XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Dari Pindah Kampus Sampai Cuti Kuliah, UNY Bergerak Hadirkan Kisah Korban UKT

 

Sekelompok mahasiswa menghadiri diskusi Revolusi Pesawat Kertas, menuntut keadilan UKT di UNY. (16/1/2023). Foto: Kartiko Bagas
Pada minggu ketiga bulan Januari ini, tepatnya Senin, 16 Januari 2023, UNY Bergerak menginisiasi acara tentang permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Acara tersebut bertempat di Nitikusala Coffe, Sleman. Adanya acara ini juga terkait dengan viralnya thread kisah mahasiswi UNY yang mengurus penurunan UKT hingga akhir hayatnya dan beberapa permasalahan mengenai sistem penentuan UKT di UNY.

Dengan tajuk “Ada Apa Dengan UNY?”, acara yang berbentuk sharing dan diskusi ini direncanakan mulai pada pukul 19.00 WIB, namun baru terlaksana sekitar pukul 20.00 WIB.  Acara berlangsung kondusif, dibuka oleh moderator yaitu Ahmad Effendi bersamaan dengan Rachmad Ganta Semendawai—Penulis thread tentang Rizka,—yang memberikan pengantar sebelum inti acara berlangsung. Setelah itu, dilanjutkan dengan kesaksian para korban sistem UKT di UNY.

Kesaksian para korban tersebut dilakukan secara anonim. Pertama, dari salah satu mahasiswa UNY. Lewat platform zoom, ia mengatakan bahwa orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang angkringan dan buruh pabrik tidak mampu untuk memenuhi UKT-nya yang bernominal 4,2 juta rupiah.

Bahkan ia pun sempat mempunyai pekerjaan sampingan di dua semester awal berkuliah untuk membantu orang tuanya. “Saya pada semester satu dan dua sempat melakukan pekerjaan sampingan sebagai buruh di salah satu perusahaan perkebunan,” ujarnya.

Ia menambahkan juga bahwa untuk membiayai kuliah, keluarganya sampai menjual sapi. “Ketika saya di semester dua atau tiga, bapak ibu saya menjual sapi, padahal sapi tersebut tabungan nanti,” tambahnya.


Pindah Ke Kampus Lain hingga Cuti Kuliah

Kisah pilu lainnya dialami oleh mahasiswa yang mengaku sudah pindah dari UNY karena program beasiswa bantuan pendidikan yang diajukannya tidak diterima. Mahasiswa angkatan 2020 asal Jakarta ini pun mengaku pernah mengajukan penurunan UKT, namun juga tidak diterima oleh pihak kampus.

“Ketika orang tua saya bangkrut, saya ingat pengajuan penurunan ukt saya juga tidak diterima,” jelasnya.

Kesaksian lain juga dipaparkan oleh mahasiswi angkatan 2021. Mahasiswi ini bercerita bahwa ia masuk kuliah lewat jalur mandiri dan mendapat UKT golongan ke IV. Padahal ia sudah memenuhi surat-surat administrasi yang menunjukkan kondisi keluarganya. Sampai-sampai keluarganya meminjam uang tetangga untuk memenuhi biaya registrasi kuliahnya. Untuk menutup utangnya tersebut, ayahnya harus menjual motor satu-satunya.

“Waktu itu kami masih punya satu motor, akhirnya bapak memutuskan untuk jual motornya untuk menutup utang,” ujar mahasiswi ini.

Ia juga menambahkan, bahwa sebenarnya ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerahnya. Namun, karena suatu hal, beasiswa tersebut tidak bisa diambil dan menyebabkannya tidak bisa membayar UKT. Akhirnya, di semester tiga kemarin, ia mengambil cuti kuliah.

Setelah kesaksian ketiga mahasiswa/mahasiswi, acara dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi dipantik oleh Eko Prasetyo, pelopor Social Movement Institute (SMI) yang juga aktivis pendidikan dan Panji Mulkillah, penulis buku  Kuliah Kok Mahal?.

 

Fenomena UKT, Fenomena Gunung Es dan Revolusi Pesawat  Kertas

Selepas diskusi, awak Philosofis mencoba menemui dan meminta keterangan Eko Prasetyo. Menurutnya fenomena UKT ibarat fenomena gunung es.

Menurut saya ini merupakan fenomena gunung es karena ketidakmampuan membayar UKT sudah menjadi keluhan umum di banyak tempat. Apalagi survei-survei nasional menunjukkan betapa UKT itu membebani orangtua terutama pada kalangan tidak mampu,” ungkapnya.

Eko Prasetyo juga menambahkan, bahwa dengan permasalahan UKT ini, kampus tidak bisa berargumen lagi. Menurutnya, kampus seperti mati langkah.

“Saya melihat kampus kebingungan karena menghadapi situasi yang tidak terduga, sehingga tanggapannya menjadi tanggapan yang sepenuhnya menjaga diri, menjaga performance, dan menjaga image,” tambahnya.

Di akhir percakapan dengan awak Philosofis, Eko Prasetyo mengatakan bahwa permasalahan UKT harus menjadi prioritas lagi dan ia mengajak untuk mengawal permasalahan ini.

“UNY kampus terbaik, PTN terbaik menurut saya, sehingga seharusnya menjadi tempat terbaik untuk mereka yang tidak mampu bisa bersekolah. Ini menjadi isu keberpihakan, mari kita angkat isu keberpihakan itu bagi mereka yang lemah.” Pungkasnya.

Acara berakhir sekitar pukul 22.00 WIB dengan ditutup aksi simbolik penerbangan pesawat kertas. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk keresahan dan harapan mahasiswa.

Harapannya, revolusi pesawat kertas ini menjadi simbol harapan bahwa pendidikan harus gratis, pendidikan harus murah dan teman-teman yang tidak kuliah dapat merasakan kuliah lagi.” Ujar Opal, Humas dari UNY Bergerak saat ditemui oleh wartawan Philosofis.

Aksi tersebut dipilih karena dirasa paling mudah dilakukan dan bisa dilakukan semua orang.

“Itu hal paling mudah yang bisa dilakukan semua orang. Menulis dan menerbangkan menjadi poin. Karena kita lihat dari tulisan teman-teman sebagai bentuk empati yang coba diterbangkan sebagai bentuk harapan.” Jelas Mushab, salah satu tim kajian UNY Bergerak.

Mushab juga menjelaskan, akan ada follow-up acara ini dengan bentuk aksi secara langsung di Rektorat UNY. Aksi ini akan menuntut janji-janji rektor dan rencananya akan dilakukan pada Kamis, 19 Januari 2023.

“Untuk kelanjutan, besok kamis kita akan mencoba menagih janji rektor soal yang katanya ia akan menjadikan anak asuh bagi yang tidak bisa bayar UKT. Kita akan menagih janji itu untuk memastikan tidak ada satupun mahasiswa UNY yang tidak bisa bayar UKT.” Tutupnya.

 

Kartiko Bagas
Reporter: Aisya Puja Ray, Isna Kusuma (Magang), Novalia Rahma (Magang)
Editor: Aisya Puja Ray

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar