![]() |
Ilustrasi: Ariska Sani |
Judul Buku : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Halaman : xiv + 461
Tahun terbit : 2023
ISBN : 978-602-424-275-6
Sejarah bukan hanya rentetan kronologi peristiwa dalam buku pelajaran. Sejarah akan hidup dalam luka dan ingatan manusia yang mengalami dan memahami sejarah. Novel Pulang membuka pintu bagi ingatan yang terpinggirkan tentang peristiwa 1965 dan Indonesia 1998. Lantas, benarkah sejarah yang kita pelajari selama ini milik semua, atau hanya versi penguasa?
Ketidakadilan sejarah kurasakan ketika menyadari banyaknya suara yang sengaja dibungkam dan kasus pelanggaran masa lalu yang tidak kunjung menemui titik terang. Seperti kasus-kasus tahun 1965, penembakan misterius, dan kerusuhan 1998 yang terindikasi HAM berat, tetapi penuntasan hukumnya masih belum jelas, ditambah dengan ingatan kolektif yang dibelenggu narasi timpang. Pulang mengingatkan bahwa sejarah bukan milik satu pihak, tetapi mozaik dari berbagai perspektif, termasuk mereka yang dikalahkan.
Leila S. Chudori tidak hanya menulis tentang masa lalu, ia menghidupkan kembali mereka yang terbuang dan dilupakan. Buku ini merupakan bukti bagaimana masa lalu akan terus bergema dalam kehidupan sekarang. Membaca Pulang bukan sekedar menyelami kisah fiksi, tetapi menantang diri agar mau mengakui luka bersama dan bisa benar-benar pulang.
Pulang, karya Leila S. Chudori, bukan sekedar novel fiksi berlatar belakang sejarah, melainkan sebuah potret pilu tentang eksil politik Indonesia bernama Dimas Suryo yang terdampar di luar negeri pasca peristiwa 1965. Buku ini menjadi jembatan bagi pembaca, terutama generasi muda untuk memahami bagaimana kekuasaan dapat menghancurkan hidup seseorang yang dianggap “berbeda”, sekaligus sebagai pengingat masa lalu yang kadang dilupakan.
Pulang mengajak pembaca menyusuri Lorong gelap Orde Baru melalui kisah yang nyaris seperti realita. Dimas Suryo, sebagai tokoh utama bersama teman-temannya, Risjaf, Nugroho, dan Tjai adalah empat orang yang terpaksa menetap di Paris, Prancis karena hak kewarganegaraannya dicabut. Mereka dituduh terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia) karena bekerja sebagai wartawan di Kantor Redaksi Berita Nusantara yang dipimpin oleh Hananto Prawira. Pada masa itu, Kantor Redaksi Berita Nusantara dinilai berhubungan dekat dengan PKI yang membuat Dimas dan teman-temannya hidup dalam ketidakpastian ditambah perasaan khawatir dengan keluarganya di Indonesia.
Bab-bab dalam Pulang tidak hanya menggunakan sudut pandang Dimas Suryo, tetapi juga sudut pandang Lintang Utara (anak Dimas Suryo), Vivienne Deraux (istri Dimas Suryo), Segara Alam, juga Bimo Nugroho. Beragam sudut pandang bisa menimbulkan kebingungan dalam membaca dan memahami isi. Namun, hal ini justru menggambarkan keadaan yang berbeda-beda, sehingga pembaca dapat lebih dalam memahami dan membayangkan situasi saat itu.
Bukan hanya eksil saja yang menderita, sipil yang dinyatakan tahanan polisi (tapol) di Indonesia juga diburu habis-habisan. Dalam buku Pulang, diceritakan bahwa para tapol diinterogasi dan disiksa, sampai pimpinan Redaksi Kantor Berita Nusantara, Hananto Prawiro, akhirnya dieksekusi mati. Pasca peristiwa G30S, banyak masyarakat sipil yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI dihukum tanpa proses peradilan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh tuduhan yang menyebut bahwa PKI merupakan dalang dari pembunuhan para jenderal untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno, meskipun kebenarannya masih menjadi perdebatan.
Dalam novel Pulang, Lintang Utara juga mengalami dampak yang diturunkan oleh ayahnya, Dimas Suryo. Status Dimas sebagai eksil yang dianggap sebagai “orang PKI” membuat Lintang merasa terasing di Prancis dan mendapat penolakan sebagai orang Indonesia. Sampai akhirnya dia harus datang ke Indonesia untuk menyelesaikan proyek studinya pada tahun 1998. Tahun terjadinya peristiwa Trisakti yang membuka luka lama tahun 1965. Tahun di mana rezim Orde Baru akhirnya runtuh dan Dimas bisa pulang ke Karet, kemudian disemayamkan di kampung halamannya tersebut. Walaupun memiliki ending yang tidak bahagia, pulang tetap memberikan gambaran betapa sulitnya hidup sebagai tapol dan eksil di masa Orde Baru.
Leila berhasil mengemas narasi sejarah kompleks menjadi bahasa yang mengalir, sehingga pendekatan emosional antara tokoh dan pembaca dapat saling terhubung. Pulang bukan sekadar novel, melainkan sebuah aksi yang menghidupkan kembali ingatan para eksil dan tapol yang kerap dihapus dalam sejarah. Buku ini bermakna bahwa “pulang” bukan hanya tentang kembali ke tanah air, melainkan hak untuk diakui dan dimiliki oleh bangsanya sendiri. Pulang mengingatkan kita bahwa kebenaran dan keadilan harus tetap diperjuangkan, meskipun negara memilih untuk berpaling. Buku ini layak dibaca siapa pun yang percaya bahwa sejarah bukan berarti membuka luka, melainkan memastikan penyebab luka itu tidak terulang.
Parwati Retnaningsih
Editor: Ariska Sani