XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Kenangan Manis Itu Bernama Wartel

Plang Wartel yang masih tertancap di sudut-sudut Karangmalang

Dewasa ini tak sedikit generasi muda yang kian asing, kala mendengar istilah “Wartel” (Warung Telekomunikasi). Tentu ini wajar, mengingat eksistensi Wartel telah digeser oleh perangkat komunikasi yang lebih ringkas dan lengkap.

Dahulu, umumnya di tiap gerai Wartel tersedia bilik-bilik kecil yang kedap suara. Bilik inilah yang digunakan oleh para pengguna Wartel untuk menghubungi orang yang dituju. Bila kita kembali pada akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an, layanan ini pernah menjadi jasa komunikasi yang cukup populer pada masanya. Model bisnis ini menjamur di pelbagai pelosok dan menjadi usaha yang amat menguntungkan.

Salah satu alasan yang mendongkrak popularitas Wartel ialah karena tidak semua orang sanggup memasang telepon rumah, terlebih berkenaan dengan masalah biaya. Alasan ini diafirmasi oleh Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sekaligus seorang pengguna Wartel pada tahun 2000-an. Menurut penjelasannya, dahulu hanya beberapa rumah saja yang memiliki telepon rumah.

Demikianlah ragam alasan yang berbeda juga menjadi dalil penggunaan layanan jasa ini. Mulai dari mahasiswa yang meminta kiriman uang saku atau hanya sekadar melepas rasa rindu di sela-sela perantauan. Tak hanya mahasiswa, para pekerja kantoran juga didorong untuk berkomunikasi secara real time dan tentu saja Wartel adalah solusinya, mengingat beberapa profesi mengharuskan berkomunikasi secara langsung.

Tak sampai situ, Wartel juga menjadi penghubung mereka yang sedang PDKT (pendekatan) dengan pasangannya. Bahkan bagi beberapa orang, intensitas menelpon merupakan tolak ukur bagi sebuah komitmen atas hubungan yang serius

Selain mahasiswa dan pekerja kantoran, masyarakat umum dan dosen juga menggunakan Wartel sebagai alat komunikasi selain surat. Demikianlah saat memasuki tahun 2000-an, ketika lambat laun mulai banyak rumah yang memasang telepon kabel dan keberadaan handphone kian dikenal. Pun eksistensi Wartel belum sepenuhnya tergantikan. Hal ini karena hanya sebagian kecil orang yang memiliki telepon genggam—ditambah biaya pulsa yang tidak murah—menjadikan beberapa orang lebih memilih untuk tetap menggunakan Wartel.

Terlepas dari semua penawaran yang diberikan Wartel. Namun, pada akhirnya layanan ini masih memiliki beberapa catatan masalah yang dihadapi oleh para penggunanya. Hafida, seorang yang dahulu menggunakan jasa ini, mengatakan bahwa sistem dalam perangkat Wartel menggunakan layanan sewa. Sehingga biaya yang dibebankan oleh pengguna tergantung seberapa lama telepon itu digunakan. Di saat yang sama  pelajar seperti Hafida acap terkandala biaya yang terbilang mahal untuknya. Mengingat untuk ukuran mahasiswa perantau, mereka harus membagi uang secara efisien. Oleh karena itu, ia hanya menggunakan Wartel pada waktu-waktu tertentu, bila terdapat kepentingan khusus atau sesuatu yang mendesak.

Selain biaya yang mahal, masalah lain yang harus dihadapi pengguna Wartel adalah antrian yang amat panjang. Problem ini membuat para pengguna harus rela menunggu. Masalahnya, beberapa bisnis Wartel hanya memiliki satu atau dua bilik yang terbatas, sehingga para pengguna Wartel harus antre menanti giliran. Hal ini belum lagi diperparah dengan gangguan teknis seperti telepon rusak, listrik mati, ataupun billik telepon yang kurang nyaman kala dipakai berlama-lama.

Jika tidak ingin berlama-lama mengantri, beberapa pemakai jasa mengakali dengan menghafal jam-jam saat Wartel sedang padat. Rata-rata mereka yang tidak ingin mengantri akan datang ke Wartel di waktu-waktu yang sangat pagi, sekitar pukul 07.00 WIB.

Walaupun para pengguna harus mengantri berjam-jam demi mendapat giliran, tetapi pada akhirnya mereka tetap sabar menunggu. Demikianlah masalah-masalah tersebutlah meninggalkan kesan atau kenangan tersendiri bagi para pengguna Wartel. Terkadang momen inilah yang memperkenalkan para pengguna jasa ini untuk sekedar ngobrol dan berkenalan. 

Lebih jauh, Hafida menjelaskan bahwa keberadaan Wartel mulai tersingkirkan pada tahun 2012, saat mulai berkembangnya teknologi komunikasi yang lebih canggih. Sehingga sejak tahun 2012 pengguna Wartel kian menyusut tajam.

Selain itu, Philosofis juga sempat melakukan wawancara dengan mantan penjaga Wartel di Karangmalang, Titik namanya. Ia pernah bekerja di Wartel sekitar tahun 2000-2008. Dalam sebuah pembicaraan, ia mengatakan bahwa di tahun 2000-an, keberadaan Wartel memiliki kedudukan yang sangat penting. Terlebih karena penggunaan handphone masih jarang ditemukan. Eksistensi Wartel ini bertahan hingga tahun 2008 ketika orang-orang mulai beralih menggunakan ponsel dan pada periode selanjutnya Wartel pun mulai ditinggalkan.

Pada umumnya di Jogja, Wartel merebak di wilayah yang ramai, seperti permukiman, kawasan pertokoan, area perkantoran, kawasan kampus, dan sekolah. Hampir di setiap area tersebut terdapat Wartel, bahkan tak jarang amat berdekatan satu dengan lainnya.  Menariknya, di beberapa tempat, Wartel tidak hanya menyediakan telepon, tetapi juga mesin faksimile. Faksimile adalah sebuah mesin yang digunakan untuk mengirim dokumen jarak jauh, sebelum email populer.

Penyedia jasa Wartel menjadi peluang usaha yang menjanjikan pada saat itu. Bayangkan saja pengguna Wartel harus membayar 100 rupiah per menit untuk menggunakan fasilitas telepon ini.  Titik mengatakan 100 rupiah termasuk nominal yang cukup besar pada masanya, apa lagi biaya tersebut dihitung per menit. Maka tidak heran jika omzet dari usaha Wartel ini meraup keuntungan yang cukup besar. Titik sendiri sempat menjelaskan bahwa penghasilan dari bisnis ini bisa mencapai sekitar 1 juta rupiah per minggu.

Selaras dengan penjelasan Titik, Rohidin, yang juga seorang mantan pemilik Wartel menjelaskan hal senada. Meskipun hanya memiliki satu bilik Wartel saja, Rohidin bisa menghasilkan sekitar 6 juta rupiah dalam satu bulan. Demikianlah penjelasan Rohidin dan Titik setidaknya menjadi gambaran betapa model bisnis Wartel pada saat itu amat menjanjikan.

Pada akhirnya meski pernah mengalami masa keemasan dan keberadaannya menjadi sesuatu yang amat vital, nyatanya Wartel harus mengalami kemunduran akibat zaman. Titik mengatakan, sekitar tahun 2008, keberadaan Wartel mulai sulit ditemukan, hal itu disebabkan karena keberadaan telepon genggang yang mulai merebak di mana-mana.

Pendapatan bisnis Wartel pun perlahan-lahan menurun dan jika terus dilanjut maka para pemilik layanan ini akan mengalami kerugian. Mengingat mereka harus tetap membayar biaya listrik dan perawatan perangkat telepon. Maka dari itu, para pemilik Wartel satu demi satu, berduyun-duyun menutup usaha. Kini geliut Wartel tinggal kenangan. Tak jarang hanya terlihat plang Wartel yang kian luntur catnya. Meskipun begitu keberadaan Wartel pada masanya telah memberikan pengalaman manis bagi banyak orang.


Arum Kusumawati

Reporter: Arum Kusumawati, Ananda Poetri Habibah, Fara Afi Nur Afifah, Megi Suhartini, Rindi Aliatissolihah, Urfi Roska.

Editor:  Arina Maqshurotin Filkhiyam dan Yoga Hanindiya

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar