Kedua kakinya tidak berfungsi normal. Ia harus menggelesot, mengejar putranya yang berlari ke luar rumah, meninggalkan tugas sekolah yang belum terselesaikan. Sebisa mungkin, tangannya ia pakai untuk menarik tubuh dan kedua kakinya menyusuri lantai keramik berwarna putih itu.
Terkadang, jika sang anak sedang anteng, ia cukup duduk mendampinginya belajar seharian penuh. Namun, ada kalanya emosi anaknya tak stabil. Jika sudah demikian, buah hatinya itu akan mulai menangis, memeluk erat tubuhnya, atau berlari keluar rumah yang memaksanya tertatih mengejar.
Demikianlah kisah Irvana Nesti, 32 tahun, yang sudah setahun lebih menjalani rutinitas tersebut. Sejak pandemi Covid-19 bergejolak dan pemerintah menerapkan kebijakan belajar di rumah, ibu satu anak ini harus menjadi orang tua sekaligus guru bagi anaknya.
“Dulu di sekolah, saya hanya membantu mendampingi anak saya dalam urusan-urusan yang belum dia bisa, seperti melepas pempers buat buang air. Nah, sekarang saya juga harus mengajarinya ini-itu, menulis, menghafal, dan sebagainya,” ujarnya, kala ditemui Philosofis di rumahnya, di Desa Sampangan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, pada Selasa, 11 Mei 2021 lalu.
Nesti, panggilan akrabnya, menderita cerebral palsy atau gangguan pada gerak otot dan postur. Kondisi ini pula yang membuat kedua kakinya lumpuh, dan harus menggelesot atau memakai kursi roda untuk membantunya berjalan.
Sementara anaknya, Muhammad Falhan Wijarnako, adalah siswa penyandang gangguan autis. Bocah enam tahun ini bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) II Giwangan. Namun, semenjak sekolah ditutup akibat pandemi, Falhan harus menjalani rutinitas belajar di rumah.
“Autis kan berarti emosi anak naik turun. Kadang mau belajar, kadang tidak. Kalau dipaksa belajar, dia nanti malah menangis, berlarian kesana kemari. Kadang juga tantrum [kemarahan dengan amukan].”
Perempuan asal Pati, Jawa Tengah ini menceritakan, semenjak kebijakan belajar di rumah mulai diberlakukan, ia harus mendampingi anaknya belajar sepanjang waktu. Setiap harinya, atas arahan dari sekolah, Falhan wajib mendapatkan tiga sesi pelajaran: akademik, kognitif dan motorik.
Namun, menurut Nesti ketiga sesi itu sulit untuk diajarkan semua. Pasalnya, semua tergantung emosi sang anak. Ia mencontohkan, ada kalanya saat sesi belajar menulis, Falhan tidak mau mengerjakan. Untuk mengakalinya, terkadang ia harus menggunakan reward agar putranya mau mengerjakan tugas pada suatu sesi. Semisal, dengan diberi biskuit atau jajanan-jajanan yang ia suka ketika selesai mengerjakan tugas.
Emosi Falhan bukan satu-satunya kendala. Nesti mengaku, sesi tugas motorik adalah yang paling sulit. Hal ini mengingat keterbatasan fisiknya, yang tidak memungkinkan untuk mengajarkan tugas-tugas tertentu, utamanya untuk melatih motorik kasar (kaki) Falhan.
“Misalnya ada tugas untuk menendang bola. Kan saya tidak mungkin bisa mempraktikkannya. Jadi, ya, ini memang repot,” katanya yang diiringi dengan tawa.
Untuk tugas motorik kasar, beberapa kali Nesti dibantu suami, Untung Supriadi. Namun, suaminya yang juga seorang difabel daksa – tidak mempunyai tangan kanan – bekerja di kantor organisasi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel Indonesia (Sigab) sebagai office boy. Setiap pagi hingga sore ia ngantor, yang berarti tak bisa setiap hari menemani Nesti.
“Kalau ayahnya di rumah, kadang kita berbagi peran. Ketika latihan melempar bola, saya yang praktekin. Sementara pas latihan menendang bola, gantian ayahnya yang ngajarin Falhan,“ katanya diselingi tawa kecil.
Sebenarnya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerapkan program guru berkunjung ke rumah-rumah untuk mendampingi siswa yang kesulitan dalam proses pembelajaran sejak Agustus tahun lalu. Melalui program ini, sekolah-sekolah akan memetakan wilayah mana saja yang masih banyak terdapat siswa dengan kesulitan belajar. Kemudian, siswa-siswa ini akan dikumpulkan di Balai RW, untuk selanjutnya diajar oleh guru-guru yang diterjunkan oleh sekolah.
Terkait program tersebut, Summi Hartanti, guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Sekar Teratai I Srandakan, bercerita bahwa sebelum masa Pengetatan secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM) Jawa-Bali yang mulai bergulir awal tahun 2021, ia mengunjungi siswa seminggu sekali. Lebih jauh, perempuan 24 tahun ini menambahkan bahwa sekolah-sekolah juga membuka layanan konsultasi bagi orang tua yang mengalami masalah dalam pendampingan pembelajaran.
Hal ini juga ditegaskan Ana Nur Anis, 51 tahun, yang menyebut bahwa ada kunjungan guru ke rumah siswa setiap bulannya. Namun, guru SLB Autis Bina Anggita ini mengaku bahwa ia tidak melaksanakan program tersebut karena siswanya berada di luar wilayah Yogyakarta.
“Itu pun, program kunjungan guru juga harus seizin orang tua, mau dikunjungi apa tidak,” pungkasnya.
Meski program telah dicanangkan, berdasarkan cerita Nesti, Falhan sama sekali belum terakses program tersebut. Ia belum mengetahui alasannya apa. Karena sepengetahuan dia, teman-teman satu sekolah Falhan sudah ada yang merasakan program tersebut, meski baru sekali-dua kali saja.
Sementara untuk sekolah yang membuka layanan konsultasi bagi orang tua, Nesti juga mengetahui program tersebut. Bahkan, dirinya pernah berkonsultasi, meski itu baru sekali dan tidak ia lanjutkan.
“Sekolah kan jauh, memakan ongkos ojek online yang tidak sedikit. Setiap pagi suami kerja dan Falhan juga tidak bisa ditinggal. Ya, rasanya tidak mungkin kalau saya harus berkonsultasi secara rutin.”
Pada akhirnya, Nesti harus menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran anaknya secara mandiri. Kendati sudah dua kali dapat jatah kuota internet dari pemerintah, nyatanya itu masih ia rasakan jauh dari cukup.
Suryanto, Kepala Bidang Pendidikan Khusus Dikpora DIY kala ditemui di kantornya, Yogyakarta, Jumat (21/05). Philosofisonline.id/Farras Pradana. |
Upaya Meminimalisir Masalah
Cerita Irvana Nesti bukanlah kisah tunggal. Nyatanya, masih ada banyak orang tua dengan anak berkebutuhan khusus yang mengalami masalah serupa selama belajar di rumah. Dalam Asesmen Cepat Dampak Covid-19 terhadap Difabel oleh Jaringan DPO Respon Covid-19 Inklusif, menyatakan bahwa penyandang disabilitas merupakan kelompok yang paling terdampak dari pageblug ini.
Dwi Ariani, salah satu anggota Jaringan DPO Respon Covid-19 Inklusif, dalam keterangan tertulisnya menyatakan ada 80,9 persen dari total responden survei yang ia bikin tahun lalu mengalami berbagai kesulitan selama pandemi. Angka ini merupakan olah data yang ia dan kawan-kawan jaringan dapat dari total 1.683 responden di 32 provinsi dan 216 kota.
Dari pemetaan Ariani dan tim, lebih dari separuh atau tepatnya 67,97 persen responden itu adalah orang tua yang “mengalami kesulitan mengikuti pembelajaran menggunakan aplikasi dan metode belajar daring.” Hanya total 20 persen responden yang menyatakan bahwa pembelajaran daring mudah diikuti. Lebih spesifik, kesulitan ini paling banyak dialami oleh responden dari kalangan siswa berkebutuhan khusus.
Terkait kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa berkebutuhan khusus, Kepala Bidang Pendidikan Khusus Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY, Suryanto, menjelaskan sebenarnya dari pihak pemerintah sendiri telah mengupayakan beberapa hal untuk meminimalisir masalah-masalah tersebut.
Pertama, dalam hal kurikulum. Suryanto merujuk Surat Keputusan (SK) Mendikbud RI Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus, bahwa dalam hal ini pemerintah menekankan pada literasi terkait corona kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya difabel adalah kelompok yang lebih rentan terpapar virus, sehingga perlu adanya upaya pemahaman dengan cara khusus dan lebih intensif.
Masih merujuk SK tersebut, dengan adanya keleluasaan penyesuaian kurikulum, maka Dikpora lebih menekankan pada pembelajaran yang sifatnya life skill bagi siswa berkebutuhan khusus. Artinya, menurut Suryanto, pembelajaran yang sifatnya akademik bukan jadi prioritas utama. Namun, para siswa berkebutuhan khusus tersebut akan lebih ditekankan pada pembelajaran yang sifatnya fungsional.
“Misalnya, seperti menggoreng telur, merangkai bunga, dan sebagainya,” ujarnya, kala ditemui di kantornya, Jumat, 21 Mei 2021.
Kedua, terkait penyediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran daring. Menurut Suryanto, pemerintah telah menyediakan bantuan kuota internet dan bandwidth yang telah ditangani Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Sementara untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintah daerah juga telah membangun jalur optik di berbagai titik.
“Dengan begitu, tak ada satu pun wilayah di DIY yang tidak terakses internet,” paparnya.
Kendati demikian, ia mengaku bahwa masih banyak evaluasi dari program lain yang juga berhubungan dengan pembelajaran daring untuk siswa berkebutuhan khusus. Utamanya, terkait aspek pendampingan siswa berkebutuhan khusus selama belajar di rumah. Maka dari itu, pihaknya terus melakukan terobosan, seperti terus menggenjot bimbingan teknis (bintek) kepada guru dalam pembelajaran daring.
“Berdasarkan evaluasi kami, kapasitas pengajar, peran kepala sekolah dan orang tua, masih menjadi kendala utama dari program-program pemerintah. Ini karena pandemi kan datangnya tiba-tiba juga, jadi mereka kaget.”
Lantas, jika program-program yang dijalankan pemerintah belum efektif dan masih banyak mengalami evaluasi, bagaimana idealnya pembelajaran daring bagi siswa berkebutuhan khusus ini terlaksana
Rendy Roos Handoyo kala ditemui di Laboratorium Pendidikan Luar Biasa UNY, Yogyakarta, Rabu (19/05). Philosofisonline.id/Farras Pradana. |
Peran Krusial Orang Tua?
Menemukan konsep yang ideal terkait pembelajaran di rumah selama pandemi, utamanya bagi siswa berkebutuhan khusus, bukanlah perkara yang mudah. Dosen program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNY Rendy Roos Handoyo, mengakui hal ini. Menurutnya, pandemi yang datang secara tiba-tiba dan membuat berbagai pihak kelabakan, adalah faktor pendorong dari kesulitan ini.
Kata Rendy, sebenarnya sistem pendidikan di Indonesia telah memiliki kurikulum yang dikhususkan ketika terjadi bencana. Namun, dosen asal Yogyakarta ini juga menggarisbawahi, bahwa dalam konteks pandemi kurikulum yang ada tersebut tidak sesuai jika diterapkan.
“Alasannya selama pandemi ini kita dituntut untuk menjaga jarak dan tidak boleh saling bertemu. Keterbatasan ini yang membuat kurikulum yang telah ada sulit diterapkan,” ujar Rendy.
Kendati demikian, Rendy memaparkan bahwa idealnya dalam kondisi pandemi ini, kurikulum pendidikan utamanya bagi siswa berkebutuhan khusus harusnya bisa lebih fleksibel. Ia mencontohkan, bahwa kurikulum selama pandemi, misalnya, “dapat mencontoh konsep Tri Pusat Pendidikan-nya Ki Hadjar Dewantara.”
“Sesuai dengan pemikiran beliau, bahwa secara filosofis [Taman Siswa] mengajarkan belajar itu tidak harus di ruang kelas. Nah, mungkin ini bisa kita terapkan di masa pandemi. Artinya kita lebih fleksibel dalam kurikulum maupun materinya, dapat kontekstual dan fungsional,” paparnya, yang ditemui Philosofis di ruang Laboratorium PLB Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, Rabu, 19 Mei 2021.
Sementara itu, Koordinator Hola Gender, Equality, Disabillity, and Inclusivity (Gedsi) Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA), Sholih, berpendapat bahwa dalam konteks pembelajaran di rumah selama pandemi, orang tua memegang peran krusial. Baginya, hendaknya orang tua harus senantiasa mendampingi anak, mengetahui seluk-beluk pendidikan yang dijalani anak, serta memahami karakter dan kebutuhan anak selama belajar.
Memahami karakter, seperti yang dimaksud oleh pria 32 tahun ini adalah bagaimana orang tua paham terhadap kondisi emosional si anak selama belajar. Sementara dalam hal kebutuhan, imbuhnya, orang tua juga harus memahami apakah sang anak belajar secara visual, audio, atau praktikal, untuk selanjutnya menyediakan apa yang seharusnya dibutuhkan.
“Ini yang membuat orang tua harus beradaptasi ulang untuk memahami kebutuhan anak tadi, di tengah berbagai kesibukannya,” kata Sholih kala ditemui Philosofis di sekretariat SAPDA pada Jumat, 21 Mei 2021.
Kendati memegang peran krusial dalam hal pembelajaran daring, nyatanya masih banyak orang tua yang mengalami kesulitan dalam hal pendampingan belajar di rumah. Dari data yang disajikan Jaringan DPO Respon Covid-19 Inklusif dalam Asesmen Cepat Dampak Covid-19 terhadap Difabel saja, ada sekitar 67,97 persen orang tua yang kesulitan mendampingi pembelajaran menggunakan aplikasi dan metode belajar daring.
Dari data tersebut, ditemukan bahwa kesulitan-kesulitan tersebut terjadi karena beberapa alasan. Antara lain karena perlu adaptasi ulang, kondisi rumah yang kurang efektif, kesulitan sinyal dan biaya untuk menunjang kebutuhan, serta tidak adanya pendamping belajar karena berbagai alasan.
Temuan tersebut diafirmasi oleh Summi Hartanti, guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Sekar Teratai I, Srandakan, DIY. Melalui keterangan tertulis, ia merasa aspek komunikasi orang tua dengan murid jadi hambatan utama selama proses pembelajaran daring. Menurutnya, pandemi menuntut guru dan murid hanya dapat bertemu secara daring melalui perangkat atau aplikasi pembelajaran. Masalahnya, tidak semua orang tua sebagai pendamping siswa berkebutuhan khusus di rumah, dapat menggunakan aplikasi belajar online.
Dengan demikian, menurut Summi, ia beserta guru lain mau tidak mau harus mengenalkan dan mengajarkan ulang cara menggunakan aplikasi belajar online tersebut.
“Tapi tentunya, ini membutuhkan waktu yang tidak singkat,” jelas perempuan 24 tahun itu, kala dihubungi Philosofis, pada Senin, 21 Mei 2021 pagi.
Sholih kala ditemui di sekretariat Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak, Yogyakarta, Jumat (21/05). Philosofisonline.id/Farras Pradana. |
Sebuah Harapan
Pandemi belum juga berakhir. Sekolah-sekolah masih mempertahankan metode belajar dari rumah. Dengan kondisi serba sulit yang masih ia alami, Irvana Nesti berharap akan adanya solusi yang dapat mengentaskan masalahnya, serta orang tua lain dengan nasib serupa.
Ia menginginkan akan dibentuknya komunitas-komunitas belajar kecil di berbagai wilayah, yang mampu memfasilitasi segala kebutuhan dan kepentingan siswa berkebutuhan khusus seperti anaknya. Misalnya, ia mencontohkan, dalam komunitas tersebut terdapat psikolog atau pengajar yang benar-benar mengerti terkait hal-hal yang dibutuhkan selama pembelajaran di rumah.
“Kalau hanya orang tua yang tidak paham metode pendampingan selama belajar di rumah, nanti malah rawan,” tutur Nesti. “Karena untuk ABK bukan hanya perkara mendidik akademiknya, tapi juga sosialisasi, kemandirian, dan bagaimana menjaga diri,” ia mengimbuhkan.
Aspek pendampingan memang menjadi masalah yang serius selama pembelajaran di rumah. Terkhusus, dalam kasus Nesti dan suaminya yang berada dalam kondisi di mana mereka sebagai orang tua penyandang disabilitas bagi anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ia memiliki beban ganda selama pembelajaran daring.
Bahkan, kondisi Nesti ini dipandang oleh Koordinator Hola Gedsi SAPDA, Sholih, ibarat “buah simalakama.” Ia berpendapat, harapan Nesti tentang dibentuknya komunitas belajar kecil punya dua sisi. Ketika program itu dijalankan, ada kekhawatiran tentang potensi munculnya kasus baru infeksi virus corona. Terlebih, jika orang yang menjadi pendamping atau pendidik didatangkan dari luar wilayah. Namun, di sisi lain, jika apa yang diharapkan Nesti tak dilakukan, orang tua akan semakin terbebani dengan kondisi ini.
“Maka dari itu, perlu adanya duduk bersama antara pihak Dinas Pendidikan, pemerintah desa, dan orang tua untuk menemukan solusi bersama, bagaimana membangun ruang belajar yang efektif di wilayah tersebut bagi anak berkebutuhan khusus,” ujar Sholih.
Ia menggarisbawahi, dirinya lebih mendukung gagasan tentang ruang belajar bersama melalui komunitas kecil. Meski, katanya, pihak-pihak yang terlibat tetap harus mengutamakan protokol kesehatan untuk meminimalisir potensi penyebaran virus corona.
Lebih jauh, Sholih menambahkan, dengan “membaiknya” kondisi pandemi, seperti sudah mulai dilakukan vaksinasi untuk mencegah penyebaran virus di beberapa wilayah di Yogyakarta, maka ide-ide seperti yang diharapkan Nesti harus bisa dieksplorasi lagi.
Dalam pandangannya, ada dua hal yang menjadi dampak positif jika ide-ide tersebut mulai dipraktikan. Pertama, beban orang tua selama pembelajaran daring akan sedikit berkurang, karena mereka setidaknya dapat berbagi keluh-kesah dengan orang tua lain. Kedua, ruang belajar yang diisi oleh siswa-siswa berkebutuhan khusus dari berbagai latar belakang ekonomi maupun kebutuhan, dapat menciptakan ruang yang inklusif bagi mereka.
“Ide-ide seperti ini harus lebih bisa dieksplorasi lagi,” kata Sholih. “Tapi, penerapan protokal kesehatan tidak boleh ditawar,” pungkasnya tegas.
==========
Tulisan ini merupakan juara 2 Indepth Reporting yang diselenggarakan LPM Ekspresi.
Ahmad Effendi
Reporter: Ahmad Efendi Yunianto, Farras Pradana, Irfan Arfianto, dan Salma Nafia
Editor: Farras Pradana