![]() |
Ilustrasi : Adam Yogatama |
Pemerintah kembali menunjukkan peran antagonisnya kepada
rakyat kala penambangan pasir laut dibuka. Pengingkaran terhadap kritik-kritik
yang disampaikan dengan menggunakan eufemisme, sebagai alat untuk berkelit
sangatlah tidak bertanggung jawab. Bahkan, menampik penambangan pasir laut
dengan menggunakan diksi sedimen adalah pembodohan.
Gelombang pemanfaatan atas sedimentasi pasir laut pun mulai
bergulir. Pemerintah mengakomodir biaya promosi melalui media massa. Munculnya
tokoh-tokoh berpengaruh yang menyampaikan kebermanfaatan proyek, telah menyihir
sebagian publik untuk turut serta mendukung–tanpa melihat substansi lebih jauh.
Layaknya
program-program lain, kebijakan ini dijalankan demi memperoleh keuntungan
besar, “guna kemakmuran rakyat”. Fragmen ini selalu menjadi senjata utama
negara, agar setiap proyek yang diinginkan dapat terlaksana. Meski pada
akhirnya, hanya sebagian “rakyat” saja yang diuntungkan, sementara yang lain
menanggung risiko buruknya.
Sayangnya, masalah ini terjadi tidak sekali saja dan bukan
hanya terjadi dalam konteks penambangan pasir laut. Daftar kejahatan pemerintah
dalam merampas ruang hidup, seperti sudah tidak dapat dihitung dengan pasti.
Janji-janji akan kelestarian baik budaya maupun lingkungan, bagai nyanyian
tidur yang hanya mengantarkan pada mimpi-mimpi utopis belaka.
Negara seakan hanya menjadi kue kekuasaan konsorsium.
Institusi ini tidak lagi berdiri untuk kepentingan publik, melainkan menjadi
“juru legal” perusahaan atas usaha eksplorasi sumber daya alam yang kerap kali
ugal-ugalan.
Padahal jelas, fungsi pemerintah seharusnya adalah
melaksanakan pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan
sesuai UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2014. Namun, pemerintah saat ini
lebih banyak menyalurkan tenaganya untuk omong kosong pembangunan dan
hilirisasi yang tak jelas juntrungan sebenarnya.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi yang sering digaungkan hanya
akan menjadi boomerang, ketika pemenuhan terhadap kebutuhan pokok belum juga
stabil. Tentunya termasuk pemenuhan terhadap ruang hidup dan papan tempat
tinggal.
Kasus-kasus Perampasan Ruang Hidup oleh Pemerintah
Agustus 2024, Sorbatua Siallagan harus menerima nasib
dipenjara selama dua tahun ke depan, karena menggarap lahan leluhurnya sendiri.
Ia bahkan diharuskan membayar denda satu milyar rupiah atau subsider enam bulan
penjara. Dirinya dianggap bersalah atas pembukaan lahan dan pendudukan kawasan
hutan, yang klaim konsensinya dimiliki oleh PT Toba Pulp Lestari. Padahal,
tanah yang digarapnya telah mendapat sertifikat verifikasi dari Badan
Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Sementara itu, saat ini, masyarakat Konawe Utara, Sulawesi
Tenggara harus melaut lebih jauh untuk bisa mendapat tangkapan ikan yang cukup.
Mereka dipaksa menerima perairan yang telah lama menjadi sumber penghidupan
mereka, kini berubah warna kecoklatan karena limbah tambang nikel. Serta
terumbu karang yang tertutup endapan lumpur, juga hutan-hutan yang semakin
gundul karena tanahnya dikeruk untuk tambang.
Kondisi serupa juga dialami oleh masyarakat Desa Kawasi,
nelayan Belitung Timur, dan lain-lainnya. Suku Bajau di Labengki, kelompok suku
yang telah dikenal dunia karena mampu menyelam selama 13 menit tanpa alat
bantu, bahkan terancam kehilangan kemampuan menyelamnya. Hal ini lantaran
wilayah perairan mereka telah tercemar oleh limbah tambang. Mereka tidak bisa
lagi berenang dengan bebas, tidak dapat menyelam sebab air keruh, dan harus
menerima penyakit kulit karena kondisi air laut yang tidak sehat.
Lebih lengkap, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
melaporkan 241 letusan konflik agraria terjadi sepanjang tahun 2023. Sebanyak
135.608 KK telah kehilangan lahan seluas 638.188 hektar yang berupa tanah
pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman. Lebih parah lagi, 110
konflik di antaranya memakan 608 korban akibat dari represifitas aparat.
Tingginya korban yang berjatuhan menegaskan ketidakpedulian
pemerintah kepada rakyatnya sendiri. Seolah mereka yang bersuara merupakan
serangga pengganggu yang perlu dibasmi dan dimusnahkan, tanpa terlintas di
benak mereka untuk melindungi, mengayomi, ataupun berdialog dengan rakyat.
Ironi semacam ini, sayangnya tumbuh subur tanpa herbisida
kuat untuk menghentikannya, kecuali dengan nalar dan nurani si pemangku
kebijakan.
Etika Lingkungan Hidup
Antroposentrisme, suatu pandangan yang menganggap manusia
sebagai pusat alam semesta adalah salah kaprah. Seringkali manusia dianggap
sebagai bagian terpisah dari alam dan makhluk biologis lainnya. Padahal, dari
segi apapun sesungguhnya manusia adalah bagian dari kesatuan alam. Bahkan,
tanggung jawab manusia jauh lebih besar sebab kepemilikannya atas akal dan
moralitas.
Kritik terhadap antroposentrisme memunculkan pandangan lain,
biosentris dan ekosentris. Seperti namanya, biosentris memandang manusia
sebagai bagian dari komunitas biologis yang saling membutuhkan. Ekosentris
memandang manusia sebagai bagian yang satu dalam komunitas ekologi atau
lingkungan.
Kesadaran akan posisi manusia sebagai makhluk yang terpisah
dan superior memunculkan berbagai masalah, sebab segala tindangan hanya akan
didasarkan pada kepentingan manusia saja. Sumber daya alam bahkan secara
sempit, seringkali didefinisikan sebagai segala sesuatu dari alam yang bisa
digunakan untuk kepentingan manusia. Pun, bencana secara sempit diartikan
segala sesuatu yang terjadi dan menimbulkan kerugian bagi manusia.
Masalahnya di Indonesia, untuk mencapai level antroposentris
pun masih perlu dipertanyakan. Segala tindakan yang katanya dilakukan untuk
sebaik-baik kepentingan rakyat, justru mengorbankan rakyat itu sendiri. Padahal
jelas, kalaupun tanpa relasi pemerintah dengan rakyat, tanggung jawab untuk
menjaga sesama manusia seharusnya terus ada. Apalagi, dengan relasi tersebut,
yang muncul benar-benar dari suatu konsensus, diatur dalam undang-undang dan
secara jelas menyebutkan pemerintah memiliki fungsi perlindungan.
Pertanyaannya, perlindungan untuk siapa?
Penjelasan dari Undang-undang No. 30 Tahun 2014 Pasal 5
huruf b, secara eksplisit menyebut:
“… penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar Warga Masyarakat
sebagaimana dijamin dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”
Namun dalam praktiknya, tindakan-tindakan yang dilakukan
pemerintah seringkali hanya menguntungkan bagi sebagian golongan saja. Ambisi
untuk mengejar angka, statistik, predikat, ranking, dan segala semacamnya,
telah membunuh moralitas penguasa sehingga mengorbankan rakyatnya sendiri.
Lantas, masih bisakah kita berharap pemerintah dapat melindungi lingkungan
hidup yang kita tinggali?
Tekan dan Tinggalkan Partikularis-Egosentris
Desa Ciptagelar, sebuah desa di Sukabumi yang memiliki
cadangan makanan hingga 95 tahun ke depan, meski hanya panen padi sekali
setahun. Mereka memiliki sistem bercocok tanam organik untuk menjaga tanah
tetap subur dan membiarkan tanah “bernapas,” dengan membatasi jumlah panen per
tahun. Ciptagelar memastikan ekosistem tetap terjaga, menjadikan mereka adalah
bagian integral dari ekosistem itu sendiri. Desa ini juga menggunakan energi
dari matahari dan air, bukan batu bara.
Bhutan, salah satu negara di Asia Selatan yang telah
menggunakan konsep Gross National Happiness (GNH), sejak sekitar 1970-an.
Prioritas mereka bukan lagi kepada jumlah produksi barang nasional, atau
pendapatan perkapita apalagi pertumbuhan ekonomi, melainkan kepada indeks
kebahagiaan nasional. Mereka mengukur nilai tersebut dengan 33 indikator dan
sembilan domain; kesejahteraan psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan
waktu, keragaman dan ketahanan budaya, pemerintahan yang baik, vitalitas
masyarakat, keragaman dan ketahanan ekologi, dan standar hidup. Pandangan bukan
materiil merupakan contoh kedewasaan dan kekuatan prinsip dari negara tersebut
di tengah gelombang fear of missing out negara-negara lainnya yang berakhir
merusak alam.
Pengelolaan sumber daya sesungguhnya bukan dosa ataupun
kesalahan. Kesewenang-wenangan dan tindakan-tindakan represif dalam proses di
baliknya yang perlu dihentikan. Pemerintah yang bersifat partikularis bahkan
egosentris sangat tidak mencerminkan pemerintahan yang bertanggung jawab.
Apalagi yang berusaha menutup-nutupi tindakan dengan berkelit dan berlindung
dalam eufemisme.
Cara pandang yang sempit hanya bisa diruntuhkan oleh
kesadaran dan kerendahan hati bahwa manusia seluruhnya berada pada level yang
setara. Bahkan, tidak hanya setara sesama manusia, tetapi juga setara dengan
makhluk hidup lain beserta lingkungan. Kita adalah bagian integral yang tidak
terpisahkan. Saling terkait, saling bergantung, dan saling membutuhkan.
Ariska Rafika
Editor: Wisnu Yogi
Reff:
https://ekon.go.id/publikasi/detail/4899/akselerasi-pertumbuhan-ekonomi-nasional-pemerintah-siapkan-langkah-antisipatif-untuk-menjadi-global-key-player-industri-hilirisasi-berbasis-komoditas
https://www.kpa.or.id/2024/02/27/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dari-enam-negara-asia/
https://www.mongabay.co.id/2024/08/24/pertahankan-tanah-adat-sorbatua-siallagan-malah-dihukum-2-tahun-penjara/
https://www.mongabay.co.id/2024/07/02/ketika-hutan-di-konawe-utara-tergerus-tambang-nikel/
https://www.qeh.ox.ac.uk/news/bhutan-gross-national-happiness-index-shows-increase-2015-despite-pandemic
https://www.mongabay.co.id/2020/04/07/belajar-dari-kasepuhan-ciptagelar-panen-energi-dari-air-dan-matahari/
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c870n03351xo