XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Puisi-Puisi Hisyam Billya Al-wajdi

Ilustrator : Erico Aby Pratama

 

Harapan Selembar Daun

Aku selembar daun terakhir di reranting ini

Setelah musim panas menjejali bumi, aku beningkan hati

Rahim suci yang melahirkanku telah lama mengering, barangkali badai yang esok bertandang kan mempercepat nyawanya tumbang

Aku selembar daun terakhir di reranting ini. Tak henti-henti angin menghajarku

Jutaan peluru hujan menikam-nikam. Aku pernah bermimpi menganyam serat dedaunan

Namun semua alpa. Bunga-bunga yang dulu ku asuh kini telah memadatkan ruhnya pada embun subuh. Tiap waktu ku tata detak jantungku. Agar kematian menyesuaikan irama degupnya.


Ruh yang Belum Ditiup Ke Tubuhmu

Aku masih sedia di sini, sampai fajar hari menyingsing. Kegelapan baru saja dinyalakan

Tak ada hanya menerka-nerka jemputan itu tiba. Saban malam ku lukis cahaya. Aku takkan rapuh sebelum merasuk ke tubuhmu. Sebagai intan permata. Banyak orang di luar sana membual, cinta ditafsirkan dengan tidak semestinya. Rasa kesal bermukim di sini, aku mengamati gerak-geriknya. Terkantung di luar jendela, rumah yang kelak milik kita

Ada nubuat dan firman yang sampai padaku, masih sama. Samar dan tak terjangkau. Ada keheningan yang di susupkan ke tubuhmu bikin aku cemburu, hendak ku beringsut mendekatimu tapi makin dekat denganmu makin lunglai aku

Waktu mengikis aku, waktu menjebakku, terkutuk kau waktu


Cempaka

Telah sampai aku gugur padamu kekasih, jutaan hari aku lalui mendongak ke matahari atau sekedar memandang lengkung pelangi selepas gerimis kecil yang menyalip bunga-bunga sekitar sini

Telah aku pegangkan kelopak juga sari-sari. Aku memimpikan Pantai Wonosari juga burung kuntul di pematang sawah yang menerjang ani-ani

Semburat matahari telah menawarkan padaku; udara harum serta perempuan-perempuan dengan dada ranum


Iradat: Karena

Buat Dwi Hartini

Karena aku mencintaimu; maka setiap senja ku lukis wajahmu di udara

Pelupukmu mengerjap seperti matahari, desah napas yang harum itu merangkai kebahagiaan dari satu pulau ke pulau lainnya mengitari dunia. Karena aku mencintaimu maka ku sisihkan kabut-kabut itu agar lembah dan tanah menumbuhkan bunga di atasnya, untukmu saja.

Karena aku mencintaimu, maka ku pandang wajahmu dengan cinta, meski hanya wajah yang terpantul dari telaga atau bunga mimpi semata

Di samping daun-daun kemuning yang tanggal, di pinggir telaga yang tenang arusnya. Ku sebut namamu dengan suara yang penuh rindu

Karena aku mencintaimu, manisku, dengan cuaca berwarna biru


Don Quixote, Sebuah Amsal

Kuda itu tak pernah lelah kau pacu, menembus sabana gersang dan guyuran matahari kerontang

Dan kuda itu terlepas dari dekapan, mengembara ke lain samudera, benua bahkan antariksa

Langit yang tiba-tiba kesumba, bentang alam terjelma seekor kuda meringkik dalam terpaan debu-debu, serta qolbu yang melebar seluas lembaraan awan. Bintik kecil yang tergencet. Dunia memang senantiasa menyuguhkan duka lara, resah gelisah. Bebauan kirmizi serta numinous yang suci. Aku melihatmu datang dari ujung Alabasta, gurun yang penuh rahasia.


Haiku: Bahang

Bahang hatiku, gersang, dan kering

Tiap jengkal tubuhku mencecap sunyi; tanpa ampun,

Dari mata-mataku memancar duka yang asing

Aku ingin mengenal salju dan telaga; aku ingin mengenal dedaunan dan persik matahari; aku ingin mengenal hujan dan huruf-huruf puisi


Hisyam Billya Al-wajdi

Editor :Rachma Syifa Faiza Rachel

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar