XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Bukan Pledoi HMIS: Tanggapan Untuk Suden

Ilustrasi: Galih Setiawan

Tulisan ini merupakan tanggapan penulis terhadap tulisan Suden yang terbit di Ekspresionline berjudul "HMIS Jual Pernyataan".

======

“Apakah keputusan mengeluarkan pelaku kekerasan seksual dari badan organisasi, dapat dibaca sebagai gagalnya organisasi dalam melakukan pemberdayaan terhadap anggotanya?”

Pertanyaan retoris Suden, yang ia tulis di laman Ekspresionline pada 9 Juni 2022 lalu, ibarat pertanyaan opsional dengan limitasi pilihan antara “Ya” atau “Tidak”. Jika boleh memilih, opsi kedua akan saya ketuk. Namun, fokus tulisan ini bukan untuk menanggapi pertanyaan dalam kalimat pembuka tersebut. Saya, bermaksud menjawab dua bola api menggantung, yang Suden lemparkan entah ke air atau tumpukan jerami.

Suden, dalam tulisannya, mempermasalahkan dua keputusan HMIS. Pertama, soal pengeluaran Surat Pernyataan, yang menurutnya hanya jadi alat HMIS untuk bersolek dan menutupi borok sesungguhnya. Kedua, pengeluaran secara tidak hormat pelaku kekerasan seksual (KS) dari himpunan. Meski secara eksplisit tidak memposisikan diri sepakat atau tidak pada keputusan ini, akan tetapi secara tidak langsung ia mengkritiknya. 

Harus diakui, membaca Surat Pernyataan yang dikeluarkan HMIS ibarat melihat naskah teks proklamasi Indonesia. Mereka sama-sama terlihat singkat, padat, dan seperti ditulis secara terburu-buru. Namun, saya meyakini Surat Pernyataan itu diketik dengan pertimbangan yang matang dan diskusi yang tak sebentar.

Teks tersebut, seperti kata Ellen Gorsevski, ibarat bahasa yang memiliki kekuatan untuk menyakiti, menghujat, mengstigma, dan mengutuk seseorang. Saya juga menduga ada pihak yang tersakiti, terhujat, dan terstigma, akibat surat sakti tersebut. Meskipun, saya juga tidak bisa menutup fakta bahwa hal ini lumrah (di UNY) dan masih perlu dikritik, langkah HMIS cukup bikin saya angkat topi.

 

Kampus Impoten, Mahasiswa Ejakulasi Dini

Apakah “menjual Surat Pernyataan”, seperti yang dituduhkan Suden ke HMIS, adalah salah? Jawabannya: “Tidak”. Namun, apakah tindakan itu akan membuat keadaan menjadi lebih baik? Jawabannya: “Tidak” juga.

Bukan berprasangka. Tidak pula menduga-duga tanpa landasan fakta. Namun, memang harus diakui, Surat Pernyataan yang dibikin HMIS bukan produk yang hadir dalam semalam. Surat tersebut, sebagai sebuah teks, lahir karena wacana yang mengiringinya. Ia lahir dari konsekuensi masuk akal antara nalar kendur dan nihilnya empati pemangku kebijakan di kampus ini. Pendeknya, ini akibat UNY yang mengalami impotensi pola pikir.

Saya tidak heran, sih. Ketika jauh di belahan bumi sana Chantal Mouffe meramalkan kebangkitan populisme di Eropa Barat, di UNY malah tidak pernah hilang. Penyakit-penyakit yang menjadi turunan populisme itu, menjamuri cara berpikir beliau-beliau pemangku kebijakan. Saya tidak bilang ini berarti UNY menuju ke arah spektrum sayap kanan atau sejenisnya. Hanya saja, pola pikir feodal—yang menyertai fasis, maskulin, dan seksis, serta beracun—jadi makanan sehari-hari mahasiswanya. Celakanya, cara pandang itu juga yang mereka pakai untuk merespons isu KS.

Lihat saja, ketika kampus tetangga telah mengundangkan regulasi progresif—yang bahkan bisa menghukum pelaku catcalling. UNY masih percaya bahwa mengatur pakaian perempuan, menaruh lampu di tempat-tempat gelap pojokan kampus, dan mempertemukan pelaku dengan penyintas, adalah langkah jitu menindak KS di kampus. Produksi wacana semacam ini tak cuma jadi bahan lelucon mahasiswa kritis yang diskusi di tongkrongan. Di sisi lain, hal ini  menunjukkan bahwa UNY memang impoten dalam merespon tindak KS.   

Alih-alih membicarakan isu KS dengan komprehensif, diskursus gender yang lebih kritis, dan seksualitas secara adil serta utuh, mereka (mahasiswa UNY) justru lebih suka mengobjektifikasi korban dengan kalimat dan tindakan yang tidak ramah. Bukanya mendapat rasa aman dan jaminan keadilan, justru penyintas menjadi korban untuk kedua kalinya.    

Sayangnya, pola pikir yang demikian tidak mereka makan sendiri. Produksi wacana beracun itu menular ke organisasi mahasiswa, himpunan, dan UKM di kampus. Tengok saja, berapa banyak korban KS di tempat-tempat tersebut yang berani melapor? Jangankan melapor, sekadar curhat saja sudah pasti bakal mendapat gosip miring, stigma negatif, atau victim blaming, yang tentu memperpanjang traumanya.

Kesimpulan saya, tidak perlu menyalahkan HMIS karena mereka—mengutip kata Suden—“menjual Surat Pernyataan”. Seandainya sejak awal isu KS ini dibicarakan secara utuh dan kritis, dengan melepaskan segala bentuk purbasangka (prasangka buruk) terhadap kelompok rentan, sudah pasti HMIS tak perlu repot-repot bikin surat ajaib itu. Serahkan saja semua urusan ke kampus, sementara mereka tinggal ongkang-ongkang di coffee shop dan menyedot kopi gula aren. Namun, seandainya tetaplah seandainya. Karena faktanya HMIS tidak diberi opsi yang lebih baik untuk penanganan tindak KS.

Sementara pemangku kebijakan mengalami impotensi cara berpikir, mahasiswanya malah ejakulasi dini. Ya, kawan-kawan tidak salah baca. Kata itu saya pilih karena term “Fomo” malah terdengar lebih elegan. Benar, kata itu saya pilih untuk mewakili kaum spall-spill, yang mengejar kepuasan pribadi, tanpa sama sekali mau memahami perasaan penyintas.

Tidak sulit menemuinya. Cukup simak percakapan di Twitter UNY Menfess ketika muncul postingan soal KS di UNY. Biasanya, mahasiswa ejakulasi dini ini punya pola yang konsisten: spill the tea, ramai, kerja intelijen mencari nama pelaku/korban, nama ditemukan, rujaki, selesai. Ya, mereka selesai bahkan ketika pangkal persoalan belum disentuh. Besok hari, mereka sudah melupakan. Lusa, ada satu-dua orang yang mencoba membahas kasus. Namun, netizen sudah tak berhasrat lagi membahasnya karena “urusan pribadi mereka” sudah rampung.

Lantas, apa yang mau diharapkan dari status quo mahasiswa yang demikian? Sekali lagi, “menjual Surat Pernyataan” sepertinya memang jadi opsi terbaik.  Mengharapkan para netizen ini untuk mau berdiskusi, fafifu wasweswos, atau sekadar membicarakan hak-hak korban adalah sia-sia. Adrenalin mereka hanya muncul dari rasa kepo, dan hormon dopamin mereka cuma terproduksi ketika nama pelaku sudah diketahui. Puas. Tidur pulas.

 

Mengeluarkan Pelaku adalah Tindakan Tepat

Selain menjual surat, HMIS juga mengeluarkan pelaku dari himpunan. Suden meninggalkan pertanyaan menggantung di sini, yang ia lemparkan ke publik. Dan sebagai publik, saya akan menjawab: tindakan tepat, dan harus ditiru oleh organisasi lain.

Saya tidak membenarkan himpunan sebagai sarang predator KS, bahkan saya mengutuknya. Namun, untuk tindakan HMIS mengeluarkan pelaku KS dari himpunan, bikin saya angkat topi, patut diapresiasi. Memang bukan kategori tindakan yang “istimewa”—mengingat hal ini harus dilakukan—tapi bisa dibilang cukup progresif untuk ukuran UNY yang mengalami masalah-masalah akut dalam merespons kasus KS, seperti yang saya singgung di atas.

Saya cukup heran, ketika Suden menganalogikan dicopotnya anggota HMIS dengan kasus seorang siswa yang terancam dikeluarkan dari sekolah untuk alasan “moral”. Menurut saya, analogi ini seperti membandingkan apel dan pisang. Dua-duanya memang bisa kita kunyah dan telan, tapi dari cara mengupasnya saja sudah beda. Tidak apple to apple.

Suden boleh saja mengatakan bahwa keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah untuk alasan moral merupakan hal yang tidak bisa diterima. Akan tetapi, menyebut bahwa keputusan HMIS mendepak anggotanya yang cabul sebagai keputusan tidak tepat adalah hal menyakitkan. Tidak hanya bagi saya, tapi para penyintas pasti merasakan hal yang sama.

Suden boleh saja mengklaim sistem pendidikan nan terlalu moralis, feodal, mentalitas Orba, atau demonisasi lain, sehingga membuat siswa dikeluarkan dengan alasan yang tidak bisa diterima. Namun, tetap saja itu tidak bisa menihilkan fakta bahwa alasan pengeluaran pelaku KS dari HMIS adalah masuk akal, penuh pertimbangan, dan progresif.

Ia (HMIS) saya katakan “masuk akal” mengingat KS adalah tindakan cabul sistemik dan berpola, yang mengakibatkan kerugian fisik dan psikis bagi korban. Ketika hukum positif mungkin tidak mengakomodasinya, cancel culture jadi budaya yang bisa diterima. Salah satu upayanya dengan membatasi/memboikot akses pelaku ke organisasi, untuk menghindari perilaku yang berulang, serta memastikan penyintas lepas dari trauma.

Ia saya katakan “penuh pertimbangan”, mengingat melepas individu dari sebuah kelompok—seperti kata Amy Chua—ibarat mereduksi ikatan solidaritas yang dibangun. Pertanyaan-pertanyaan seputar “apakah organisasi akan rapuh tanpa si pelaku?”, “apakah akan mempengaruhi kinerja anggota lain?”, atau “mungkinkah ada dendam pelaku kepada organisasi?” pasti menghantui pikiran HMIS. Namun, tiga pertanyaan itu harus disingkirkan. Mengingat dalam KS, prioritas dan keberpihakan ke penyintas adalah yang utama.

Ia, juga saya katakan “progresif”, mengingat berapa banyak, sih, himpunan atau ormawa atau UKM yang berani terbuka bahwa di badan organisasi mereka terdapat pelaku KS? Dalam iklim kampus yang seperti saya katakan sebelumnya, impoten cum dan ejakulasi lebih awal, ditambah budaya “nama baik lembaga” masih dipegang kuat, tindakan HMIS termasuk progresif.

Jadi, kembali ke pertanyaan Suden, “apakah keputusan mengeluarkan secara tidak hormat pelaku KS dari HMIS adalah keputusan yang tepat?”. Dengan mempertimbangkan tiga hal tersebut, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, saya jawab: “Iya”.

Tabik.

=======

Opini adalah gagasan pribadi penulis.

LPM Philosofis menerima tulisan berbentuk opini dari siapa saja yang ingin tulisannya dipublikasikan di Philosofisonline.id. Opini dapat dikirim ke sangpemulaphilosofis@gmail.com dalam format docx/doc dengan panjang tulisan antara 800-3000 kata.


Ahmad Effendi

Editor: Zhafran Naufal Hilmy

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar