XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Sengkarut Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di UNY


Foto: Rachma Syifa Faiza Rachel

Belum pudar dalam ingatan, kasus yang menimpa Andini (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mengalami kekerasan seksual. Bermula saat dia mengikuti agenda organisasi, dan diajak ke indekos dengan dalih kepentingan organisasi oleh senior organisasinya. Andini yang saat itu terguncang, hanya bisa diam dan menangis karena fisiknya tak mampu melawan. Butuh waktu cukup lama untuk dia berani bersuara demi mendapatkan keadilan atas dirinya sendiri. Kasus Andini bagai tabir, menguak kasus kekerasan seksual lainnya di UNY.

Saat ini, terdapat beberapa kasus Kekerasan Seksual (KS) yang terjadi di UNY. Pelakunya mulai dari aktivis UKM hingga lurah di lokasi KKN. Sebagai sebuah institusi pendidikan, UNY sudah seharusnya menjadi wadah untuk melapor terkait kasus KS, namun pada kenyataannya proses penanganan yang lambat membuat kasus-kasus tersebut menggantung di tengah jalan. Hingga lahirlah satu titik temu, apakah pihak rektorat benar-benar mampu dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual di UNY?

Realitas Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Menurut Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang. Hal tersebut terjadi karena ketimpangan relasi kuasa dan gender. Selain itu, dapat mengakibatkan penderitaan psikis atau fisik, yang kemudian menganggu kesehatan reproduksi seseorang. Dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan yang aman serta optimal.

Tindakan kekerasan seksual ini dilakukan tanpa consent atau persetujuan korban, bahkan cenderung disertai dengan unsur paksaan dan ancaman. Sehingga menimbulkan dampak negatif yang merugikan para penyintas.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, perguruan tinggi menempati posisi pertama untuk kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Selama periode 2017-2021, terdapat 35 kasus yang dilaporkan. Berbeda dengan data Komnas Perempuan, Kemendikbud Ristek melaporkan sepanjang Januari hingga Juli 2021, terdapat 2.500 kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi dan pelajar perempuan.

Kekerasan seksual memang menjadi isu yang tak pernah habis diperbincangkan, bagai fenomena gunung es, kasus ini sulit terungkap dan hanya terlihat lapisan atasnya saja. Sebagaimana yang terlihat dari puncak, tak semua korban kasus kekerasan seksual di Indonesia memiliki kuasa untuk melaporkan kejadian yang menimpanya. Sehingga kasus-kasus KS, masih tersembunyi dalam ruang-ruang kampus, dan tak kunjung terselesaikan.

Janji Manis Birokrasi Bagai Lulabby Nina Bobo Publik

Sepanjang Juni tahun 2022, terdapat beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY. Yang terbaru ialah kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah kepada teman satu organisasinya. Kasus ini pun mencuat di ruang publik, mengundang respon dari berbagai pihak. Tanggapan-tanggapan pun muncul, hingga pada satu titik pertanyaan, bagaimana kerja birokrasi dalam menangani kasus KS di UNY?

Berdasarkan wawancara yang dilakukan wartawan Philosofis kepada Ahmad Effendi, selaku pendamping dari kasus KS yang dialami oleh Maryam (bukan nama sebenarnya) pada (21/06), menuturkan bahwa pihak rektorat memang menerima laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY. Akan tetapi, dalam penanganannya masih terkesan sembrono dan tak serius. Kasus-kasus yang ditangani, termasuk kasus Maryam, umumnya hanya dilempar-lempar saja, sehingga dalam kurun waktu yang lama kasus ini kemudian mandek.

Ahmad menuturkan sejak 2018, memang ada beberapa kasus KS yang ditangani oleh pihak rektorat, akan tetapi yang terselesaikan baru satu kasus, ini pun lantaran kasus tersebut telah masuk ke dalam hukum pidana.

“Kita akan serius menangani kasus KS.” Ujar Ahmad menirukan ucapan pihak rektorat.

Kenyataannya, rektorat tak benar-benar serius berkomitmen untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual di UNY. Terdapat dua kecenderungan pihak birokrasi kampus dalam menangani kasus KS. Pertama, tak mau melibatkan pihak luar yang berkompeten seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Rifka Annisa, padahal UNY tak punya SDM yang cukup untuk menangani kasus KS. Kedua, rektorat cenderung sembrono dan tak transparan, hanya memberikan dopamine kepada mahasiswa, sekadar menenangkan saja bahwa ada kasus KS mereka bisa lapor ke pihak kampus, tanpa ada penyelesaian yang jelas.

Ahmad menyampaikan, proses advokasi KS yang dilakukan pihak rektorat pun cenderung ugal-ugalan dan tak sesuai dengan prosedur. Mereka cenderung menunjuk seseorang yang tidak berkompeten dalam advokasi KS, alih-alih menanyakan kebutuhan korban, pihak rektorat cenderung menempatkan diri sebagai pihak yang mengintimidasi penyintas.

“Itu kan sudah malam, mengapa masih ada di kontrakan UKM?” “Bagaimana kronologi kejadiannya?” “Bagian tubuh mana yang disentuh oleh pelaku?” Ujar Ahmad menirukan pertanyaan yang dilontarkan pihak rektorat.

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat penyintas kembali terkucilkan dan berkubang dalam duka. Alih-alih fokus menangani kasus, mereka malah menanyakan pertanyaan yang tidak ramah bagi penyintas.

Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh Ahmad, pihak rektorat tidak punya pengalaman dalam melakukan advokasi KS, namun berlaku seolah-olah bisa menangani kasus KS tanpa melibatkan pihak lain. Rektorat seolah menjadi bahan bakar kasus KS, tidak memiliki regulasi produktif, namun dengan sombong tak melibatkan pihak yang berkompeten dalam penyelesaiannya, sehingga kasus KS lamban ditangani bahkan sampai saat ini.

Kultur Mahasiswa Sebagai Bahan Bakar Kekerasan Seksual

Apabila ditarik dalam benang merah, tak menutup kemungkinan bahwa akar sebenarnya dari kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah kultur mahasiswa dan birokrasi itu sendiri. Birokrasi merasa lebih berhak menyelesaikan kasus KS dibandingkan melibatkan pihak profesional, sehingga pihak-pihak yang lain dianggap “tidak berhak” untuk dilibatkan dalam advokasi KS. Pun, kultur mahasiswa masih terkungkung dalam pemikiran patriarki dan budaya maskulinitas.

“Sekelas danusan dalam organisasi aja terlihat relasi gender, siapa yang masak dan siapa yang belanja. Pada akhirnya perempuan mudah terkena kasus KS, karena ketimpangan ini berdasar dari budaya maskulinitas yang menjadikan perempuan sebagai objek, tak punya kuasa.” Ujar Ahmad saat dihubungi via telephone.

Tak hanya itu, kekerasan seksual yang terjadi di kampus seringkali dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan antara korban dan pelaku (quid pro quo), dimana pelaku memiliki power lebih dibandingkan korban. Proporsi insiden yang melibatkan individu dengan status superior cukup tinggi, yaitu dosen, mahasiswa, dan staf universitas sebagai pelaku kekerasan seksual. Akibatnya, korban memilih untuk bungkam ketimbang melaporkan pelaku. Pun, apabila korban melapor, tak jarang mereka mendapatkan tekanan untuk tetap bungkam.

Selepas kasus kekerasan seksual menjadi perbincangan dalam ruang publik, beragam reaksi pun muncul, ada yang menerima dan ada pula yang menolak terkuaknya kasus-kasus KS tersebut. Apabila digolongkan dari sisi yang menolak, saya membaginya menjadi tiga golongan.

 Satu, mahasiswa yang cenderung menolak, beranggapan bahwa perempuan merupakan subjek dari objektifikasi, sehingga kekerasan seksual dianggap sebagai suatu hal yang tak serius. Dua, Ormawa yang tidak mengakui adanya kasus KS, mereka menjadi bahan bakar KS, menutupi kasus demi menjaga nama baik, dan melanggengkan toxic seniority. Tiga, Pihak Rektorat yang sembunyi tangan, berpura-pura mampu menangani kasus KS, dengan regulasi yang tidak produktif. Akibatnya, kasus KS yang ada di UNY pun mangkrak, jauh dari kata penyelesaian, dan terlupakan oleh publik.

Penyusunan Regulasi yang Terkesan Tergesa-gesa

Peraturan penanganan kasus kekerasan seksual di UNY telah ada sejak tahun 2020. Tetapi poin-poin yang ada dirasa belum cukup, sehingga peraturan ini dianggap tak cukup untuk landasan penanganan kasus KS di UNY. Seiring berjalannya waktu, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Budaya, Riset dan Teknologi mengeluarkan Permendikbud No 30 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, sebagai landasan hukum baru terkait kasus KS di lingkungan kampus. Adanya Permendikbud No 30 Tahun 2021, memang menjadi lentera bagi para penyintas namun tak serta merta menghapuskan KS di lingkungan universitas.

Belum lama ini, Rektor UNY mengeluarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2022, Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY. Dijelaskan bahwa penanganan kasus KS di UNY dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk oleh Rektor. Penanganan kasus KS dan pengenaan sanksi untuk pelaku tertulis jelas dalam peraturan rektor tersebut.

Terdapat sanksi administratif yang disepakati oleh pihak kampus sebagai hukuman untuk pelaku. Sanksi administratif itu dibagi menjadi tiga: ringan, sedang, dan berat. Pada peraturan ini, kampus berkomitmen untuk melakukan penanganan dan pendampingan korban pada kasus KS di UNY. Akan tetapi peraturan ini hanya layaknya elemen tertulis, tanpa satuan tugas yang bertugas menangani kasus KS.

Hal ini dibenarkan oleh Yahya Yusron, selaku Ketua DPM KM UNY dalam wawancara bersama wartawan Philosofis pada 24 Juni 2022. Pihak birokrasi mengundang perwakilan mahasiswa yang terdiri dari dua anggota BEM KM, dua anggota DPM KM, dan satu anggota Ormawa untuk menghadiri pembahasan draft Peraturan Rektor Nomor 6 tahun 2022, akan tetapi pada awalnya mereka diundang tanpa embel-embel apapun.

“Pembahasan draft pertama mahasiswa memang dilibatkan, akan tetapi tidak diberi tahu akan membahas apa. Pagi undangan tersebut datang, kemudian siangnya ada rapat. Sehingga kami tanpa persiapan apapun dalam membahasa draft tersebut.”

Yahya menuturkan, akibat pembahasan yang mendadak pihak mahasiswa terutama dirinya meminta waktu untuk mengkaji kembali mengenai hal tersebut. Selang beberapa hari, pihak DPM mengajak Ruang Aman dan UNY Bergerak untuk melakukan pembahasan draft tersebut.

Pada tanggal 7 Februari akan diadakan pembahasan lagi oleh pihak rektorat, namun dibatalkan karena alasan tertentu. Lalu pada 23 Februari 2022, pihak kemahasiswaan UNY membuat diskusi tentang kekerasan seksual yang diadakan di gedung Student Center (SC). Pada 15 Maret 2022, diadakan kembali rapat yang sebelumnya dibatalkan oleh pihak rektorat, masih mengenai pembahasan peraturan kasus KS di UNY.

Selang beberapa hari, yaitu pada 18 Maret 2022, dikeluarkanlah Peraturan Rektor No 6 Tahun 2022, Tentang Penangulanggan Kekerasan Seksual di UNY yang merupakan pembaruan dari Peraturan Rektor No 17 Tahun 2020. Namun, tak berselang lama pada tanggal 25 Maret 2022, Pak Agus Basuki mengirim draft revisi hasil rapat ke DPM, tidak ada peraturan nomor dan tanda tangan dari rektor.

Pengiriman draft hasil rapat pasca pengesahan peraturan rektor tersebut tentu menimbulkan tanda tanya. Mengapa pengesahan Peraturan Rektor No 6 Tahun 2022 cenderung buru-buru, sedangkan draftnya baru dikirimkan kepada DPM tujuh hari pasca pengesahan.

“Hal ini memang cukup aneh, rektorat cenderung terburu-buru dalam pengesahan Peraturan Rektor tersebut.”

Akan tetapi, Yahya beserta pihak kolaborasi (DPM KM, Ruang Aman, dan UNY Bergerak) beranggapan bahwa ini merupakan awal yang baik, dan kemudian berlanjut pada tahapan berikutnya yaitu pembentukan Satgas dan sosialisasi peraturan tersebut.

Pembentukan Satgas Yang Masih Sekadar Angan-angan

Dalam peraturan rektor tertulis, sebelum pembentukan Satuan Tugas (Satgas) diperlukan panitia seleksi. Yahya menuturkan, pembentukan panitia seleksi itu dipilih oleh pihak rektorat, terdiri dari tenaga pendidik dan perwakilan mahasiswa, yaitu satu dari BEM KM, satu dari DPM KM, dan satu dari Ormawa.  Penunjukan ini tidak berlandaskan apa-apa, pihak rektorat cenderung sepihak dalam memilih mereka.

“Mereka yang ditunjuk belum tentu orang yang berkompeten dan bukan atas kemauan diri mereka. Saat ditanya, pihak rektorat cenderung bungkam dan berdalih bahwa penunjukan ini masih bisa dirubah. Namun, saat saya bertanya kepada kemahasiswaan, pembentukan panitia seleksi ini telah diajukan ke dalam kementerian dan tinggal menunggu pengesahan.”

Sampai saat ini, pembentukan panitia seleksi masih mengalami kebuntuan dan menunggu pengesahan dari kementerian. Begitu pun dengan pembentukan Satgas Penanganan Kasus KS. Seharusnya, Satgas sudah terbentuk sejak bulan September 2021. Tetapi, sampai saat ini panitia seleksi belum menunjukan kejelasan.

“Pembentukan Satgas masih belum jelas, karena pengesahan panitia seleksi saja masih tertahan di pihak kementrian, sehingga saat ada kasus KS, pihak birokrasi kampus bingung, karena tak ada Satgas untuk menanganinya.” Ujar Yahya menutup wawancara pada hari itu.

Pengesahan RUU PKS dan Kenyataan Pahit

Pada 12 April 2022, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, setelah sebelumnya mandek bertahun-tahun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam UU TPKS, kekerasan seksual dikategorikan menjadi lima bentuk: pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan tindak pidana lain.

Selain itu, terdapat empat poin penting dalam UU TPKS ini yaitu, penyidik tidak boleh menolak perkara, tidak ada restorative justice, barang bukti dapat dijadikan alat bukti, dan kewajiban restitusi korban yang sepenuhnya dibebankan kepada pelaku.

Walaupun UU TPKS telah disahkan oleh DPR dan menjadi landasan hukum tindak pidana kekerasan seksual, namun kenyataannya penyintas KS tak lantas mendapatkan kemudahan memperoleh keadilan. Kenyataan pahit ini harus dipaparkan, mengingat inilah realitas yang terjadi. Masih banyak korban yang belum mendapatkan keadilan, seperti putusan bebas terdakwa kasus kekerasan seksual di Universitas Riau (Unri). Vonis bebas atas terdakwa kasus kekerasan seksual ini merupakan kenyataan yang memilukan dan menjadi pukulan telak bagi para pejuang keadilan korban KS.

Serupa dengan apa yang disampaikan Ahmad, Yunita Azizah dari Ruang Aman menyampaikan bahwa pihak birokrasi cenderung melibatkan sedikit sekali pihak dalam menangani kasus kekerasan seksual. Pun kasus KS yang sudah dilaporkan, mengambang begitu saja tanpa alur penyelesaian yang jelas. Sudah seharusnya, ada dokumentasi yang menyatakan bahwa UNY sedang tak baik-baik saja, alih-alih membranding diri sebagai lembaga yang aman.

“Sudah seharusnya semua pihak terutama birokrasi, menerima bahwa kasus KS itu ada. Jangan membuat benteng seolah-olah keadaan UNY baik-baik saja. Pun, dengan adanya peraturan masalah ini terselesaikan begitu saja. Harus ada kontribusi dari publik, agar penanganan kasus KS di UNY dapat terlaksana.” Ujar Jojo – sapaan akrabnya, kepada wartawan Philosofis dalam wawancara, pada 17 Juni 2022.

Jojo menuturkan, dengan adanya UU TPKS dan Peraturan Rektor Nomor 6 Tahun 2022, tak pelak membuat korban mendapatkan keadilan, selama birokrasi kampus masih tak serius dalam menangani kasus KS. 

Narasi birokrasi dengan mempertemukan korban dengan pelaku adalah langkah yang salah. Pertemuan antara korban dan penyintas justru akan memicu trauma korban. Berhenti membranding diri bahwa lembaga ini aman, dengan mempertemukan keduanya agar masalah dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Sudah seharusnya UNY lebih serius dalam penanganan kasus KS, pun merilis bahwa lembaga ini tidak baik-baik saja, agar semua pihak dapat lebih aware.

“Kita tidak perlu tau kronologis, nama pelaku, dan nama korban, cukup mengetahui bahwa ada yang tak baik-baik saja disini.”

Peraturan Rektor Nomor 6 Tahun 2022 memang telah ada, namun sayang tak dibarengi dengan keseriusan dalam sosialisasi kepada dosen dan mahasiswa. Jangan seolah-olah dengan adanya peraturan tersebut, kasus KS di UNY selesai.

Pentingnya Pelibatan Pihak Berkompeten dalam Advokasi Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Menyoal mengenai kekerasan seksual, tak hanya di ranah kasusnya, melainkan juga dalam layanan penanganannya. Penting untuk melibatkan jaringan di luar kampus, apabila penyelesaiaanya hanya dilakukan oleh instutusi, tak menutup kemungkinan adanya keberpihakan dan nilai-nilai yang merugikan penyintas. Fenomena ini diamati oleh Agus Triyanto dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY. Sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang telah berdiri sejak 23 Desember 1967, berfokus pada isu sosial, kesehatan produksi perempuan, dan penanganan kekerasan.

Menurut Agus, kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya ketimpangan relasi dari laki-laki dan perempuan, baik dari tenaga maupun status sosial.

Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh Agus, fakta yang muncul ketika membicarakan kekerasan seksual, sebagian besar pelaku merupakan seseorang yang dikenal oleh korban secara personal, baik pacar, dosen, teman, orang tua, dan lainnya. Kekerasan seksual bentuknya tak hanya pemerkosaan, sehingga diperlukan pemahaman kepada masyarakat bahwa terdapat banyak turunan kekerasan seksual.

“Tak jarang mereka tidak menyadari bahwa dia merupakan korban kekerasan seksual, semisal ciuman tanpa consent dalam hubungan pacaran. Ini kan termasuk bentuk kekerasan seksual, akan tetapi sulit rasanya apabila masyarakat kita tak memahaminya.”

Agus juga menambahkan, kasus kekerasan seksual itu sulit untuk dibawa ke dalam ranah hukum. Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti aparat penegak hukum yang belum paham akan kekerasan seksual hingga kurangnya bukti penyintas untuk menjerat pelaku.

“Kasus kekerasan seksual agak sulit untuk dibawa dalam jalur hukum, apalagi dalam relasi hubungan seperti pacaran dan pernikahan. Apabila muncul pernyataan suka sama suka, kasus tersebut otomatis gugur begitu saja.”

Apabila ditarik dalam lingkungan perguruan tinggi yang merupakan sebuah institusi, dalam menangani kasus KS, tentu memiliki regulasi sendiri. Akan tetapi, yang menjadi persoalan ialah bagaimana kampus merespon dan menangani kasus tersebut, karena tak menutup kemungkinan yang dilawan bukan hanya personal oknum, melainkan institusi itu sendiri.

Berkaca dari kasus yang terblow-up media, sebuah institusi pendidikan tentu memiliki birokrasi. Respon setelah melaporkan kasus KS memang bagus, akan tetapi butuh waktu lama dalam penanganannya. Sementara, pada proses itu apakah penyintas mendapatkan perlindungan? Tidak menutup kemungkinan adanya keberpihakan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga, alih-alih membantu penyintas, mereka malah menyudutkan.

“Menjadi penyintas tentu bukanlah perkara mudah untuk berani berbicara atas kasus yang menimpa mereka. Tak menutup kemungkinan adanya lobi yang mengintimidasi korban agar tetap bungkam demi menjaga nama baik dan reputasi kampus. Sehingga diperlukan pelibatan pihak luar yang memang tidak memiliki kepentingan dalam advokasi kasus KS.” Ujar Agus kepada wartawan Philosofis saat diwawancarai pada 30 Juni 2022 melalui Google Meet.

Sepenuturan Agus, dalam proses advokasi KS memang membutuhkan waktu yang lama. Diperlukan kesabaran dan penguatan pendamping kepada penyintas yang tak menutup kemungkinan mendapatkan tekanan sosial.

“Tidak cukup hanya regulasi saja, diperlukan pengawalan dan implementasi sebagai komitmen penanganan kasus KS di lingkungan perguruan tinggi. Pembentukan Satgas adalah utama, kemudian diikuti oleh evaluasi dan monitoring bersama agar tercipta ruang aman dari jerat predator kekerasan seksual.”

Menurut Agus, penting adanya kesadaran dari seluruh pihak, baik aparat hukum, institusi kampus, dan masyarakat sehingga penanganan kasus kekerasan seksual tak lagi alot. Terlebih, setelah adanya pengesahan UU TPKS sebagai landasan hukum baru untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.


Rachma Syifa Faiza Rachel

Editor: Zhafran Naufal Hilmy

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar