![]() |
Ilustrator: Maheswara |
Kecupan Maut Robusta
Berisik negeri ini tak kunjung usai
Sejenak aku ingin menyingkir
Dengan robusta yang kuseduh dalam cangkir
Hitam pekat merona
Menggoda seperti perawan desa
Belum tersentuh kesuciannya
Alus tingkah laku
Kusruput dengan balutan lagu Hindia
Nikmat mana yang Kau dustakan?
Rasa ini membangkitkan gairah
Untuk kembali menulis bait-bait sajak yang memerdekakan
Pemberian Kawan Seperjuangan
Kuhisap sebatang
Aroma cengkeh menyerebak
Menelusuri lorong kontradiksi sore tadi
Lalu kuhembuskan pada senjakala
Di mana kita selalu bercengkrama
Ahh ... sebentar, sebentar
Baru ingat daku bukan perokok
Cuma hobi menunggu asap berlalu lalang
Hingga tak sengaja bertatap salam
Aku bingung
Sejenak pandanganku buram
Seperti temaram lampu negeri nun jauh yang tak kunjung juga terang
Keluh Kesah Kenari dan Murai
Konon nyanyian kenari berujar:
Gawat
Kita sedang gawat
Demokrasi dalam kiamat
Paman menolong dengan hati terbuka
Berlagak polos nan setia
Tanpa aba aba
Pak pengrajin mebel menyiapkan kursi bagi anak anaknya
Murai pun membalas:
Ah, itu biasa saja
Ada yang lebih parah
Di Wakanda
Ada seorang penjual es teh
Tapi yang laku keras malah agamanya
Selimut Anak Petani Pakel
Ibu,
Mengapa engkau menangis tersedu-sedu
Bukankah esok panen raya
Hasil tani melimpah ruah
Hari yang sakral
Tak datang dua dalam setahun
Maka tersenyumlah
Berbahagialah
Ibu,
Mengapa mereka meminta secara paksa
Katanya tanah ini tak bertuan
Tak punya surat tanda kepemilikan
Tanpa surat perintah
Kepalaku dihantam
Dilempar terjerembap ke tanah
Asu!
Byalak rainiro iku!
Penyebab sendu
Amarah tak berkesudahan
Adalah mereka yang menyembunyikan pistol dibalik jaket hitam
Dengan dalih cipta tentram
Berkali-kali mereka kencingi nama instansi
Dasar Kau kriminal berseragam
Iya, benar, memang benar begitu
Aku paham ibu
Tangismu itu bukan sebuah bentuk keputusasaan
Tetapi keyakinan berselimut harapan
Tekad turun temurun
Perlawanan atas ketidakadilan
Baiklah Bu
Tangan kanan setan itu pasti kembali
Tak kan kubiarkan mereka
Merenggut nyawa kehidupan kita
Lain kali
Cangkul, arit, serta harapan
Pasti menjadi siasat mematikan
Memoar Ingatan Bunda
Sebagian anak-anak bunda telah lupa
Tentang hari di mana semua kekacauan berasal
Maka biar kuingatkan saja:
Warisanmu tak pernah pudar
Sisa ampas kopimu mengakar
Hingga ujung tanah terdalam
Membuat candu akan amnesia
Kini bukan lagi leviathan yang menakutkan
Ia telah berganti kulit
Menjadi kepatuhan yang Kau idam-idamkan
Diam
Diam
Diam
Mulut mereka
Disumpal algoritma instagram
Kau renggut keberanian itu dengan tanpa suara desing senapan
Atau jerit mereka yang pernah Kau culik tengah malam
Abadi
Dengan serbuk bunga baru
Menderu angin berpasir
Coba mendobrak kebuntuan
Menentang penggemar eksploitasi
Pemegang saham perusahaan
Penguasa pasar iblis sialan
Berkali-kali ia tersungkur
Bangkit kembali
Berdiri membela yang diyakini
Pun selalu diadili
Dianggap
Sok menentukan political correctness
Sok paling mengerti soal keadilan
Sok bijaksana
Sok paling ideal
Sak-sok-sak-sok kabeh!
Memangnya kenapa?
Jika minor dalam nada berbeda
Jarang ditemukan menjelang akhir dunia
Maka biarlah aku
Menjadi edelweis yang ditakuti kapitalis
Iqbal Fauzi Abadi
Editor: Ariska Sani