XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Jerih Payah Berbuah Tuah

 

 Tampak depan buku "Anak-anak Pangaro" (Foto: Dok. Pribadi Fatimah Nabila A)



Judul: “Anak-anak Pangaro”

Penulis: Nun Urnoto El Banbary

Penerbit: Metamind

Tahun: 2015

Tebal: x+309 halaman

ISBN:  978-602-72097-5-6


Novel ini mendapat posisi Juara Harapan pada Lomba Novel “Seberapa Indonesiakah Dirimu?”. Mengisahkan tentang refleksi kehidupan masyarakat Indonesia pada suatu wilayah. Novel ini berlatar di Pulau Raja, Madura. Nun Urnoto El Banbary, sang penulis, mengajak pembaca mengarungi perjalanan Ummi Salamah bersama teman-teman OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) di sekolahnya. Perjalanan yang jarang ditempuh anak-anak sekolah. Tekad kuat agar bermanfaat bagi lingkungan, terekam jelas dalam perjalanan Ummi dan teman-teman OSIS-nya.


Kisah ini bermula dari harmonisnya kehidupan di Pulau Raja. Keindahan alam, kehidupan penduduknya yang damai, kebudayaan yang terus lestari, serta ketaatan dalam beribadah. Pada suatu hari, Pulau Raja berubah menjadi tempat yang gersang. Kehidupan masyarakat menjadi melarat, sumber air bersih menjadi sukar, dan budaya telah menenggelamkan manusia pada jalan yang sesat. Murka Tuhan pun datang, akibat masyarakat yangt semakin jauh dari agama.


Akhirnya, banyak  penduduk yang pergi meninggalkan pulau untuk melanjutkan hidupnya. Salah satunya, Ummi beserta ibu dan kedua adiknya. Meskipun bertahun-tahun lamanya berpisah dengan tanah kelahiran, Ummi tetap berkabar dengan temannya di pulau. Mengenaskan, keindahan pulau telah hilang akibat kemaksiatan yang dilakukan penduduknya. Alam semakin ringkih dibuatnya.


Kehidupan seni dan budaya perlahan mulai memudar. Pada akhirnya, benar-benar hilang karena penduduk yang masih bertahan lebih memikirkan hidupnya. Ummi, sang tokoh utama, merasakan kekhawatiran dan keresahan akan kehidupan penduduk di pulau itu. Sebagai seorang remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan, membuat Ummi tersadar, bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kampung halamannya.


Beruntungnya ia bertemu teman yang bertekad serupa, teman yang memiliki kepedulian tinggi pada pulau dan nasib para penduduknya. Ada pula gurunya yang mendukung gagasan mengenai pulau tersebut. Teman-teman OSIS juga siap membantu. Kepedulian mereka mulai tumbuh, akhirnya seluruh anggota OSIS turut berpartisipasi dalam membangun keadaan pulau seperti semula. Perjuangan berat ini membawa mereka pada permasalahan yang cukup pelik, bahkan nyawa mereka menjadi taruhannya.


Penulis berusaha membawa pembaca masuk ke dalam cerita melalui penuturan yang tidak biasa. Seperti yang terdapat di halaman 25, “Aku menarik separuh udara ke ruang-ruang pengap di bongkahan dadaku.” Pesan tersirat dalam novel ini, mengajak kita, terutama anak-anak muda penerus bangsa untuk lebih mencintai Indonesia. “Jauh sebelum kamu menghabiskan buku-buku itu, aku sudah lebih dulu memikirkan pulau dan bermaksud menolong tanah kelahiran yang sekarat. Siapa lagi yang akan peduli kalau bukan kita yang masih muda ini?” (halaman 70).


Anak-anak muda dibawa untuk melakukan perubahan. Bukan sekadar lewat lisan atau tulisan, melainkan dengan pembuktian dan langkah nyata. Langkah yang dapat dimulai dengan kepeduli terhadap lingkungan terdekat. Layaknya buah karya manusia, tentu terselip kekurangan yang terlapis kelebihan. Jika pembaca jeli, ada beberapa kesalahan yang mungkin tidak disadari si penulis. “Kami, 28 orang, dibonceng satu per satu dengan sepeda onthel yang sudah dipersiapkan. (halaman 125). “Kami, sejumlah 29 orang, berjajar rapi di atas panggung.” (halaman 303). Terdapat perbedaan jumlah yang disebutkan oleh penulis dalam novel ini.


Selain itu, pada kalimat, “Anak kecil itu hanya menggeleng, dan Untung hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.” (halaman 185). Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu point of view Ummi. Terasa aneh jika Ummi dapat mengetahui sampai sedetail itu. Pendeskripsian kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, juga digambarkan dengan baik. “Kututurkan bahwa di pulau hanya ada satu televisi tak berwarna milik Pak Haji Pagi. Radio butut hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Sedangkan, komputer hanya terdengar namanya saja. Handphone, hanya segelintir orang saja yang punya. (halaman 11). Pada beberapa adegan, diterangkan adanya percakapan melalui ponsel. Logikanya, apakah signal di pulau cukup baik, sehingga dapat menghubungi seseorang melalui ponsel?


Keanehan lain adalah ketika tokoh yang bernama Untung, mendapat telepon dari temannya yang bernama Rahayu. Tidak berselang lama, ada telepon dari Zainal di ponsel Untung. Mungkinkah satu nomor dapat menerima panggilan ketika nomor tersebut sedang tersambung dengan panggilan lain? Sementara itu, ketika menerima panggilan kedua masih dapat tersambung dengan panggilan yang pertama.


Novel ini juga diselipkan kisah lain yang  membumbui kisah utama. Kisah selipan yang seakan hanya angin lalu dan tidak adanya kejelasan selanjutnya. Hal ini, membuat pembaca merasa adanya cacat pada kisah ini. Gaya penulisan sedikit membosankan, alur tidak begitu mulus, dan beberapa kekeliruan lainnya. Terlepas dari itu, novel ini mengandung pesan yang amat penting. Khususnya bagi  pembaca, yakni anak-anak muda Indonesia.


Menilik kata yang tidak jarang tertulis di novel, pangaro, memiliki arti keberuntungan seperti yang telah dijelaskan penulis. Keberuntungan yang bukan sekadar keberuntungan dari Tuhan yang diturunkan kepada seseorang. Melainkan keberuntungan yang berasal dari pengorbanan, usaha, kerja keras, do’a, serta harapan yang ditanam dalam diri anak-anak yang peduli pada lingkungannya. Anak-anak yang memiliki perhatian khusus pada lingkungan sekitar, membawa mereka pada sebuah jalan mulus menuju masa depan kelak.




Fatimah Nabila Azzahro

Editor: Diah Eka A

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar