Ilustrasi: Rachmad Ganta Semedawai |
Siang itu, kala waktu istirahat para pegawai telah usai, saya
pun mengunjungi ruang Dekanat lantai dua yang berada di Fakultas Ilmu Sosial
(FIS). Seraya menggenggam erat sebuah stopmap, hal ini guna meminta perizinan
untuk sebuah agenda. Ketika saya masuk ke dalam ruang Dekanat, sontak kalimat
pertama yang saya dapatkan berupa ujaran berbunyi, "Maaf mas, kalau mau
ngasih surat, pakaian harus rapi. Sana balik dulu." Kebetulan di hari itu
saya memakai kaos yang tertutup oleh jaket.
Seketika itu juga saya
pun langsung keluar dari ruangan itu. Sebuah pertanyaan terlintas di dalam
kepala saya, "Harus banget kah berpakaian rapi ketika meminta perizinan
kepada Dekanat? Apakah seseorang yang tidak menggunakan kemeja, pantas
mendapatkan pelayanan yang berbeda? Memangnya pakaian menjadi penentu dari
sikap baik seseorang? Apakah para koruptor tidak berpakaian rapi?"
Ini amat
menyebalkan setiap setiap kali orang menggunakan potongan rambut dan setelan
pakaian untuk menilai sikap dan sopan santun seseorang. Fenomena tersebut tidak
mengherankan di tengah masyarakat konservatif yang gagal melunturkan warisan
dari logika Orba. Orba memang runtuh,
tapi logikanya masih terpelihara seperti artefak yang berdebu. Nampaknya lebih
sulit meruntuhkan pikiran-pikiran Orba, di banding melengserkan Soeharto.
Sampai kini kita masih dipaksa untuk mengenakan pakaian sesuai dengan keinginan orang lain, ini sungguh
membuat kenyamanan individu menjadi terganggu. Sebagai corak peninggalan
Orba,”kerapian yang penuh kebohongan” masih terasa sampai sekarang.
Ketika masih berkuasa, rezim Orba
melakukan praktik pengekangan kebebasan melalui beberapa aspek. Salah satu yang
menjadi sorotan ialah, pengukuran kepribadian berdasarkan standar kerapian. Anak muda yang terlihat berpenampilan kotor, berpakaian kombor
dan berambut gondrong, secara otomatis akan
dijatuhi stigma sebagai individu
yang berperilaku negatif.
Sebaliknya, orang yang berpakaian rapi dan berdasi, akan langsung dijustifikasi
sebagai pribadi yang serba positif.
Apologi ini kemudian diperkuat oleh argumen Aria Wiratma Yudhistira,
dalam karyanya yang berjudul Dilarang Gondrong!.
Buku tersebut,
merekam bagaimana rezim Orba yang selalu berusaha melanggengkan praktek
pengekangan kebebasan, demi mengontrol seseorang. Dikutip dari buku Dilarang
Gondrong! karya Aria Wiratama yang berbunyi: “Tujuh pemuda gondrong
merampok bis kota.”, dan “Waktu mabuk di pabrik peti mati: Enam pemuda gondrong
perkosa dua wanita.” Kalimat-kalimat tersebut seringkali muncul saat pada masa
itu. Rambut para kriminal disorot seolah memprovokasi dan mendorong kita untuk
berfikir bahwa, orang yang berambut panjang pasti kriminal. Hal ini, menjadi perpaduan
yang sempurna dari propaganda Orba sehingga semakin mengakar dalam paradigma
masyarakat, agar berpikiran bahwa rambut gondrong identik dengan kriminalitas.
Usaha untuk mereduksi
kebebasan beridentitas yang
digencarkan Orba, sampai saat ini masih bisa kita temui di
masyarakat bahkan dalam lingkup keluarga. Beberapa unit terkecil dari masyarakat
ini, beranggapan bahwa
kerapian adalah pondasi utama agar diterima warga. Keluarga yang seharusnya
berperan menstimulus pertumbuhan karakter, justru beralih menjadi pengendali luapan
ekspresi. Dalam konteks
hari ini (pasca-otoritarian Orba), harusnya
kita semakin tersadar. Bahwa tidak ada satu indikator
pun yang dapat menjadi acuan, apakah individu tersebut baik atau tidak, hanya dari model rambut serta
cara berpakaiannya.
Dalam kasus ini, sejujurnya kita dapat menyadari bahwa tidak selamanya, pakaian yang dikenakan
sebanding dengan kepribadian. Salah
satu contoh
riil yang
menepis stigma kerapian ialah
para elit politik yang duduk di singgasana parlemen. Sosok yang berbalut jas
hitam dengan segala kerapian, yang bahkan lebih kaya raya, meski hanya sekadar
“wakil” rakyat saja. Seseorang yang serba berkecukupan dengan inventaris dimana-mana,
namun pada hakikatnya kerap lalai dalam menunaikan perannya.
