Ilustrasi: Gilang Kuryantoro |
Judul : “Manusia Baru” Indonesia
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri
Penerbit : Penerbit Kompas
Halaman : xx + 284 hlm
Tahun Terbit : 2023
ISBN : 97-623-346-907-4
Seusai membaca buku
berjudul Manusia Baru Indonesia, percayalah Njoto tidak pernah hidup melarat
sedari kecil. Bayangkan, pada tahun 1927-an, ketika keadaan sosial yang belum
stabil akibat kebijakan rasial, kondisi ekonomi belum begitu mapan akibat
kolonialisme, Njoto sudah berdandan rapi untuk berfoto. Ia berdiri tegak di
studio foto.
Koleksi mainan
Njoto tidak tanggung-tanggung. Ia mempunyai sepatu roda, sepatu bola, sepeda,
meja pingpong, hingga satu set meja biliar. Tak beda jauh dengan gaya hidup
orang Eropa pada zamannya.
Maka tak heran
kalau Njoto bisa sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Sekolah
pendidikan dasar bagi kaum priyayi atau keluarga terpandang. Setelah lulus dari
HIS, ia pindah ke Solo untuk melanjutkan pendidikannya di Nakago—Sekolah
Menengah Tinggi. Namun, momentum kemerdekaan Indonesia, membuat Njoto banyak
menghabiskan waktu di luar sekolah.
Latar belakang
pendidikan yang berbeda, membuat dirinya masuk dalam generasi hibrid.
Sederhananya, generasi hibrid adalah mereka yang mengenyam tiga zaman:
Kolonialisme Belanda, Kolonialisme Jepang, dan Kemerdekaan Indonesia.
Agitator Sejak Dini
Ayah Nyoto,
Roostandart Sosrohartono, seorang pria asal Sukoharjo yang pindah menuju Jawa
Timur. Jalan hidup politiknya dimulai ketika ia bergabung dalam Partai Komunis
Hindia-Belanda pada tahun 1923. Di Jember, pria dengan tubuh tegap serta tinggi
itu kemudian bertemu dengan pujaan hatinya—Maslamah.
Maslamah dikenal
dengan sosok yang feminim. Ia pandai merias dan berpenampilan rapi. Pantas
saja, jika Roostandart jatuh hati pada perempuan asal Jember itu. Mereka berdua
kemudian menikah, membangun sebuah keluarga kecil di Bondowoso.
Di Kota Tape,
Roostandart dan Masalamah membangun usaha kecil-kecilan. Mereka mempunyai toko
bernama Josoboesono. Sebuah warung yang awalnya hanya digunakan sebagai
distributor jamu. Usaha tersebut kian moncer hingga memiliki sekitar 12
pegawai. Josoboesono menjadi pondasi perekonomian yang kokoh bagi keluarga
Maslamah.
Beberapa tahun
kemudian Maslamah melahirkan anak pertamanya di Jember. Ia dikarunia seorang
putra bernama Njoto pada 17 Januari 1927. Dua tahun setelahnya, lahir saudara
perempuan Njoto bernama Sri Windarti, tepat pada 16 Desember 1929.
Kala besar di
Jember, Njoto diasuh oleh Kiai Mardjono, ayah dari Maslamah. Di Jember, Njoto
juga menamatkan sekolah formalnya di HIS. Kala tumbuh besar, peran kakeknya
begitu besar bagi Wakil Partai PKI ini. Sebab untuk mengisi waktu luang, Kiai
Mardjono biasanya mengajak Njoto untuk datang pada rapat-rapat politik.
Sedari kecil, Nyoto
memang suka sekali membaca. Tabiat ini ditanamkan oleh Kiai Mardjono. Tak heran
rasanya, bila di usia 14 tahun, rak buku Nyoto dipenuhi oleh buku-buku Karl
Marx, Stalin, dan Lenin. Literasi “kiri” menghiasi ruang kamarnya.
Kekirian Njoto tak
bisa diragukan lagi. Belum genap 20 tahun usianya, ia membangun PKI seksi
Besuki. Dalam perkembangannya, di bawah agitator Nyoto, PKI memiliki lebih dari
15.000 anggota. Pria asal Jember ini menjadi Ketua Agitasi dan
Propaganda.
Sore hari, Njoto
sudah berdiri di hadapan ribuan orang. Berpijak di Alun-Alun Jember yang
luasnya sekitar 20.000 meter persegi, ia berdiskusi mengenai buku putih
Madiun.
“jiwa Jember sudah
80% merah putih dan 80% PKI,” seru Nyoto menggambarkan dominasi PKI di Jember
tahun 1954.
Karir politiknya
tak berhenti di Kota Tembakau. Ia mencoba peruntungannya di Jakarta. Di sana,
ia berjumpa dengan tiga orang pemuda—D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Sudisman.
Mereka berempat membangun kembali prime PKI setelah kalah di Madiun 1948.
Kerja keras mereka
barangkali terbayar. Sebab, di pemilu 1955 partai berhasil bertengger di empat
besar dan masuk di parlemen.
Pertarungan Gagasan
Manusia Baru
Sebelum Njoto atau
generasi hibrid, gagasan soal manusia baru sudah mengalami perdebatan panjang.
Pertarungan ide itu dipelopori oleh generasi 1928: Tirto Adhi Soerjo, Soekarno,
Marco Kartodikromo, Abdul Rivai, dan lain-lain. Biasanya, konsep atau ide yang
mereka tawarkan soal manusia baru, berangkat dari suatu ketertindasan atau
diskriminasi akibat politik kolonial.
Tirto Adhi Soerjo
misalnya, ia menyusun konsep manusia baru yang humanis. Baginya, manusia baru
adalah mereka (pribumi) yang keluar dari diskriminasi rasial, yang ia sebut
sebagai bangsa terperintah.
Persoalan rasial
tidak hanya dirasakan oleh Tirto Adhi Soerjo. Seorang Jawa Tulen bernama Marco
Kartodikromo, mengangkat persoalan yang sama pula. Ia mengkritik praktik
diskriminasi rasial oleh kolonial melalui magnum opus “Sama Rata Sama Rasa”. Di
sisi lain, Mas Marco juga menulis novel. Bicara soal romansa kisah cintanya
yang lebih memilih menikahi gadis Jawa, daripada pacarnya seorang Belanda.
Perdebatan konsep
manusia baru di Generasi 1928 memang cair. Begitu banyak ide yang ditawarkan
oleh mereka. Abdul Rivai misalnya, ia tidak lagi melihat manusia baru itu
berasal dari Jawa dan seperti apa yang Tirto Adhi Soerjo katakan. Ia melihat
spektrum yang lebih kontekstual. Manusia baru adalah mereka yang memiliki ilmu
pengetahuan dan kepandaian.
Njoto merasa bahwa
gagasan manusia baru milik Abdul Rivai lebih cocok. Sebab, Generasi Hibrid
memiliki titik tolak yang berbeda dengan Generasi 1928. Mereka tidak lagi hidup
di alam yang terjajah. Akan tetapi, mentalitas sebagai bangsa yang merdeka
menjadi acuan utamanya.
Titik tolak yang
baru dirasa perlu, Indonesia harus siap untuk move on dari bayang-bayang
feodalisme dan imperialisme. Sebab, ada wacana global yang lebih
konkret—pertarungan ideologi.
Situasi perang
dingin, antara Amerika dan Uni Soviet, menyebabkan suatu polarisasi ideologi di
dunia. Apalagi ditambah dengan konsep nasionalisme yang berkembang di negara
ketiga. Njoto merespon hal itu melalui konsep manusia baru yang ia susun
melalui alam sadar komunisme.
Ia menilai bahwa
embrio manusia baru dimulai ketika pembentukan PKI 1920. Partai ini membawa
suatu kebebasan menuju jalan yang baru, melalui ilmu pengetahuan dan perjuangan
kelas.
Di saat yang sama,
Njoto tidak melakukan simplitis dan pengabaian terhadap subjek lain. Misalnya,
Perang Aceh, Perang Padri atau lahirnya organisasi-organisasi modern. Baginya,
itu adalah bagian dari proses perjuangan rakyat terhadap nasionalisme.
Pandangan ini
sekaligus membawa konsep manusia baru ala Njoto pada moral komunis. Setia pada
cita-cita rakyat dan bangsa, disiplin serta kejujuran terhadap kelas
proletar.
Akan tetapi,
konsepnya selalu dijegal oleh suatu paradigma yang terbentuk. Timur yang
identik dengan sesuatu yang mistis atau religius, sedangkan Barat yang lebih
rasional. Hal ini semakin kentara ketika Njoto menempatkan agama berada dalam
ruang yang berbeda dalam konsep manusia baru.
Njoto sadar
sepenuhnya bahwa pandangannya akan sampai pada suatu pertentangan, penjegalan,
dan penolakan. Ditambah dengan gagasan Pancasila yang sudah merebak di
masyarakat. Tapi bukan sepenuhnya anti tuhan. Njoto berusaha memisahkan sifat
Tuhan yang tidak terbatas dan abadi dengan dunia yang memiliki awal dan
akhirnya sendiri.
Manusia baru ala
Njoto ingin merangkul semua etnis yang hidup di alam Indonesia. Tidak perlu ada
suatu pagar tinggi untuk perbedaan ras, agama, warna kulit, bahasa atau
sebagainya. Ia ingin sesuatu yang lebih egaliter. Lebih lanjut, manusia baru
ala Njoto adalah obat penawar dari racun neokolonialisme, imperialisme,
chauvinisme hingga feodalisme.
Gilang Kuryantoro
Editor: Ariska Sani