XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Resensi Buku Lokananta: Menilik Kepingan Dari Raksasa Industri Musik yang Sempat Mati


Ilustrasi Zhafran Naufal Hilmy


Judul: Lokananta

Penulis: Fakhri Zakaria, Dzulfikri Putra Malawi, dan Syaura Qotrunadha

Penerbit: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia

Halaman: 172

Tahun Terbit: 2016

ISBN: 978-979-3747-64-4

 

Kala R. Maladi menjabat Direktur Jenderal RRI, ia merasakan kegundahan yang tak berkesudahan. Kegundahan itu berasal dari lagu-lagu yang diputar RRI. Sebab, kala itu RRI sangat jarang memutar karya musisi kenamaan Indonesia, justru kebanyakan dari nama beken Barat, seperti Frank Sinatra, Nat King Cole, dan Elvis Presley. (Hal. 48)

Dari kegusaran itu, akhirnya R. Maladi memulai diskusi dengan R. Oetoyo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero. Mereka adalah Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI. Setelah pendiskusian panjang, akhirnya tiga orang yang diberi mandat “memelihara” RRI ini menemukan sebuah solusi dari kegusaran, yakni mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah.

Akhirnya, 29 Oktober 1956, sekitar pukul 10.00 WIB, sebuah lahan kosong berukuran 21.350 meter persegi di Kota Solo resmi disulap menjadi pabrik piringan hitam. Sebuah gedung dengan ukuran yang luas itu diberi nama Lokananta.

Sebelum nama Lokananta dipilih, ada satu nama lagi yang menjadi kandidat, yaitu Indra Vox. Namun, nama itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soekarno. Ya, karna mengandung unsur barat. (Hal. 50)

Lokananta dipilih karena mampu merepresentasikan nilai-nilai lokal. Hal itu selaras dengan tujuan Presiden Soekarno yang ingin menguatkan identitas kebangsaan. Salah satunya adalah menyebarkan lagu-lagu daerah agar sampai ke telinga masyarakat Indonesia.

Tugas pertama Lokananta sebagai senjata membangun “pondasi” negara adalah mencetak piringan hitam. Piringan hitam yang dilahirkan Lokananta adalah hasil dari rekaman musisi tiap daerah di Indonesia. Lewat 49 cabang RRI di seluruh Indonesia, musisi melakukan rekaman dan di kirim ke Lokananta. Hasil akhirnya adalah piringan hitam. Piringan hitam itu kemudian menjadi materi siaran di seluruh cabang RRI.

Berawal dari mencetak piringan hitam untuk RRI, Lokananta bertransformasi menjadi unit usaha negara. Tiga tahun setelah berdiri, yaitu tahun 1959, Lokananta mulai mengomersilkan piringan hitam yang dibuat. (Hal. 51) Ketika itu, siapa saja bisa membayar untuk membawa pulang piringan hitam rilisan Lokananta.

Melihat potensi dari komersialnya Lokananta, kemudian pemerintah mengeluarkan PP Nomor 215 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah itu mendapuk Lokananta sebagai badan usaha rekaman lagu daerah milik negara. Berangkat dari situ, melalui produksi piringan hitam, Lokananta pelan-pelan menjadi raksasa industri rekaman besar di Indonesia.

Pijakan pertama raksasa ini dalam industri rekaman di Indonesia dimulai tahun 1962. Kala itu dilangsungkan Asian Games IV di Jakarta, dan Lokananta terlibat di dalamnya. Sebuah cideramata berupa album kompilasi “The 4th Asian Games: Souvenir From Indonesia” yang diproduksi Lokananta, dibagikan kepada seluruh negara yang terlibat dalam perhelatan itu. (Hal. 27) Salah satu track dalam album itu adalah Rasa Sajange. Di kemudian hari, lagu itu diklaim oleh Malaysia.

Jika Lokananta diibaratkan seorang musisi, maka di tahun 1960-1970 adalah medio paling gacor dalam segi rekaman. Periode itu, banyak musisi besar yang karyanya lahir dari Lokananta, sebut saja Gesang, Waljinah, dan Titiek Puspa. Selain itu, karya Saiful Basri berjudul “Terang Bulan” juga dicetak dalam piringan hitam. Lagu garapan personil Orkes Studio Djakarta ini, kelak menjadi dasar terbentuknya lagu kebangsaan Malaysia, “Negaraku.

Kelumpuhan Akibat Pembajakan

Tak berhenti di situ saja, periode 1970-1980 masih menjadi tahun dimana raksasa ini begitu digdaya di industri musik Indonesia. Meski peminat piringan hitam di era itu mulai menurun, Lokananta tidak kehilangan akal. Perusahaan rekaman milik negara ini mengganti media dari piringan hitam ke kaset. Majalah Rolling Stone mencacat, di era itu, Lokananta mampu menjual 100 ribu keping kaset setiap bulan. (Hal. 52) Tercatat juga, album Waljinah berjudul “Entit” yang dirilis 1971 di bawah naungan Lokananta, menjadi karya terlaris musisi keroncong asal Solo ini.

Namun, di awal tahun 1980, kedigdayaan raksasa ini mulai memudar. Raksasa yang dahulu tangguh, kini terseok-seok menghadapi pembajakan. Perpindahan media piringan hitam ke kaset menjadi awal kelahiran para pembajak musik. 1982 adalah tahun terparah Lokananta. Tahun itu Lokananta menghadapi 129 kasus pembajakan.

Pimpinan Lokananta kala itu, Imam Muhadi, mencoba melakukan investigasi untuk mencari keberadaan “pabrik ilegal.” Alangkah terkejutnya ia ketika menemukan 33 lebih titik pembuatan kaset rekaman ilegal. Para pembajak itu menggunakan piringan hitam Lokananta sebagai master rekaman untuk dimasukan dalam kaset pita kosong.

Banyaknya kasus pembajakan ini perlahan-lahan menggerogoti tubuh raksasa ini. Akhirnya, pada tahun 1983, Lokananta mulai terpuruk karena industri rekaman ilegal. Namun, pengurus Lokananta tetap berjuang sekuat tenanga untuk menyelamatkan studio rekaman pertama di Indonesia ini agar tetap hidup. Meski jalan yang ditempuh begitu aneh, yakni bekerjasama dengan para pembajak.

Produsen kaset ilegal dijadikan agen penjualan Lokananta. Namun, karena terlampau banyak, Lokananta hanya menggandeng beberapa pembajak untuk kerja sama.

Berangkat dari kelumpuhan karena pembajakan, akhirnya pada tahun 1983, raksasa ini mencoba melebarkan jangkauan usahanya. Dari yang awalnya hanya mencetak kaset, di era itu membentuk unit usaha penggandaan film dalam format pita magnetik. Meski hasilnya tidak terlalu signifikan, paling tidak tetap menjaga nyawa Lokananta tetap ada.

Kelumpuhan raksasa ini semakin menjadi ketika Presiden Soeharto turun. Di era Soeharto, Lokananta berada di bawah naungan Departemen Penerangan bersama RRI dan TVRI. Era Reformasi dimulai, dan Departemen Penerangan dibubarkan. Pembubaran departemen yang mengontrol apa yang bisa dan yang tidak bisa dilihat masyarakat ini membuat Lokananta linglung dan kebingungan.

Akhirnya, selama tiga tahun, Lokananta mengalami kekosongan. Puncaknya, pada tahun 2001, studio rekaman pertama di Indonesia ini dinyatakan bangkrut. Dan, secara resmi, raksasa yang digdaya selama beberapa dekade ini akhirnya ambruk tak berdaya.

Nyawa yang Menyelamatkan “Nyawa” Lokananta

Paska ambruknya raksasa itu, banyak orang kemudian melupakannya. Bahkan, tak sedikit yang merasa asing dengan nama Lokananta. Namun, di kala raksasa ini ambruk, ada beberapa orang yang masih peduli dan mencoba menghidupkan kembali.

Kisah beberapa pegawai Lokananta yang tetap memiliki asa dituliskan dalam buku ini. Bimo Prasetyo Jati, Titik Sugiyanti, Bemby Ananto, dan Agus Budi Riyanto. Mereka adalah nyawa-nyawa yang masih percaya bahwa Lokananta tetap ada dan akan kembali berjaya.

Titik Sugiyanti misalnya, seorang pegawai di Lokananta sejak 1994 yang berupaya memberi nafas lebih panjang “raksasa” yang linglung. Selama dua dekade berkeja di Lokananta, Titik sudah merasakan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari administrasi, khumasan, sampai pengarsipan pernah di rasakan Titik. (Hal. 26) Ia menganggap raksasa ini sebagai anaknya. Bahkan ketika masa-masa sulit, perempuan ini tidak pernah sekalipun meninggalkan Lokananta.

Selain pegawai, beberapa band dan komunitas juga ikut terjun langsung untuk menyelamatkan studio rekaman pertama di Indonesia ini. Mari kita mulai dari tahun 2010. Sebuah komunitas bernama Gerakan Malang Bernyanyi (GMB) berkunjung ke Lokananta. Mereka merasa prihatin karena menemukan ribuan piringan hitam dalam kondisi yang tak terurus. Ribuan aset itu hanya tergeletak di sebuah ruangan tanpa memiliki sampul dan alat pengontrol suhu udara. (Hal. 151)

Dengan rasa iba dan sedih, akhirnya komunitas itu tercetus ide untuk melaksanakan program G-2000. Program itu semacam aksi sosial untuk menyediakan sampul piringan hitam untuk Lokananta. Hanya dengan berdonasi Rp2000,- setiap orang bisa ikut andil menyelamatkan arsip-arsip piringan hitam.

Dari donasi itu, akhirnya terkumpul donasi sebesar Rp4 juta. Nominal itu menghasilkan sampul piringan hitam sebanyak 2000 buah. Meski jumlah itu masih kurang untuk memenuhi kebutuhan di Lokananta, namun apa yang dilakukan GMB ini sangat berdampak bagi pengarsipan.

Bergeser ke tahun 2012. Sebuah gerakan bernama Sahabat Lokananta lahir. (Hal. 159) Salah satu penggagasnya adalah Stephanus Aji. Gerakan ini adalah bentuk kepedulian untuk sebuah gedung besar yang dulu pernah berjaya, bernama Lokananta. Kegiatan mereka dimulai dari membabat rumput liar yang menutupi estetika Lokananta. Setelah itu, Sahabat Lokananta menggagas sebuah festival untuk mengenalkan kembali raksasa ini.

Festival Lokananta namanya. Adanya festival ini paling tidak memberikan sedikit nyawa (lagi) untuk Lokananta. Perhelatan yang berlangsung dari 30 November sampai 1 Desember 2012 ini mendatangkan musisi beken tanah air. Mulai dari Seringai, Homogenic, Down for Life, Orkes Keroncong, sampai Swastika turut menghidupkan kembali Lokananta dengan ingar bingar.

Suksesnya perhelatan itu membuat Lokananta kembali di dengar. Beberapa musisi seperti Glen Fredly, White Shoes & The Couples Company, Pandai Besi, Shaggydog, dan Senyawa melakukan rekaman di studio bersejarah itu. Datangnya musisi-musisi besar seakan memberi nyawa dan nafas baru bagi raksasa yang sedang berjuang untuk hidup kembali. 


Zhafran Nauval Hilmy

Editor: Dewa Saputra

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar