XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tim Media Center: Sang Pengendali Kebenaran PKKMB

Illustrasi: Jagad Tegar

Gedung-gedung akademik itu tampak sepi, seperti halnya kehidupan biasa pada masa pandemi. Akses masuk dibatasi, dengan sedikit orang yang lalu lalang, tanpa boleh membuat kerumunan.

Namun, siapa sangka, pada Kamis, 26 Agustus 2021, beberapa ruang masing-masing fakultas tengah melangsungkan acara tahunan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) di UNY. Hanya satu dari tujuh fakultas, yakni FBS (Fakultas Budaya dan Seni) yang melawatkan PKKMB keesokan harinya, Jumat, 27 Agustus 2021.

Sama halnya tahun lalu, PKKMB periode ini masih diselenggarakan secara virtual sehingga tak ada perubahan signifikan. Kedua kalinya, penyambutan mahasiswa dipertemukan lewat ruang maya. Alhasil, gedung-gedung ini cuma dipakai sebagai penopang ospek saja. Sisanya, situasi tetap nampak sepi akibat pembatasan ketat, dengan satpam yang mencegat pintu gerbang.

Kendati sepi, dan kegaduhan hanya dirasakan di ruang maya, kerja-kerja kepanitian layaknya “acara akbar sungguhan” tetap dirasakan sebagian mahasiswa. Salah satunya dirasakan oleh Tim advokasi dan media center, yang di dalamnya turut andil menggarap jalannya kegiatan.

Namun, pertanyaan klise dan jamak, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya tetap muncul: “Sebenarnya apa maksud dan tujuan dibentuknya kedua tim, yang selalu hadir dalam aktivitas pengenalan mahasiswa baru tersebut?”

Perlu diakui, kata “advokasi” tak begitu asing di telinga kita, terutama terkait tugas dan fungsi pembelaan pada ranah penegakan aturan. Ya, itu yang menjadi fungsi dibentuknya tim advokasi pada setiap PKKMB fakultas di UNY. Dalam Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta 2021. Dijelaskan bahwa, ‘‘Tim Advokasi berperan memantau dan mendampingi setiap perkara yang berkaitan dengan kegiatan PKKMB FIS UNY’’.

Akan tetapi, selain tim advokasi, ada juga yang disebut “media center”. Bagaikan pasangan kekasih, kedua lembaga itu seringkali muncul nan bersandingan pada pengelolaan PKKMB.  

Seraya mengerutkan dahi—sebagai awam—timbul pertanyaan besar , “apa sesungguhnya fungsi dan tugas media center?”

Jika dirujuk pada fungsinya, media center dibentuk menjadi salah satu mitra diseminasi (penyebaran) informasi publik, dengan tujuan meningkatkan pelayanan informasi untuk memenuhi hak masyarakat dalam mendapatkannya secara mudah dan cepat (Andriariza, 2016).

Gilang Jiwana Adikara, saat dihubungi Philosofis melalui via Whatsapp (26/08/2021), bahwa pada Public Relation (Kehumasan), relasi dengan media massa itu penting, karena “media massa jadi saluran untuk menyampaikan informasi organisasi”, katanya.

Dosen Ilmu Komunikasi tersebut juga menambahkan, media center itu pada dasarnya upaya memfasilitasi media massa untuk kebutuhan poin yang disebutkan di atas tersebut (informasi publik).

Sejalan dengan itu, Ketua Tim Media PKKMB FBS UNY 2021, Akmal Al Baihaqi, saat ditemui Philosofis (26/08/2021) menuturkan, ‘‘fungsi media center menjembatani antara instansi luar dengan Panitia PKKMB Fakultas, termasuk juga penyebarluasan segala produk UKM atau Ormawa, terlebih produk media yang masuk pada rangkaian kegiatan PKKMB Fakultas’’.

Dari sini, sekali lagi sebagai awam, kita mulai menangkap bahwa fungsi dan tugas media center UNY adalah sebagai jembatan antara pihak dalam (tim panitia PKKMB) dengan pihak luar (media massa atau pers)

 

Rancangan yang Sarat Penyensoran

Meski berdiri sebagai jembatan, sayangnya tak dipungkiri bahwa sebagian media center PKKMB terkadang justru berperan di luar fungsi diseminasi tersebut. Pengatasnamaan “menjaga nama baik PKKMB maupun Fakultas, melindungi Maba (Mahasiswa Baru), pengawasan media” menjadi dalih pembenaran mengendalikan informasi dengan mencoba membuat regulasi yang sering mengekang kerja-kerja kejurnalistikan. Bukan hanya itu, alih-alih mendistribusikan, justru ada upaya pemfilteran (sensor) terhadap informasi.

Cara tersebut terlihat pada draft turunan yang diajukan oleh Tim media center PKKMB pada beberapa fakultas. Aturan awal sebelum disahkan, pada Tata Cara Peliputan Kegiatan PKKMB FE UNY 2021 oleh Pers, misalnya, poin nomor 8 berbunyi ‘‘Setiap LPM dapat mengirimkan maksimal 3 orang perwakilan dengan jumlah narasumber maksimal 3 orang dalam satu kali peliputan’’. Selain itu, hasil wawancara juga harus disetor kepada media center. Demikianlah hal itu yang pertamakali dituntut oleh pihak media center PKKMB FE UNY, sebelum akhirnya digugat oleh beberapa media.

Selain draft regulasi yang disodorkan satuan kerja media center FE, rancangan peraturan yang memunggungi nilai-nilai demokrasi juga ditemukan Philosofis di PKKMB FMIPA. Di dalamnya menyebut, pers harus menyerahkan gambaran umum peliputan (maksimal H-4 PKKMB FMIPA UNY 2021). Gambaran umum itu meliputi jumlah narasumber, sistem, hingga topik liputan. 

Padahal, persoalan tersebut berkebalikan dengan fungsi diseminasi yang menjadi peran media center. Cara itu, justru mempertontonkan upaya penyensoran terhadap warta yang nantinya diterbitkan oleh lembaga pers.  

Kemerdekaan pers, dalam hal ini, jelas menjadi hak asasi warga negara yang dilegalkan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 2 dijelaskan bahwa ‘‘Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran’’. Penentuan narasumber, penyetoran hasil wawancara hingga pembatasan akses masuk tentu bertentangan dengan regulasi yang mengatur kerja wartawan tersebut.

Padahal UU Pers adalah anak kandung dari cita-cita reformasi. Yakni perlindungan terhadap semangat kebebasan Pers! Setidaknya dalam UU tersebut terdapat pasal yang mengatur konsekuensi apabila ada pihak yang menghambat kerja wartawan. Tak tanggung-tanggung, siapapun itu bisa terjerat penjara dua tahun atau puncaknya maksimal denda sampai dengan 500jt.

Ini tentu berkelindan dengan kata kata Gilang Jiwana Adikara—yang juga pernah menjadi jurnalis di media Harian Jogja—bahwa “Sensor itu dilakukan sebelum terbit, kalau sudah terbit, sih, cuma laporan (berita).” 

Sebenarnya, secara tupoksi, media center memang punya hak membuat regulasi untuk kegiatannya tersebut. Gilang Jiwana menyebutkan, bahwa media center ibarat tuan rumah, sedangkan wartawan berperan sebagai undangannya.

“Jadi kalau ada aturan yang ditetapkan, ya boleh-boleh saja,” ujarnya.

Tentu, dengan catatan, peraturan tersebut tidak boleh merontokkan hak orang lain, termasuk kebebasan pers.  Melakukan pengekangan sama saja media center bekerja di luar tupoksinya. Apa lagi dengan cara mengendalikan kebenaran—percobaan menyesuaikan aktualitas berita yang dihasilkan lembaga pers agar sesuai kehendak mereka.

Setiap pengurus memang menginginkan nama instansinya selalu baik di mata publik. Akan tetapi, label bagus ini tidak didapatkan dengan mengendalikan kebenaran. Jikalau memang fakta, bukan berarti perkara tersebut tidak boleh diberitakan, termasuk disebarluaskan.

Penjagaan nama baik instansi seharusnya diusahakan dengan bekerja yang baik dan maksimal, sesuai tugas maupun tanggungjawabnya. Jika benar-benar tidak ada kerja yang buruk dan persoalan negatif, tentu cap baik akan diterima oleh organisasi tercantum juga pengurusnya.

 

Pekerjaan Rumah Bersama: Perbaikan Demokrasi di Ruang Akademis

Kendati sarat sensor, tak berarti media center sepenuhnya menjadi biang keladi problematika yang memunggungi nilai-nilai demokrasi itu. Draft peraturan warisan yang selalu menjadi acuan dalam pembahasan, memberikan pertanyaan besar atas diskusi antara media center PKKMB dengan Lembaga Pers, yang selalu hadir tiap tahunnya.

Pada tahun ini, peraturan tentang media PKKMB Fakultas juga masih meng-goal-kan poin yang sarat akan pemfilteran. Salah satunya pada Peraturan Peliputan Pers PKKMB FMIPA UNY 2021 poin nomor 2 yang berbunyi, ‘‘Wawancara kepada panitia dan mahasiswa baru dilakukan sesuai peraturan tim media center, yaitu narasumber dipilih tim media center sesuai kriteria LPM…’’.

Selain itu, penyetoran gambaran sistem dan topik sebelum peliputan serta jumlah narasumber, masih langgeng dalam perhelatan PKKMB FMIPA 2021. Hanya saja, aturannya berubah dari maksimal empat hari menjadi enam jam sebelum kegiatan tersebut.

Padahal, regulasi tersebut sudah sahih dengan adanya Surat Perjanjian Kerjasama antara masing-masing Lembaga Pers dengan Tim Media Center PKKMB FMIPA 2021. Pada titik ini, lembaga pers juga masih melegalkan persoalan tersebut dengan bersedia bertandatangan di atas materai. Padahal, aturan yang ditandatangani masih memuat poin yang bertentangan dengan kebebasan pers.

Problematika regulasi peliputan ini, bukan hanya urusan kebebasan pers semata. Namun, pembahasan ini berkaitan juga dengan nilai-nilai demokrasi, yang seharusnya dijunjung secara adiluhung.

Inilah kebobrokan rumah yang harus direnovasi oleh seluruh elemen dalam perguruan tinggi. Terlebih, ketika aktivisme mahasiswa dikenal sering melawan kepemimpinan yang mengekang, celakanya praktek ini masih dilanggengkan dalam ruang kehidupan kampus. Metode yang memfilter informasi, bagaikan tuhan yang mengendalikan kebenaran. Tentu Pak Harto bangga dengan kalian semua.

 

Amirudein Al Hibbi

Editor: Ahmad Effendi dan Rachmad Ganta

*Penulis adalah Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Philosofis UNY 


 

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar