun. Selagi mereka tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain, merokok tetaplah sah dilakukan di tempat umum. Lantas sejak kapan kita menjadi hakim bagi orang lain?

Diah Eka Kartika
Editor: Rachmad Ganta Semendawai

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar