XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Pengusik Hak Hidup Layak: Pembangunan yang Mengatasnamakan Kesejahteraan

Ilustrasi: Jagad Tegar Martriyas
"Pasar-pasar podho ilang tumandange malah kalah karo mall sing padhang lampune” 


“Lan, lan, hotel-hotel bermunculan suk-suk pari ambruk karo pemukiman,lahan hijau makin dihilangkan, ruwet macet Jogja Berhenti Nyaman”.


Keadaan Jogja hari ini, tergambar jelas dalam sepenggal lirik dari lagu Jogja Ora Didol! Langgam bergenre hip-hop kreasi Jogja Hip-hop Foundation atau sering disebut JHF. Melodi berbahasa jawa itu menggambarkan, telah terjadi perubahan wajah kota Jogja yang dahulu nyaman dan tentram menjadi ruwet sekaligus macet. “Ruwet macet Jogja Berhenti Nyaman”, gaya satire dari slogan “Jogja Berhati Nyaman”, yang sering digaungkan dalam membranding kota Jogja.


Sejak dulu, aktivitas masyarakat Jogja dikenal dengan budaya jawa yang masih kental dan dilestarikan. Dibalut bangunan Joglo sederhana dengan asrinya pepohonan, yang didominasi jenis beringin jawa menjadi ciri khasnya.


Namun, semua itu terkikis pudar, sejak masifnya pembangunan properti komersil seperti hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan (Mall) di kota Jogja. Gedung peruntukkan komersial yang ditujukan melayani wisatawan. Maksudnya juga sekaligus membukakan lapangan kerja bagi warga sekitar.


Pemberian karpet merah terhadap investasi properti di Jogja ini, tak terlepas dari fenomena gentrifikasi. Secara spesifik, gentrifikasi merujuk pada perubahan area hunian di wilayah perkotaan yang dihuni masyarakat miskin kota, menjadi kawasan elite yang terdiri dari properti hunian kelas menengah dan atau juga property untuk tujuan komersil (kompleks pertokoan, sarana akomodasi, maupun perkantoran) (Lopez-Morales, 2015).


Pada kenyataannya, pembangunan properti mewah dan gedung peruntukan komersil, yang dianggap akan menyejahterakan melalui pertumbuhan ekonomi yang membumbung pesat, justru menambah permasalahan bagi masyarakat itu sendiri. Gentrifikasi yang berlangsung di Yogyakarta malah menimbulkan paradoksial, pertentangan yang tak berujung antara proses pembangunan properti mewah – khususnya hotel, dengan kondisi masyarakat di sekitarnya (Wahyu,2020).



Praktek Peremajaan Kota Wisata dengan Berbagai Resultannya


Pemerintah Kota Yogyakarta yang mengizinkan pembangunan berbagai bentuk properti mewah dan komersil, menunjukkan kota pariwisata ini sedang berada pada fase penciptaan kota modern, dengan gedung-gedung berdiri menjulang tinggi dan beton-beton infrastruktur ditanami.


Mall, Hotel, Restaurant, Caffe dan berbagai sarana permudah akses menjadi fasilitas yang dibentuk bagi wisatawan, maupun orang yang ingin merasakan hingar bingar kehidupan kota beralas kemewahan dan kelimpahan harta.


Pembangunan hunian hotel di Yogyakarta terus mengalami peningkatan yang cukup massif dari tahun ke tahun. Pada 2013, hunian kamar hotel berdiri 400 hotel dengan rincian 357 hotel melati dan 43 hotel berbintang. Pada tahun 2017, ruang akomodatif tersebut meningkat menjadi 685 hotel. Fakta yang memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu empat tahun telah bertambah 285 hunian yang didirikan.


Sedangkan pada tahun 2021 ini, sudah ada 790 hunian kamar hotel dengan rincian 11 berkategori berbintang lima, 42 hotel berbintang empat, 68 hotel berbintang tiga, dan sisanya hotel berbintang satu dan dua (Bappeda DIY, 2021).


Peremajaan kota yang mengubah wajah Jogja menjadi properti mewah nan modern, justru masyarakat miskin kota yang menjadi tumbalnya. Padahal, dalih pembangunan tersebut ditujukan membuka lapangan kerja dengan pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan.


Tapi nyatanya, warga kelas menengah-kebawah kian sulit mencari hunian terjangkau dan layak. Persoalan itu ditandai dengan pertentangan agraria antara sang penanam modal melawan warga kota yang terusik oleh pembangunan. 


Berbagai kasus konflik telah sering terjadi antara pemilik modal dengan penduduk sekitar. Keringnya sumur warga Miliran karena eksploitasi air tanah yang berlebih dari  Fave Hotel pada 2014 (Watchdog, 2015).


Begitupun konflik antara warga Gadingan, Ngaglik dengan apartemen The Palace, akibat maladministrasi proses perizinan (Mongabay,2015). Termasuk juga, warga Karangwuni yang tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Utara (PWKTAU) menolak pembangunan apartemen, karena nantinya akan menyebabkan akses air tanah yang sulit dan menambah kemacetan.


Warga sekitar proses pembangunan justru  menjadi tumbal peremajaan ruang perkotaan kota Jogja. Permasalah air dengan keringnya sumur warga, serta sulitnya kaum miskin kota dalam menggapai penawaran properti lahan dan perumahan menjadi realitas konkret resultan buruk yang didapatkan masyarakat kota.



Pengusikan Ketentraman, Dari yang Mengatasnamakan Kesejahteraan


Berbagai konflik sosial yang muncul, justru dari konsep pemerintah yang mengatasnamakan ‘kesejahteraan’. Fakta yang memperlihatkan pertentangan antara tujuan dengan sasaraan, dari kebijakan investasi yang membangun properti mewah dan komersil di Yogyakarta.


Malahan, masyarakat justru lebih hidup layak dan tentram sebelum adanya gedung-gedung modern berbasis komersial tersebut. Warga akan merasakan dampak terutama ancaman kekeringan air sumur, irigasi sawah dan sosial budaya masyarakat kampung rusak, akibat pembangunan-pembangunan apartemen The Palance (Prastowo Pandu Satrio dalam Mongabay, 2015)


“Kota modern adalah kebalikan dari apa yang diinginkan semua orang” Oscar Wilde. Kalimat yang diutarakan seorang penulis sekaligus penyair dari Irlandia tersebut cukup relevan dalam menggambarkan kondisi Jogja masa kini.


Tentu pertikaian tersebut juga tak terlepas dari peran pemerintah, yang begitu mudah memberikan lampu hijau pada proyek-proyek investasi. Perizinan usaha yang mulai di longgarkan (deregulasi), sebagai tren kebijakan pada daerah penganut pertumbuhan ekonomi. Peningkatan investasi dengan melakukan deregulasi, menjadi wacana ekonomi-politik neoliberal dengan menempatkan negara hanya berperan sebagai anjing penjaga (watchdog) bagi para pemilik modal (Wahyu, 2019).


Yang menjengkelkan, pemerintah justru tutup telinga dan tak melihat, kemudahan ijin itu nyatanya mengakibatkan pertarungan hidup yang semakin beringas. Mereka yang capitalnya kuat, yang akan menang pada kompetisi pasar yang dibentuk oleh negara.


Langkah meredam konflik dari proses pembangunan sebenarnya sudah dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta dengan disahkannya Perwali No 77 Tahun 2014 tentang pengendalian pembangunan hotel. Namun, moratorium yang berlaku sejak 2014 itu sudah mengalami beberapa kali revisi, yakni pada 2018 dan yang terakhir 2020.


Ada yang ganjil berupa pasal karet jika menilik regulasi yang baru, yakni Perwil Nomor 150 Tahun 2020 yang mengatur tentang pembangunan hotel. Keganjilan yang membingungkan antara konsep dalam aturan dengan realitas di lapangan.


Peraturaan tersebut menetapkan keselektifan dalam izin pembangunan hotel. Keselektifan yang dimaksudkan untuk penataan dan pembenahan kota agar warga dan wisatawan bisa terjaga (Heroe Poerwadi dalam Tempo, 2020).


Keselektifan dan penataan seperti apa yang dimaksud? nyatanya, pembangunan hunian kamar hotel masih berjalan massif dan cenderung tak terkendali. Hotel berkategorikan berbintang-bintang juga masih terbangun pada sudut-sudut kota di Yogyakarta.


Terlebih jika nanti banyak direct flight penerbangan asing di bandara baru Kulon Progo. Kebutuhan turis asing perlu disiapkan sejak sekarang, termasuk hunian komersil mewah (Tempo, 2020).


Kita bisa melihat bahwa terdapat ketidakkonsistenan dari pemerintah. Mereka membuat Perwali untuk menjadi solusi atas permasalahan hunian akomodasi penunjang wisata  dengan warga, tetapi memancing konflik dengan masih mengizinkan hotel-hotel berbintang berdiri.


Padahal, hotel mewah dengan gelar berbintang-bintang seringkali menjadi biang munculnya konflik dengan warga sekitar pembangunan. Pemakaian air yang cukup banyak termasuk kebutuhan lahan yang luas, menjadikan kehidupan masyarakat yang sudah tentram, dipersembahkan untuk proses pembaharuan ruang. 



Pergulatan Masyarakat Melawan Pengusikan Hak Hidup


Bentuk ketidakadilan yang membentuk rasa kecewa, membuat masyarakat tak tinggal diam. Dalam pembangunan properti mewah yang berdampak negatif terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta, memantik perlawanan dengan gerakan “Jogja Ora Didol”. Dodok Putra Bangsa menjadi salah satu aktivis yang paling getol pada gerakan tersebut, dengan diawali dari keresahannya terhadap keringnya sumur-sumur warga di Miliran.


Sebelum berdirinya hotel pada kawasan Kusumanegara itu, sumur warga di Umbulharjo tidak pernah mengalami kekeringan. Barulah ketika selang 2 tahun sejak berdirinya hotel, sumur-sumur warga mulai mengalami kekeringan. Dodok yakin bahwasanya itu disebabkan oleh hotel tersebut yang menyedot tanah air dangkal hingga menyebabkan keringnya sumur warga.


Dodok mengawali aksi protesnya dengan melakukan mandi air tanah di depan hotel yang disinyalir menjadi penyebab keringnya sumur warga. Aksinya tersebut menarik perhatian publik, hingga aksi penolakan terhadap pembangunan hotel yang semakin “sembrono” menjadi lebih besar.


Gerakan protes mengenai pembangunan hotel juga dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, seniman bersama segenap lapisan masyarakat membuat gambar yang menutupi seluruh tembok  di bawah Jembatan Kewek, Kota Bar


Gerakan tersebut bertajuk “Jogja Asat” yang merepresentasikan atas kekhawatiran masyarakat Kota Jogja mengenai dampak negatif dari pembangunan hotel yang menyebabkan sumur warga mengering di area sekitar pembangunan hotel.


Selain melalui protes dengan melakukan aksi demo, para akademisi juga melakukan diskusi publik terkait permasalahan pembangunan hotel yang memberikan dampak negatif. Diskusi publik yang diadakan oleh FISIPOL UGM dengan nama "Yogya Sould Out" (22/4/2015), dalam diskusi tersebut dikatakan bahwasanya salah satu penyebab hilangnya jati diri Kota Yogyakarta adalaah justru dari maraknya pembangunan properti komersiil yang semrawut. Pemngembangan yang membuat ciri  khas nyaman dan jauh dari kata ruwet dari Yogyakarta menjadi memudar.


Dodok juga hadir dalam diskusi tersebut. Beliau menyatakan bahwa pembangunan hotel juga menyebabkan kampungnya menjadi kering sumurnya.  Padahal, dia hidup sekian puluh tahun di kampungnya, sumur kering belum pernah terjadi meskipun pada musim kemarau panjang.


Pembangunan hotel membuat masyarakat kecil tertindas, tentunya tertindas dalam artian untuk mendapatkan akses air bersih yang didapatkan dari sumber mata air tersebut. Jika sumur mengering akibat pembangunan hotel yang tidak ditertibkan, mau darimana lagi warga mendapatkan air bersih? Pun PDAM belum sepenuhnya bisa menyuplai keseluruhan kebutuhan air bersih di Kota Yogyakarta.


Padahal, air menjadi kebutuhan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang layak. Malahan, adanya air menandakan adanya kehidupan dalam suatu daerah. Petunjuk yang menggambarkan betapa pentingnya akses air bersih harus terus terpenuhi sebagai hak dasar bagi manusia. Pengusikannya berarti membuka gerbang permasalahan hidup yang tidak layak bagi masyarakat.


Referensi



Zhafran Naufal Hilmy

Editor: Amirudein Al Hibbi


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar