Taufik Rahmadi Sitorus ketika berbuka bersama dua wartawan Philosofis di Warung Penyetan Bu Wid, Yogyakarta, Selasa (11/05). Philosofisonline.id/Farras Pradana. |
I. Prolog: Salah Sangka
Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Langit di atas kepala pelan-pelan berubah gelap. Matahari beristirahat di ufuk barat dengan tenang. Menyisakan hawa panas di permukaan Bumi yang sedikit demi sedikit menjadi hangat. Menurut perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), cuaca di wilayah Yogyakarta, dari pagi sampai malam, rata-rata cerah berawan. Tapi, apa boleh buat, prediksi cuaca itu satu hal, dan merasakan gerah karena beraktivitas itu hal yang lain. Begitulah kondisi menjelang malam hari itu, Selasa 11 Mei 2021, ketika saya dan Ahmad Effendi menjemput seorang narasumber dari kosannya.
Lelaki itu dengan langkah cepat menyusuri conblock gang Karangmalang. Membuat saya dan Ahmad yang mengikuti di sampingnya tidak ingin ketinggalan. Rumah-rumah sepanjang gang mulai menyalakan lampu, tapi ia tidak peduli. Keinginannya adalah sampai di tempat tujuan tepat waktu. Sebuah tempat yang jaraknya tidak lebih dari 300 meter dan tidak menghabiskan waktu sampai lima menit.
Keluar dari gang Karangmalang, kami bertiga tiba di Warung Penyetan Bu Wid. Sebuah warung makan yang terletak di perempatan Karangmalang. Atau, lebih tepatnya sebelah barat Fakultas Ekonomi UNY.
Setelah memesan, kami bertiga naik ke lantai dua. Selama menaiki tangga, lelaki itu memegang lengan saya. Hal itu sebenarnya dilakukan bukan saat ini saja, tapi sudah semenjak berangkat dari kosannya beberapa saat yang lalu. Beberapa waktu kemudian, ketika perbincangan sudah usai, saya dan Ahmad sedikit menyesali cara kami memperlakukan lelaki itu, karena menanggapnya seolah lemah.
Tidak lama setelah kami bertiga duduk lesehan, adzan Maghrib berkumandang. Menandakan waktu berbuka puasa pada hari ke-29 Ramadhan telah tiba. Sayangnya, pesanan kami memerlukan sedikit waktu lebih untuk disajikan. Dan, sembari menunggu, kami berbincang ngalor-ngidul.
Tatkala pesanan datang, kami bertiga langsung makan setelah sebelumnya mencuci tangan. Lapar karena beraktivitas dan berpuasa sepanjang hari, makanan kami tandas tak kurang dari 15 menit. Obrolan yang sebelumnya terjeda kembali diteruskan sambil menyesap es teh manis.
Adzan Isya berkumandang. Kami bertiga turun, memutuskan untuk pulang. Sama seperti saat naik, saat turun pun lelaki itu berpegangan pada lengan saya. Sampai di bawah, saya mengantarkan lelaki itu pulang, sementara Ahmad menunggu di warung makan itu. Di depan kosan, saya yang mengantarkan berpisah dengan lelaki itu, kembali ke tempat tadi.
Di warung makan, Ahmad yang menunggu mendapat informasi dari seorang pegawai di sana. Kata si pegawai, lelaki itu sudah biasa makan ke sini sendiri. Sebelum hari ini, lelaki itu sudah tiga kali datang, kadang sendirian, kadang bersama teman-temannya.
Saya yang mengantar lelaki itu kembali, dan Ahmad yang menunggu segera naik ke atas motor. Ahmad lalu mengisahkan penuturan pegawai Warung Penyetan Bu Wid kepada saya. Selama perjalanan pulang, saya dan Ahmad menyadari perlakukan kami tadi. Kami berdua tiba-tiba teringat potongan ucapan lelaki itu dalam obrolan.
Kata lelaki itu, ia tidak ingin dibedakan dengan orang lain dalam memandang dunia ini hanya karena dirinya berbeda. Ia tidak ingin orang-orang di dekatnya berbisik satu sama lain dan menghiraukannya dalam membicarakan hal-hal buruk di dunia ini hanya agar dirinya tidak tahu. Ia menegaskan, dirinya adalah bagian dari dunia dengan segala baik-buruknya, jangan menjadikan perbincangan menjadi seakan-akan baik-baik saja di dekatnya.
II. Menerima Diri dan Menjadi Mandiri
Lelaki di atas bernama Taufik Rahmadi Sitorus. Ia adalah seorang penyandang disabilitas tunanetra yang menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni UNY. Sudah lebih dari sembilan tahun, lelaki asal Medan itu tinggal sendirian di Yogyakarta.
Dalam rentang masa itu, ketika SMA dan kuliah, ia sering menghadapi orang yang tidak terima dengan kondisinya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang menjijikkan. Ia masih ingat, di kampus sewaktu lagi jalan bersama teman-temannya, dirinya berusaha menyapa salah satu temannya dan tersenyum. Namun, bukannya jawaban yang dia terima, temannya itu malah memilih lari.
Dulunya sikap orang-orang semacam itu kadang membuat dirinya frustasi. Membuatnya berpikir, “Kok berat banget cobaan dari Tuhan.” Namun, setelah sekian waktu, ia menjadi terbiasa. Ia menganggap, mereka yang memandang dirinya menjijikkan belum tahu atau tidak mau tahu mengenai inklusifitas. Ia berpikir, mungkin mereka belum tahu atau baru pertama kali bertemu sehingga bingung bagaimana caranya berkomunikasi dengan dirinya. Tujuannya melakukan hal itu agar ia tidak selalu berpikiran negatif. Karena, menurutnya, jika ia berpikiran negatif, ia akan selalu menyalahkan keadaan dirinya.
Sementara itu, bagi orang-orang yang belum tahu dan ingin tahu mengenal inklusifitas, ujarnya, ia akan mencoba menjelaskan. Baginya, itu kesempatan untuk memberi tahu orang-orang bagaimana caranya berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Tetapi bagi mereka yang tidak ingin tahu, katanya, “Ya, sudahlah.”
Ia kini telah menjadi pribadi yang menerima keadaan dirinya, dan telah membentuk diri menjadi seorang yang mandiri. Dihubungi lebih lanjut pada Selasa, 8 Juni 2021 via Whtasapp, ia mengatakan, terima kondisi saja, kalau disesali tidak mungkin. Yang penting, ia masih punya tangan, kaki, hidung, telinga. Bagian-bagian itu masih dapat ia optimalkan semuanya.
Terkait sikap menerima diri dan kemandirian yang ditunjukkan Taufik ini, dosen program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNY, Rendy Roos Handoyo punya penjelasannya. Dihubungi pada Kamis, 3 Juni 2021 via Whatsapp, ia mengatakan, untuk mencapai tahap di mana seseorang berdamai dengan dirinya sendiri dan menjadi mandiri, faktornya ada dua, eksternal dan internal.
Ia mencontohkan pola hubungan eksternal dan internal ini. Katanya, “Support system yang baik dari keluarga dan lingkungan membantu seorang penyandang disabilitas untuk berpikir positif dan menerima.”
Mengutip teori lima tahap kedudukannya Kübler Ross yang dimulai dari penolakan, stres, depresi, negosiasi, dan penerimaan diri, ia meneruskan, “Seseorang bisa menerima kedukaan atau kesedihan termasuk bencana pada dirinya”.
Dengan menerima semua yang terjadi pada diri sendiri dan berdamai dengan hal itu, tulis Rendy, “Proses menjalani kehidupan menjadi lebih mudah termasuk proses belajarnya”.
III. Kisah Mahasiswa UNY Penyandang Disabilitas
Sama seperti mahasiswa dan pelajar yang beralih dari pembelajaran tatap muka ke daring, adaptasi menjadi jalan pertama yang perlu dilalui. Tak terkecuali dengan seorang mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra bernama lengkap Muhammad Rifki Yanuardi. Ketika pertama kali merasakan pembelajaran daring, katanya pada Sabtu, 15 Mei 2021 via Whatsapp, ada tiga hal yang dianggapnya sebagai rintangan.
Pertama, ia belum peran menggunakan aplikasi yang digunakan untuk pembelajaran dari sebelumnya, sehingga butuh waktu menyesuaikan dan memahami setiap fungsi tools yang ada. Kedua, tugas yang tidak aksesibel dengan kondisi dirinya, terutama yang berhubungan dengan visual. Ia mencontohkan, salah satunya membuat grafik. Terakhir, seperti yang banyak dialami mahasiswa pada umumnya, banyak tugas yang harus dikerjakan.
Agar dapat mengikuti ritme pembelajaran daring yang berbeda sama sekali dengan pembelajaran tatap muka, mahasiswa PLB itu lekas berbenah mengatasi rintangan yang ada. Untuk rintangan yang pertama, ia mulai mempelajari beberapa aplikasi yang digunakan dalam pembelajaran daring. Secara cermat, mahasiswa asal Magelang itu, menyesuaikan dengan Google Meet, Zoom, Google Classroom, dan Google Form.
Setelah selesai perkuliahan, mahasiswa angkatan 2019 itu selalu mengeksplorasi aplikasi yang ada. Bagaimana caranya menghidupkan microphone, caranya menghidupkan kamera, dan caranya keluar ruang pembelajaran. Tentu ia tidak secara langsung berhadapan dengan aplikasi itu seperti mereka yang tidak tunanetra. Ia perlu berhubungan dengan aplikasi pembaca layar sebagai pihak perantara, yang memberitahukan apa saja yang terdapat di layar dengan suara. Dan dengan aplikasi pembaca layar itu, ia memberi perintah sesuai keperluannya.
Sebelum berhasil menguasai aplikasi-aplikasi itu, mahasiswa berusia 24 tahun ini punya anggapan bahwa beberapa aplikasi pembelajaran daring tidaklah ramah bagi disabilitas seperti dirinya. Tetapi, setelah ia meninjau aplikasi yang ada secara lebih mendalam, pandangannya perlahan berubah.
Sementara itu, dua rintangan terakhir hanya memerlukan komunikasi untuk mengatasinya. Komunikasi yang dimaksud adalah dengan dosen. Mahasiswa semester empat itu biasanya akan menegosiasikan urusan tugas yang visual, dan tugas yang disebutnya banyak itu.
Mahasiswa yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Keluarga Muslim Ilmu Pendidikan (KMIP) itu mencontohkan. Ketika ia mendapat tugas merangkum bab sebuah buku dengan ditulis tangan, ia akan langsung meminta negosiasi ke dosen. Ia meminta untuk mengerjakannya dengan diketik menggunakan voice – kemudian meminta bantuan seseorang untuk merapikannya. Atau, kalau mendapat tugas membuat grafik, ia hanya menjanjikan kepada dosen, hasil kerja yang seadanya, yang sedapat mungkin ia buat. Bila ia enggan melakukan negosiasi, ia akan meminta bantuan teman sekelasnya.
Jika Rifki mendapat rintangan ketika mendapat tugas membuat grafik, maka berbeda soalnya dengan mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra yang satu ini. Mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi itu menuturkan bahwa, dalam konteks teknik fotografi, ketika pembelajaran daring ia cuma mendengarkan penjelasan deskripsi dari dosen. Bagaimana caranya mendapatkan foto yang bagus, tekniknya begini-begitu. Padahal, terawang mahasiswa angkatan 2021 itu, bila pembelajaran dilakukan secara tatap muka, dirinya bisa saja berpraktik langsung dengan kamera.
Bayu Aji Firmansyah, begitulah nama lengkapnya, mengatakan, dosen-dosennya cukup memahami keterbatasannya. Ia mencontohkan, tatkala ada tugas fotografi yang harus praktik secara langsung, dirinya diberi alternatif lain seperti analisis foto atau membuat semacam esai.
Selain itu, tutur Bayu pada Rabu, 19 Mei 2021 via Whatsapp, tugas lain yang berhubungan dengan gambar atau apa pun yang diberikan dosen, biasanya khusus untuk dirinya akan diberi tugas lain yang lebih terakses. Bila masih kesulitan mengerjakan tugas, ia akan meminta bantuan orang tua atau kakaknya.
Rintangan yang kurang lebih sama juga dirasakan Taufik. Mahasiswa berusia 22 tahun itu menuturkan, ketika kuliah tatap, dosen menjelaskan dengan salindia (power point) dan dirinya akan meminta kepada teman di sebelahnya untuk membisiki isi materi yang ada. Sayangnya, begitu pembelajaran daring diterapkan, dan ia belajar dari kosan seorang diri, tidak ada lagi yang membantunya. Yang terjadinya selanjutnya, tergantung bagaimana dosen menerangkan. Jika penjelasan dosen tidak deskriptif dan mendetail, serta hanya sepotong-sepotong, ia biasanya akan kebingungan.
Selain itu, demi menunjang materi kuliah, terlebih ketika pembelajaran daring, Taufik secara terang membutuhkan buku-buku digital (e-book). Buku-buku yang tidak perlu dipinjam dari perpustakaan, dan dapat diunduh atau diakses dengan mudah melalui gawai. Perihal ini, Bayu juga ikut mengamini. Menurutnya, buku-buku digital akan memudahkannya dalam belajar.
Ide untuk mendigitalisasi buku-buku agar dapat diakses dengan mudah oleh penyandang disabilitas yang disampaikan Taufik dan Bayu ini, mirip dengan ide Rifki untuk diadakannya mesin scanner buku di perpustakaan kampus. Sebuah mesin yang mengubah buku cetak menjadi bentuk digital dengan cepat.
Untuk diketahui, tiga mahasiswa disabilitas tunanetra itu perlu buku dalam bentuk digital agar aplikasi pembaca layar di gawai dapat bekerja membacakan isinya buat mereka. Dengan cara itulah mereka menyerap informasi dan ilmu pengetahuan selama ini.
IV. Kisah Pelajar Yogya Penyandang Disabilitas
Kisah Rifki, Taufik, dan Bayu di atas, yang mampu mengatasi masalah ataupun rintangan yang dihadapi selama pembelajaran daring, menurun pada dua adik-adik mereka di jenjang SMA maupun SMP. Bahkan bisa dibilang, karena faktor jenjang pendidikan, dua pelajar ini tidak mengalami kendala apa pun. Hal ini disampaikan seorang pelajar perempuan penyandang disabilitas tunarungu jenjang SMP kelas 1 yang menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Bantul. Katanya dengan singkat dan tegas, tidak. Maksudnya, tidak ada perbedaan antara belajar tatap muka ke daring, dan tidak ada hambatan selama proses peralihannya.
Jawaban yang sama juga dilontarkan pelajar laki-laki bernama Wahyu Herdianto seorang penyandang disabilitas tunarungu ketika dihubungi via Whastapp pada Jumat, 14 Mei 2021. Usianya 22 tahun dan sedang menempuh pendidikan jenjang SMA kelas 1 di tempat yang sama dengan si pelajar perempuan. Pelajar yang, menurut salah seorang temannya hobi bermain sepak bola ini mengatakan, tidak ada perbedaan dalam belajar dari tatap muka ke daring. Bahkan ia menegaskan, kalau ia tetap semangat dan terus belajar. Sayangnya, tatkala mencoba menelisik jauh, pesan dari kami tidak dijawab.
Berbeda dengan Wahyu, si pelajar perempuan menanggapi pertanyaan yang kami ajukan, kendati membutuhkan waktu yang lama untuk menjawabnya. Berikut kisah yang dituturkannya.
Namanya begitu indah, bahkan jarang dipakai oleh orang tua-orang tua Indonesia yang menamai anaknya. Terdengar seperti nama orang asing, nama lengkap perempuan itu adalah Lidya Khatryka Orysativa.
Usianya 14 tahun. Meski begitu, Tifa – nama panggilannya, ia sudah dapat mengaktualisasikan dirinya dengan menekuni hobi seperti memasak, make up, dan berenang. Pelajar yang pernah megenyam pendidikan di SLB Karnnamanohara itu tidak ambil pusing dengan keterbatasannya.
Perihal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Rendy, bahwa tidak ada patokan usia seseorang berdamai dengan dirinya sendiri, karena terjadinya “kebutuhan khusus” setiap orang berbeda-beda. Lebih lanjut ia menembahkan, orang yang sudah berdamai dengan diri sendiri menunjukan ciri-ciri percaya diri dan aktif, serta auranya lebih posotif karena bahagia.
Pendapat dosen yang mengajar Mata Kuliah Pendidikan Inklusi itu selaras dengan perangai yang ditunjukkan Tifa. Dengan percaya diri Tifa mengatakan, tahun ajaran baru 2021/2022, dirinya akan pindah ke sekolah SMP Negeri 2 Sewon, Bantul. Ia mengikuti jejak teman-temannya yang melanjutkan pendidikan di sekolah itu.
V. Kisah Waktu Kecil
Di permukaan yang hanya dilihat orang-orang sebagai sesuatu yang baik-baik saja, di baliknya menyimpan timbunan perjalanan panjang yang tak terbantahkan. Begitulah kiranya, gambaran yang dapat menjelaskan sedikit alur kehidupan Tifa saat sekolah dasar (SD). Sebagai seorang tunarungu yang baru bisa mendengar saat mengenakan alat bantu mendengar (ABM), ia kurang akrab dengan suara-suara di sekitarnya. Akibatnya, pelajar yang pernah juara menulis cerita tingkat sekolah itu mengalami dua hambatan. Pertama, ia kurang lancar dalam bertutur kata, dan kedua, ia kadang tidak menangkap materi dari guru.
Untuk mengatasi hambatan yang pertama, ia berusaha sampai kemudian menampakkan hasil ketika kelas 2 SD. Setelah itu ia mulai terbiasa dan sekarang sudah lancar dalam berkata-kata. Meskipun, dengan agak malu-malu, ia mengakui suaranya jelak dan kadang terdengar kurang jelas.
Hambatan kedua terjadi saat Tifa menempuh pendidikan di SLB Karnnamanohara. Karena kesusahan mendengar suara dari guru, walau sudah menggunakan ABM, materi tidak dapat sepenuhnya ia terima. Hal itu terjadi sejak ia kelas 1 sampai kelas 4 jenjang SD.
Terlebih, menurut pengakuannya, guru-guru di SLB tempatnya bersekolah tidak suka dengan anak-anak yang memakai bahasa isyarat. Semua murid, katanya, harus berbicara dengan mulut. Padahal, waktu itu, semua murid yang ada sudah lancar berbicara secara normal, hanya ia yang belum dapat melakukannya dengan penuh.
Ihwal itulah yang kurang lebih menjadi alasan, mengapa ia pindah ke SLB Negeri 2 Bantul saat kelas 4 SD. Walaupun dalam pengakuannya, ia pindah karena jauh dari rumah dan tidak ada yang biasa antar jemput. Di sekolah barunya itu, ia bisa bercakap-cakap dengan teman-temannya secara bebas. Termasuk menggunakan bahasa isyarat. Meski terkadang, ia sediri kurang memahaminya.
Berbeda dengan Tifa, Taufik memiliki pengalaman yang agak lebih pahit di masa lalunya. Taufik menceritakan, dirinya pernah diledeki dan diteriaki, “Orang buta-orang buta,” oleh anak-anak di dekat rumahnya yang ada di kampung halaman. Ia juga menerima gangguan yang lebih kasar seperti dilempari kerikil saat dirinya tengah berjalan-jalan.
Nasib yang sama mirip juga dialami Rifki. Saat dihubungi via Whatsapp pada Senin, 17 Mei 2021, ia mengatakan, sewaktu SD dirinya pernah diejek dengan sebutan “picek”, “kero”, dan “buta”. Sebutan-sebutan yang ditunjukkan ketika awal-awal ia mulai kehilangan indera pengelihatannya.
Tidak berhenti hanya di situ saja, cemooh yang ia terima kadang berbentuk lain. Seperti ketika ia tengah berjalan, seseorang mencoba menganggunya dengan mengatakan, “awas ada lubang”. Padahal tidak ada sama sekali. Karena saat itu ia belum sepenuhnya tidak dapat melihat, ia cuek saja dengan perlakuan itu. Untunglah, perlakuan semacam itu tidak terus menerus ia terima dari lingkungannya. Setelah lulus SD dan berlaih ke jenjang SMP, lingkungan barunya cenderung lebih inklusif. Hal itu juga terjadi saat ia naik ke tingkatan SMA lalu perguruan tinggi.
VI. Kisah dari Si Kecil
Rintangan yang terjadi dengan Tifa, Taufik, dan Rifki bertahun-tahun yang lalu, saat ini tengah dihadapai oleh seorang bocah penyandang ganggan autis berusia lima tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Falhan Wijarnako. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya yang juga penyandang disabilitas. Ayahnya, Untung Supriadi, seorang penyandang disabilitas daksa – tidak mempunyai tangan kanan. Sementara ibunya, Irvana Nesti mengidap cerebal palsy – gangguan pada gerak dan postur – yang membuatnya harus bergerak dengan kursi roda atau dengan menggunakan kedua tangannya.
Siang itu, Selasa 11 Mei 2021 sekitar pukul dua siang, Falhan tengah bermain gawai sambil berlarian keluar masuk rumah. Tingkahnya yang seolah tidak jelas itu merupakan salah satu gejala dari gangguan autis yang diidapnya. Namun, beberapa saat sesudah kedatangan kami ke rumahnya – yang ada di Desa Sampangan, Banguntapan, Bantul – bocah itu menjadi anteng. Entah menghormati orang yang datang atau apa. Yang pasti, ia kemudian hanya tiduran di atas karpet tebal, di antara dua tamu dan kedua orang tuanya dengan tenang sambil menonton video kartun Upin & Ipin melalui Youtube.
Kegiatan Falhan bermain gawai itu merupakan dampak tak langsung dari pembelajaran daring di rumah selama pandemi. Alasannya, kata sang ibu – Nesti yang memfasilitasi gawai, agar anaknya tidak bosan dan menjadi tantrum (marah dengan amukan) setelah seharian, dari bangun tidur hingga siang belajar.
Bertindak sebagai juru bicara, ibu berusia 32 tahun itu mengisahkan bagaimana transformasi belajar si kecil ketika awal pandemi. Guna memberikan konteks, selain bersekolah di SLB II Giwangan, Falhan juga menjalani terapi autis. Ketika virus Corona merebak, sekolah ditutup dan pembelajaran dialihkan menjadi daring. Hal yang sama juga terjadi di tempat Falhan melakukan terapis. Dampaknya, terapi dibebankan kepada orang tua dalam bentuk tugas yang mesti dikerjakan si kecil. Secara otomatis, Falhan mau tidak mau harus mengerjakan tugas sekolah dan tugas dari terapis.
Meski diwajibkan untuk mengerjakan tugas sekolah dan terapi, Falhan tidak lantas mengerjakan semuanya begitu saja tanpa keluhan. Ia masih tebang pilih terhadap tugas yang ada. Mana yang ia suka, mana yang tidak. Mana yang dulu dikerjakan, mana yang tidak. Contohnya, ujar Nesti, Falhan belum terlalu suka menulis. Jika hal itu diletakan di sesi awal atau dikerjakan terlebih dahulu, responnya menjadi tidak happy. Atau jika dipaksakan, ia menjadi tantrum. Alhasil, belajar malah menjadi beban.
Dari perangai itu, Nesti yang mandampingi anaknya belajar di rumah, memilih menyodorkan apa yang buhan hatinya itu suka. Semisal, katanya, Falhan suka dengan kegiatan menempel-nempelkan kertas dengan lem. Itu pun, lem yang digunakan, haruslah lem dengan wadah pencet yang tidak membuat tangan menjadi kotor. Sebab, aku Nesti, ada ganggan sensoris pada tangan Falhan. Namun, bila hal itu dilakukan lebih dulu, Falhan menjadi happy dan kemudian dapat dilanjutkan dengan pembelajaran akademik.
Saat sesi pembelajaran akademik, tidak serta merta Falhan menjadi tenang. Ia masih harus “dibius” dengan camilan ataupun diiming-imingi hadiah terlebih dahulu. Baru sesudah itu ia menjadi semangat dalam belajar. Lebih lanjut Nesti menerangkan, tugas akademik yang dikerjakan si kecil antara lain menebalkan garis, mengarsir, dan mewarnai sebuah gambar.
Tugas-tugas itu mungkin terlihat mudah, tapi bagi Falham, hal itu lumayan susah dilakukan. Sebabnya, kata Nesti, fokus Falhan masih sangat rendah. Dampaknya – bagi bocah yang pada usia dua tahun didiagnosis mengalami keterlambatan perkembangan dan akhirnya divonis mengidap autis itu, ia kesulitan dalam belajar membaca.
Nesti mengatakan, jika teknis pengenalan membaca yang dilakukan sama dengan cara belajar orang normal, di mana caranya adalah menghafal huruf A-Z, maka Falhan akan membutuhkan waktu yang lama agar dapat menguasai. Oleh sebab itu, ia menggunakan teknik lain yang sesuai dengan kemampuan anaknya dalam belajar membaca. Caranya, Falhan – yang baru mengenal dua huruf “A” dan “B” itu, disuruh mengeja namanya sendiri, “F-A-L-H-A-N”. Itu pun, bukan cuma huruf yang tertera pada kertas. Supaya lebih paham, Falhan harus dipancing dengan menggantungkan foto dirinya di atas tulisan. Hal itu diperlukan karena cara belajar Falhan adalah dengan visual dan melakukannya secara terus menerus agar terekam dalam kepala.
Perihal yang terakhir itu, tidak semua anak autis memiliki cara belajar yang sama. Seorang guru bernama lengkap Ana Nur Anis, yang mengajar di SLB Autis Bina Anggita punya pengalaman tersendiri. Dihubungi via Whatsapp pada Jumat, 21 Mei 2001, guru berusia 51 tahun itu mengatakan, dalam mengajar anak autis, terutama soal hitung-hitungan atau matematika, harus dengan benda real agar si anak cepat memahami.
Tidak hanya cara belajar, gangguan perkembangan pada anak autis juga bermacam-macam. Bila Falhan mengalami kesulitan dalam membaca dan gangguan emosi, berbeda halnya dengan yang disampaikan seorang guru SLB Sekar Teratai 1 Srandakan.
Guru bernama lengkap Summi Hartanti itu di sekolahnya menangani anak autis, grahita berat, dan grahita ringan. Katanya pada kami via Whastapp pada Senin, 24 Mei 2021, anak autis yang diajarnya memiliki kecerdasan intelektual yang normal. Sehingga bisa menerima materi pembelajaran walaupun belum secara maksimal karena terkenala media pembelajaran daring yang digunakan. Meski demikian, guru berusia 24 tahun itu mengakui, ia menemukan kesulitan membentuk perilaku penyandang autis yang baik dengan cepat. Terlebih, hal itu diperparah dengan komunikasi yang terhambat akibat pandemi antara guru dan orang tua.
VII. Epilog: Bagian dari Ragam Masyarakat
Pada akhirnya, usaha-usaha yang dilakukan Summi untuk mendidik anak penyandang disabilitas adalah sebagai bekal masa depan. Ilmu pengetahuan, kemampuan berketerampilan, dan kemampuan sosialisasi yang diajarkannya itu harus berguna di masa depan. Ia berharap, pemerintah dapat memperhatikan masa depan anak penyandang disabilitas setelah lulus dari bangku sekolah. Dan, meskipun sekarang sudah banyak perusahaan atau industri yang dijalankan swasta menerima penyandang disabilitas, akan tetapi, menurutnya, banyak yang belum terwadahi dengan baik.
Hal yang sama diungkapkan Rifki. Katanya, semoga ada lowongan pekerjaan bagi semua disabilitas dan tidak ada diskriminasi di sana-sini. Lebih lanjut, secara jelas ia menunjuk pada penyandang disabilitas tunagrahita, atau dalam bahasanya difabel intelektual. Di mana para difabel intelektual itu, menurutnya, masih sangat susah dalam meraih pekerjaan.
Namun, sebelum keinginan di atas itu dikerjakan, pemerintah harusnya menata lebih dahulu infrastruktur pendidikan yang ada. Sebab, menurut Rifki, tidak semua penyandang disabilitas dapat mengenyam pendidikan.
Selaras dengan Rifki, Bayu secara spesifik berharap, semua kampus dapat menerima penyandang disabilitas dan untuk jurusannya diperbanyak. Sehingga para penyandang disabilitas memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan mereka yang normal.
Dua harapan di atas: pekerjaan dan pendidikan. Dua keinginan yang menandakan para penyandang disabiliitas memiliki suatu yang kurang lebih sama dengan mereka yang dianggap normal. Sebab, seperti kata Rifki, sejatinya penyandang disabilitas juga bagian dari masyarakat. Mereka bukan penghambat masyarakat atau seseorang yang lemah. Tutupnya, “Memiliki kekurangan, seperti yang dialami penyandang disabilitas adalah bagian dari ragam masyarakat yang diciptakan oleh Sang Pencipta.”
Farras Pradana
Reporter: Ahmad Effendi, Farras Pradana, Irfan Arfianto, dan Salma Nafia
Editor: Rachma Syifa Faiza Rachel