Media kurang lebih
sudah berkali-kali, memberitakan kaum rapi yang tersandung korupsi. Begitu pun
beberapa plutokrat yang dengan tanpa nurani, mengingkari janji. Salah satu yang
masih membekas dan memicu murka adalah kasus Juliari Batubara. Seorang Menteri
sosial yang dengan lantang menyuarakan akan menghukum mati, apabila ada birokrasi
nan tega melakukan tindak korupsi di masa pandemi. Kendati demikian, sosok ini
pula yang mengingkari. Mengorupsi bansos pandemi, namun tidak menghukum mati
dirinya sendiri. Juliari justru dengan tanpa malu meminta grasi dan dibebaskan
dari bui, dengan alibi yang bahkan tak dapat diterima nalar dan hati.
Apakah ia berambut
gondrong dan berpakaian tidak sopan? Anda bisa mencari fotonya di
internet!
Setelah
serangkaian kekecewaan terhadap kaum rapi, sudah seharusnya para orang tua dapat beranjak dari logika yang dibangun Orba. Sehingga kebebasan dan identitas seorang individu dapat dipertahankan, tanpa menghilangkan
moral dan kemanusiaan. Biarkan pribadi
tersebut mendapat kebebasan, sesuai apa yang dia inginkan dengan
syarat tidak merugikan
dan menyakiti orang lain. Lebih
jauh, parameter selera orang
tua sudah semestinya diubah. Dari yang semula menjustifikasi
berdasarkan kerapian, perlahan digantikan oleh analisis mendalam terhadap
kepribadian, tanpa memerhatikan cara berpakaian.
Diskiriminasi
terhadap “kaum tidak rapi” seringkali
juga dilanggengkan oleh
tradisi dan budaya, terutama di wilayah Jawa. Terlebih Jawaisme hampir tersebar
di seluruh pelosok Indonesia. Mengingat, kita dapat dengan mudah menemui orang Jawa diseluruh
Indonesia, berkat kolonisasi (emigrasi) yang dahulu dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kolonisasi
tersebut dilakukan demi mendapatkan tenaga dari pribumi Jawa untuk kelangsungan
pabrik atau apapun yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dalam tradisi Jawa, terdapat sebuah ungkapan berbunyi Ajining
rogo
soko busono yang berarti penampilan
kita mencerminkan harga diri kita. Bisa juga dimaknai
dengan tata cara berbusana adalah kunci utama agar dihormati. Ungkapan tersebut sudah mengakar
kuat. Mayoritas masyarakat jawa, biasanya
memberlakukan peribahasa ini pada semua orang yang
ditemuinya, meskipun ia tak mengenalnya. Ketika orang dari golongan ini melihat seseorang memakai pakaian yang belum disetrika,
biasanya mereka akan langsung berintuisi dalam hati. Misalnya dengan kalimat, “bajune wae ra rapi, mesti wong iki kepribadiane yo ra apik”.
Namun, hal ini
tidak dapat disalahkan dan tidak juga sepenuhnya dibenarkan. Mengingat,
kemungkinan stigma yang ada merupakan akibat dari dikte dari keluarga, maupun
masyarakat sekitarnya. Sebenarnya, permasalahan utama bukan terletak pada tradisi
atau peribahasa, yang dipegang erat oleh masyarakat. Kecenderungan terhadap
cara berpakaian, yang dikaitkan dengan kepribadian itulah yang perlu direvisi.
Karena pada hakikatnya bab penampilan juga merupakan suatu hal yang bersifat
asasi dan adaptif. Artinya, seseorang bisa berpakaian sesukanya!
Dalam kasus kerapian
ini, mungkin yang dapat saya ambil contoh sebagai antitesis dari tradisi Jawa
yang berbunyi, ajining rogo soko busono yaitu
masyarakat Samin. Masyarakat Samin merupakan salah satu suku yang tinggal di
pulau Jawa, tepatnya hidup di daerah Blora, Pati, dan sekitarnya. Masyarakat
Samin notabene termasuk dalam lingkup wilayah Jawa. Namun, uniknya mereka
tidak memakai tradisi Jawa yang berkaitan dengan stigma dalam berpakaian. Masyarakat
Samin tetap menilai sifat seseorang melalui sebuah tindakan. Sekali lagi, bukan
melalui tata cara berpakaian!
Pada akhirnya,
kita semua harus bertafakur mengenai parameter individu terhadap suatu
kerapian. Jangan sampai, kita menghilangkan toleransi, mendiskriminasi, dan
menjustifikasi seseorang yang berpenampilan tidak rapi. Mari mengubur warisan
kontroversial di masa Orde Baru, yang menyisakan ingatan pilu!
Irvan
Bukhori
Editor: Rachmad Ganta S dan Arina Maqshurotin F