XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Kopi, Udud, dan Masalah Setelahnya

 

Ilustrator: Maheswara

Kecupan Maut Robusta

Berisik negeri ini tak kunjung usai

Sejenak aku ingin menyingkir

Dengan robusta yang kuseduh dalam cangkir

Hitam pekat merona

Menggoda seperti perawan desa

Belum tersentuh kesuciannya

Alus tingkah laku

Kusruput dengan balutan lagu Hindia

Nikmat mana yang Kau dustakan?

Rasa ini membangkitkan gairah

Untuk kembali menulis bait-bait sajak yang memerdekakan



Pemberian Kawan Seperjuangan

Kuhisap sebatang

Aroma cengkeh menyerebak

Menelusuri lorong kontradiksi sore tadi

Lalu kuhembuskan pada senjakala

Di mana kita selalu bercengkrama


Ahh ... sebentar, sebentar

Baru ingat daku bukan perokok

Cuma hobi menunggu asap berlalu lalang

Hingga tak sengaja bertatap salam


Aku bingung

Sejenak pandanganku buram

Seperti temaram lampu negeri nun jauh yang tak kunjung juga terang



Keluh Kesah Kenari dan Murai

Konon nyanyian kenari berujar: 

Gawat 

Kita sedang gawat

Demokrasi dalam kiamat

Paman menolong dengan hati terbuka

Berlagak polos nan setia

Tanpa aba aba

Pak pengrajin mebel menyiapkan kursi bagi anak anaknya


Murai pun membalas:

Ah, itu biasa saja

Ada yang lebih parah

Di Wakanda

Ada seorang penjual es teh 

Tapi yang laku keras malah agamanya



Selimut Anak Petani Pakel

Ibu,

Mengapa engkau menangis tersedu-sedu

Bukankah esok panen raya

Hasil tani melimpah ruah

Hari yang sakral

Tak datang dua dalam setahun

Maka tersenyumlah

Berbahagialah


Ibu,

Mengapa mereka meminta secara paksa

Katanya tanah ini tak bertuan

Tak punya surat tanda kepemilikan

Tanpa surat perintah

Kepalaku dihantam 

Dilempar terjerembap ke tanah


Asu!

Byalak rainiro iku!

Penyebab sendu

Amarah tak berkesudahan

Adalah mereka yang menyembunyikan pistol dibalik jaket hitam

Dengan dalih cipta tentram

Berkali-kali mereka kencingi nama instansi

Dasar Kau kriminal berseragam


Iya, benar, memang benar begitu

Aku paham ibu

Tangismu itu bukan sebuah bentuk keputusasaan

Tetapi keyakinan berselimut harapan

Tekad turun temurun 

Perlawanan atas ketidakadilan


Baiklah Bu

Tangan kanan setan itu pasti kembali

Tak kan kubiarkan mereka 

Merenggut nyawa kehidupan kita


Lain kali

Cangkul, arit, serta harapan

Pasti menjadi siasat mematikan



Memoar Ingatan Bunda

Sebagian anak-anak bunda telah lupa

Tentang hari di mana semua kekacauan berasal

Maka biar kuingatkan saja: 

Warisanmu tak pernah pudar

Sisa ampas kopimu mengakar

Hingga ujung tanah terdalam

Membuat candu akan amnesia 

Kini bukan lagi leviathan yang menakutkan

Ia telah berganti kulit

Menjadi kepatuhan yang Kau idam-idamkan

Diam

Diam 

Diam

Mulut mereka 

Disumpal algoritma instagram

Kau renggut keberanian itu dengan tanpa suara desing senapan

Atau jerit mereka yang pernah Kau culik tengah malam



Abadi

Dengan serbuk bunga baru

Menderu angin berpasir

Coba mendobrak kebuntuan

Menentang penggemar eksploitasi

Pemegang saham perusahaan

Penguasa pasar iblis sialan


Berkali-kali ia tersungkur

Bangkit kembali 

Berdiri membela yang diyakini

Pun selalu diadili

Dianggap 

Sok menentukan political correctness

Sok paling mengerti soal keadilan

Sok bijaksana

Sok paling ideal

Sak-sok-sak-sok kabeh!


Memangnya kenapa? 

Jika minor dalam nada berbeda

Jarang ditemukan menjelang akhir dunia

Maka biarlah aku

Menjadi edelweis yang ditakuti kapitalis


Iqbal Fauzi Abadi

Editor: Ariska Sani



Related Posts

Related Posts

Posting Komentar