XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Rayakan HUT ke-17, PPLP-KP Tetap Perjuangkan Ruang Hidup di Pesisir





Salah satu spanduk yang dipasang oleh PPLP-KP di selatan panggung (07/05/2023). Foto: Yoga Hanindyatama

Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) mengadakan peringatan hari lahirnya yang ke-17 pada 6-7 Mei 2023. Tempat pelaksanaan kegiatan berada di Padukuhan Gupit, Karangsewu, Galur, Kulon Progo yang tidak terpaut jauh dari Jalan Daendels. Tema yang diangkat pada kesempatan kali ialah "Jaga Silaturahmi Tolak Perampasan Lahan, Terus Tumbuh dan Melawan". Selain PPLP-KP, hadir pula solidaritas dari berbagai daerah, seperti dari Jakarta, Dago Elos (Bandung), Taman Sari (Bandung), Tumpang Pitu (Banyuwangi), dan Wadas (Purworejo). 

Ada beberapa kegiatan yang mengisi rangkaian peringatan tersebut. Pada Sabtu, 6 Mei, warga menggelar pemutaran film tentang perjuangan organisasi ini dalam mempertahankan ruang hidup. Setelah itu dilanjutkan mujahaddah dan pengajian. Puncak acara pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) PPLP-KP yang sudah memasuki usia 17 tahun ini ialah pada hari kedua. Pada pukul 08.30, warga dan anggota PPLP-KP melakukan arak-arakan gunungan di sepanjang Jalan Daendels dari Kalurahan Garongan (Kapanewon Panjatan) hingga Kalurahan Karangsewu (Kapanewon Galur).

Kerumunan massa yang meruah itu, sampai menutupi satu jalur jalan. Tidak hanya orang dewasa saja, anak kecil dan anak usia remaja turut serta dalam arak-arakan ini. Banyak dari mereka yang membawa bendera berwarna biru muda bertuliskan PPLP-KP. Ada pula bendera merah bertuliskan Gerakan Rakyat Anti Tambang (GERANAT), bendera putih bertuliskan Masyarakat Salakan Menolak Tambang (MASLAMAT), dan bendera berwarna kuning dengan narasi penolakan terhadap perampasan tanah. Arak-arakan konvoi ini berlangsung kurang lebih satu jam. 

Prosesi penyerahan tumpeng oleh Supriyadi, ketua PPLP-KP (07/05/2023). Foto: Yoga Hanindyatama

Setelah arak-arakan selesai, mereka lalu berkumpul di Dusun Gupit, Karangsewu. Tempat di mana terdapat panggung untuk melaksanakan prosesi utama, yakni syawalan. Acara ini dibuka oleh Supriyadi, ketua PPLP-KP. Ia membacakan ikrar syawalan dan diikuti oleh warga yang berkumpul di sekitar panggung. Dalam kesempatan itu, ia tidak lupa mengingatkan kepada seluruh anggota untuk tetap melanjutkan perjuangan dalam melindungi tanah yang ada. 

Panitia acara selanjutnya mempersilakan 10 perwakilan anak yang tinggal di daerah sekitar untuk naik ke atas panggung. Acara berlanjut pada aksi simbolik berupa pemotongan nasi tumpeng oleh Supriyadi yang dibagikan kepada perwakilan anak-anak. Selain pemotongan tumpeng, aksi simbolik juga ditandai dengan pelepasan balon ke udara. Di samping itu, ada pembagian hasil bumi dari gunungan kepada warga.

Ruang Hidup Bagi Warga

Salah seorang anggota PPLP-KP bernama Didi menjelaskan sejarah singkat pola pertanian di pesisir sekitar tahun 1980-an. Kala itu lahan pertanian cenderung gersang di mana hasilnya bersifat musiman. Dengan kondisi seperti itu, produk pertanian yang ada masih belum terlalu banyak. Dahulu hanya kentang dan kacang tanah yang ditanam. Setelahnya, para petani mencoba melakukan langkah terobosan. Mereka mulai menanam cabai. Walaupun tidak banyak, tetapi cabai yang ditanam dapat tumbuh. 

“Kita nanam cuma 15 bedeng. Lalu kami ubah, hari ini sudah ada sumur renteng, sprinkle, infus, dan lain sebagainya. Itu sangat menyejahterakan petani seperti kami. Jadi bagi kami, pertanian adalah kehidupan kami,” tegas Didi. 

Warga yang tinggal di wilayah pesisir Kulon Progo pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Namun, keberadaan mereka terusik oleh hadirnya perusahaan tambang pasir besi. Lokasi penambangan yang berada di daerah pertanian menjadi alasan mengapa banyak warga yang resah akan situasi ini. Menanggapi hal itu, warga bersepakat mendirikan PPLP-KP. Organisasi ini didirikan sebagai benteng bersama antar warga untuk menolak kegiatan penambangan. Di samping penambangan di Kulon Progo, organisasi ini juga menolak segala perampasan wilayah tanah di Indonesia. 

Ketika disinggung tentang nilai dari wilayah pesisir yang dijadikan lahan pertanian, pria berusia 39 tahun ini mencoba menjelaskan. Menurutnya, lahan agraria sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir. Warga merasa ada ikatan kuat dengan wilayah pesisir yang mereka garap.

“Bagi kami, tanah pesisir adalah ruang hidup kami. Kami menganggap tanah pesisir sebagai sahabat dan mitra. Jadi jika itu dirusak, secara otomatis, kami juga merasa dirusak. Selamanya kita akan memperjuangkan hak kami,” tegasnya.  

Didi lebih lanjut juga menjelaskan makna yang terkandung dalam komposisi gunungan yang dibuat. Dalam gunungan itu terdapat padi, cabai, terong, gambas, tomat, dan sebagainya. Padi berada di puncak menjadi simbol kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia mengonsumsi nasi. Tepat di bawahnya, terdapat cabai. Cabai merupakan hasil bumi yang penting bagi masyarakat di sini. Bahkan banyak petani di wilayah ini yang menggantungkan hidupnya dari menanam cabai.

Warga mendekati gunungan dengan harapan dapat mengambil hasil bumi (07/05/2023). Foto: Yoga Hanindyatama

Logika Hukum yang Terbalik

Dalam persoalan konflik agraria di pesisir Kulon Progo, warga yang tergabung di PPLP-KP merasa keberadaan mereka terancam oleh perusahaan penambangan bernama PT Jogja Magasa Iron (JMI). Perusahaan ini merupakan proyek bersama dari PT Jogja Magasa Mining (JMM) dari Indonesia dan Indo Mines Limited (Australia). Sekitar 30% saham dikuasai oleh pihak JMM, sedangkan 70% berada dalam kekuasaan Indo Mines. 

PT JMI diketahui memiliki luas wilayah konsesi sekitar 2.980 ha dengan luasan 22 km x 1,8 km. Dasar dari keberadaan PT JMI berasal dari kontrak karya yang disepakati. Kontrak karya ini merupakan yang terakhir sebelum UU Minerba diterapkan. Kemudian, PT JMI juga mempunyai hak untuk melakukan pertambangan  dari 2008 sampai 2035. Ini pun masih dapat diperpanjang. 

Era Hareva Pasarua dari LBH Yogyakarta, dalam wawancara terpisah pada Kamis (11/05), menyoroti tentang legalitas tanah pesisir yang masuk dalam rencana pertambangan PT JMI. Menurutnya, tanah yang ada di wilayah selatan Kulon Progo telah berubah seiring dengan adanya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan adanya peraturan ini, tanah yang dimiliki oleh Pakualaman (Paku Alam Ground) diakui lagi. Padahal, tanah ini sudah ditiadakan berkat UU Pokok Agraria. 

"Yang kemudian menjadi polemik itu adalah tanah kadipaten (Paku Alam Ground) yang statusnya diperkuat dengan adanya UU Keistimewaan. Padahal kalau kita bedah, berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), seluruh tanah swapraja sudah tidak ada. Namun, keberadaan tanah itu dihidupkan kembali," ujar Era

Ia menambahkan bahwa Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kulon Progo juga problematik. Hal ini bukan tanpa alasan. Sebelum Perda itu disahkan, sudah ada Perda No. 1 Tahun 2003. Peraturan yang lebih lama menegaskan bahwa pesisir merujuk pada wilayah lahan pertanian dan lahan pantai. Sedangkan, Perda terbaru mengubah makna kawasan dari lahan pertanian dan sempadan pantai menjadi kawasan pertambangan. 

"Kami menganggap ini adalah logika hukum yang terbalik. RTRW itu sebagai salah satu kontrol untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan pertambangan dan berperan dalam menjaga lingkungan. Harusnya segala aktivitas, termasuk pertambangan harus mengikuti RTRW, bukan RTRW yang mengikuti rencana pertambangan. Nah itu yang kemudian dibolak-balik. Kami melihat ada hukum yang diotak-atik untuk melegitimasi agar penambangan bisa dilakukan," katanya.

Jumlah petani yang terdampak oleh penambangan sekitar 21.000 jiwa. Padahal mereka sudah ada di sana sejak lama. PT JMI juga telah mendirikan pilot project di Pantai Trisik yang berisi alat-alat untuk mengambil pasir besi. Sedangkan tambang dengan eskalasi yang lebih besar belum ada. Dalam pilot project, kedalaman penambangan diperkirakan mencapai 40 meter. Dengan kedalaman ini, pesisir sangat berpotensi tenggelam. 

Era juga menjelaskan bahwa LBH Yogyakarta juga melakukan pendampingan terhadap PPLP-KP. Ada tiga bentuk pendampingan, yaitu advokasi, organisasi, dan kampanye. Pendampingan advokasi dilakukan karena Tukijo, salah seorang anggota PPLP-KP pernah mengalami represi. Saat itu, ia didakwa telah melanggar Pasal 333 KUHP tentang merampas kemerdekaan. Majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Tukijo dengan kurungan selama 3 tahun. Dalam pendampingan organisasi, LBH melakukan Pendidikan Hukum Kritis (PHK) terhadap PPLP-KP di mana salah satu agendanya ialah diskusi. PHK berlangsung dari 2009 hingga sekarang. Pendampingan yang terakhir dilakukan dengan melakukan kerja sama dengan beberapa jaringan dalam menyebarluaskan isu.

Yoga Hanindyatama
Reporter: Yoga Hanindyatama
Editor: Zhafran Hilmy
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar