Illustrasi: SweetSandPie |
Liang lahat itu nampak cukup jeluk. Sempurna untuk mengubur seonggok daging tanpa nyawa, yang baunya telah begitu busuk. Sudah tiga hari yang lalu, agaknya malaikat pencabut nyawa mendatanginya. Atau sebaliknya, dia yang mengundang malaikat pencabut nyawa untuk datang, bersilaturrahmi, basa-basi sebentar dan kemudian memerintah demi mencabut nyawanya. Betapa lucu melihat roman kaget malaikat pencabut nyawa kala mendengarnya.
Mayatnya baru ditemukan hari ini. Saat Mad Item, si pemuda bujangan yang disegani, hendak datang kepadanya guna meminta jampi-jampi atau pelet demi merebut hati Narsi. Gadis yang terlampau lama ia sukai, tapi sayang dia sudah bersuami sungguhpun belum dikaruniai anak. Orang bilang suami Narsi itu mandul. Soalan itu yang menyebabkan Mad Item menjadi bahan ejekan kawan-kawannya. Seorang Mad Item, preman kampung yang disegani, dalam soalan cinta kalah dengan lelaki mandul. Kiranya demikian ejekan kawan-kawannya.
Margono, seonggok daging busuk yang siap dikubur itu, memang mahsyur sebagai dukun santet yang paling sakti, tak hanya di Kampung Alus melainkan di kampung-kampung lain juga. Bahkan, orang-orang kota sering datang, mulai dari para Caleg yang minta jampi-jampi demi memperoleh kursi, pemain sepakbola nasional yang minta supaya larinya kencang laksana kijang, bahkan ada bintang sinetron di tivi yang dahulu bertandang ke rumah si dukun. Selanjutnya sungguh adanya, orang-orang itu mendapat apa yang mereka inginkan.
Pada hari itu, di pagi yang masih begitu dingin, Mad Item dengan begitu tergesa mendatangi rumah si dukun. Dirinya sudah tak kuat lagi dengan ejekan dari kawan-kawannya. Mad Item ingin meminta pelet yang paling mustajab, demi memikat hati Narsi, tanpa peduli berapa pun uang yang harus ia keluarkan. Tetapi, harapan demi memperoleh pelet pun sirna sudah. Diketuknya pintu dan dipanggilnya si dukun, dari pelan sampai keras penuh kegeraman, tetapi hampa nihil jawaban. Tak sabar, ia pun terpaksa mendobrak pintu.
“Alamak!”
Seonggok daging tak berguna terbujur membusuk dihadapannya. Lalat hijau serta tikus-tikus sudah mulai mengerubunginya. Nyaris tak bisa dikenali, lantaran mata, hidung, telinga, sampai seluruh kepala telah digerogoti binatang-binatang menyedihkan itu. Yang menampakan bahwa itu Margono, si dukun, adalah pakaian hitam, celana hitam dengan sabuk putih gambar naga yang sering ia kenakan. Serta gelang dan kalung dari gigi kalong yang masih utuh, tak membuat binantang bernafsu memakannya.
Mad Item mual dan menagis. Ia mual lantaran bau busuk dan pemandangan yang begitu menjijikan. Menangis karena tak akan dapat pelet yang sebelumnya begitu ia dambakan. Itu berarti hidupnya akan semakin menderita, sebab ejekan dari kawan-kawannya mungkin tak akan pernah berakhir sampai kapan pun.
Kabar matinya si dukun mahasakti mandraguna itu pun tersiar. Sementara beberapa warga desa berbondong mendatangi rumahnya. Kyai setempat dibantu beberapa warga desa mulai memandikan, menyolatkan seakan-akan dia seorang beragama, dan membawanya ke pemakaman. Semua dilakukan begitu cepat, karena memang tak banyak orang datang untuk melawat, dan tak ada juga sanak keluarga yang ditunggu. Sungguh sejak mendeklarasikan diri sebagai dukun, keluarga Margono memutus hubungan dengannya. Bahkan hingga ia menghadap lubang sempit tempatnya disiknya malaikat kubur, tetap tak ada keluarga dan saudara yang datang. Menyedihkan.
Pak Kyai dan warga desa membumikannya ke dalam lubang kubur, membaca doa, menguruknya serta memasang papan kayu yang bertuliskan “MARGONO SI DUKUN”. Tak ada ukiran doa-doa dalam bahasa arab atau tetek bengek lainnya. Karena meskipun ia dimakamkan secara beragama, si pembuat nisan tak benar-benar yakin bahwa si dukun itu beragama, sebagaiamana ia tak yakin pula dengan nama ayah si dukun. Jadi tak mau ambil pusing, ia goreskan saja apa yang ia tahu dan yang ia mau, “MARGONO SI DUKUN”.
“Dia pasti akan disiksa habis-habisan oleh malaikat kubur. Sepanjang hidupnya tak pernah beribadah. Bersekutu dengan setan pula”, kata seorang warga.
“Jangan seperti itu, amal manusia siapa yang tahu.” Kata Pak Kyai sambil menepuk-nemuk tangannya yang penuh dengan tanah sisa-sisa penguburan.
“Ya kan memang begitu, Kyai. Sepanjang hidupnya cuman santet, santet dan santet. Tak ada kebaikan selama hidup. Paling banter dia berqurban satu sapi pas Idul Adha lalu. Itupun dagingnya berakhir di makan anjing-anjing karena warga nggak ada yang mau memakannya. Sudah pasti itu haram.”
“Hush! Tidak baik ngrasani orang meninggal di depan makamnya.” Sela Pak Kyai. “Lebih baik kita refleksi diri. Doakan saja Margono, agar dapat ampunan Tuhan.” Kemudian mereka pun pergi meninggalkan Margono si dukun sendirian bersama cacing-cacing yang memakan daging menyedihkan itu. Daging tak berguna yang penuh dosa.
**
Bukan hal yang mengherankan jika warga yang ikut menguburkan Margono si dukun berkata bahwa ia pasti disiksa dalam kuburnya. Karena memang si dukun tergolong kafir, musyrik, sesat, kata mereka. Tapi ada benarnya juga kata Pak Kyai bahwa kita tak boleh cepat menghakimi, lebih baik refleksi saja, karena amal tak ada yang tau.
Sepantun tentang Mad Item. Sehabis kematian Margono si dukun, kini ia sudah mulai bertaubat. Malahan dia secara jantan menghadap Wage, suami Narsi, berlutut dan memohon maaf lantaran selama ini ia senantiasa berencana merebut istrinya. Kepada Narsi sendiri dia bersimpuh berlutut dan berjanji tak akan pernah mengganggunya lagi. Mad Item sudah tak peduli dengan ocehan kawannya. Dia ingin hidup dalam damai, mulai rajin ke surau, dan meninggalkan dunia hitamnya sebagai preman.
Hidayah Mad Item didapatnya hari itu. Kala ia sebagai orang pertama yang melihat mayat si dukun. Dia melihat betapa menjijikan dan mengerikan mayat itu, bersama para tikus dan lalat hijau yang menggerogotinya. Mad Item melihatnya serupa satu azab dari dosa manusia. Dia mengilhaminya menjadi satu pesan dan pelajaran hidup, bahwa seorang pendosa akan mati sia-sia dengan segala azabnya. Seperti Margono si dukun.
Berangkat dari hidayah itu, dia mulai merasa takut akan kematian. Atau tepatnya kematian seperti Margono si dukun, yang mati secara sia-sia dan mengerikan. Akhirnya, ia memutuskan untuk taubat, berjanji untuk tak mengganggu Narsi, meminta maaf kepadanya dan kepada suaminya serta akan lebih rajin beribadah.
Wage dan Narsi secara santun memaafkan Mad Item. Dengan sepenuh hati ia percaya bahwa Mad Item sudah taubat secara benar-benar dan menghargai permintaan maafnya. Mereka pun juga percaya bahwa setiap manusia tak akan luput dari dosa, sekecil apapun itu. Kata Wage, selalu ada gerbang demi kembali ke jalan yang lurus. Ucapnya seraya memberikan sapu tangan kepada Mad Item demi mengusap air matanya.
Penaka terhentak oleh ucapannya sendiri. Wage yang mengatakan, selalu ada gerbang demi kembali ke jalan yang lurus, justru tersengat. Ia beraju demikian, sedangkan dirinya sendiri merasa punya dosa yang belum ia bayar, bukan dosa kecil malah. Tak banyak yang tahu memang. Sebuah rahasia yang ia kubur selama ini bahwa sebenarnya Narsi tak pernah mencintainya. Bahkan, dahulu ia datang ke Margono si dukun untuk merebut hati gadis itu.
Waktu itu, dia menemukan Narsi pingsan di tengah kebun singkong. Tak ada yang tahu bagaimana awal dan terjadinya. Yang jelas, ditemukannya gadis itu sudah tanggal celana dalamnya, dengan darah mengalir di sela-sela kakinya. Rupanya ia diperkosa oleh seorang jahanam keji. Laknat sekali orang yang telah memerkosa Narsi, kata Wage. Ia berjanji akan menemukan lelaki jahanam itu dan membunuhnya.
Namun, setiap kali ditanya, Narsi seperti orang linglung. Justru dia tak pernah merasa sungguh diperkosa. Akhirnya, Wage memutuskan untuk tidak mengungkitnya lagi. Semenjak hari itu pula Wage mulai sering menemui Narsi dan mulai tumbuh benih-benih cinta. Dia bahkan berniat menikahi Narsi, karena memang sejak dia menemukannya tergeletak di tengah kebun, Wage terpesona dengan cantiknya. Meski begitu, Narsi tak pernah punya rasa sedikit pun kepada Wage. Sebab bukan rahasia umum jika Wage adalah lelaki mandul, tak mungkin bisa mempunyai anak. Soalan itu diketahui dari istrinya terdahulu yang menggugat cerai Wage lantaran alasan tersebut.
Cinta ditolak, dukun pun bertindak. Untuk urusan seperti ini di masa itu, Margono si dukun adalah ahlinya.
“Mbah, aku mau Narsi jatuh cinta kepadaku. Buat dia menerima pinanganku. Buat dia menerima semua kekuranganku. Aku ingin menjadi suaminya, jangan pisahkan kita selamanya. ”Tampak begitu mendayu untuk seorang lelaki, tapi memang itu keinginannya. Margono pun memberinya jampi-jampi dan syarat-syarat, seperti harus tidur di kuburan selama tiga malam, hanya memakan daging burung gagak mentah selama tiga hari, dan yang terpenting, ucapkan jampi-jampi ini di depan Narsi. Kata Margono si dukun.
Alhasil, terbukti memang, sampai sekarang pun hubungan mereka tetap awet meskipun ada kenyataan bahwa mereka tak akan bisa memiliki anak. Tapi setidaknya secara biologis Wage bisa menguasai wilayah territorial yang intim dari Narsi secara halal dan sah menurut agama. Meskipun dalam artian sebenarnya, dia menguasainya lewat bantuan setan. Walakin, tak bisa dipungkiri oleh waktu sekalipun, sampai pada titik dimana Mad Item meminta maaf kepada mereka, Narsi tetap menjadi istri sahnya. Wage tersenyum bangga!
Sehabis permintaan maaf yang berakhir dengan senyum kemenangan Wage, kemudian mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke surau. Mengingat sebentar lagi memasuki waktu maghrib. Di sana sudah siap Wak Amung, si penjaga surau, yang suaranya selalu berkumandang lima kali sehari. Selain si penjaga surau, yang pasti juga ada adalah Pak Kyai. Hampir selalu dia yang menjadi pemimpin peribadatan di Surau. Saat Wak Amung memamerkan suara merdua yang melantunkan seruan beribadah, mereka mulai mengambil air demi bersuci, berdiri di shaf masing-masing untuk kemudian melaksanakan peribadatan. Yang pastinya dipimpin Pak Kyai.
Pak Kyai memang menjadi figur alim di kampung. Jika ihwal yang hitam mereka akan mencari Margono si dukun, maka hal yang putih mereka akan mencari Pak Kyai. Jika perihal pelet, jimat dan mantra-mantra selalu mengarah ke Margono si dukun, maka soal pelajaran mengaji dan ceramah-ceramah di Surau sudah pasti mengarah kepada Pak Kyai. Mereka bisa dibilang sebagai dua entitas yang berbeda. Ibarat Tuhan menciptakan malaikat dan iblis, maka Pak Kyai adalah malaikat dan Margono si dukun adalah iblis.
Namun, ada titik tertentu, dimana mereka pernah bertemu, di tempat Margono si dukun. Saat itu Pak Kyai datang dengan terburu-buru, tanpa mengetuk pintu dan langsung nyelonong masuk. Saya butuh bantuanmu, kata Pak Kyai dan Margono tertawa terbahak-bahak.
“Bantuan apa, Kyai? Jadi sekarang di Quran sudah ada dalil tentang meminta bantuan kepada setan? Ha-ha-ha”, Margono tertawa terbahak-bahak sampai menumpahkan kopi yang sebelumnya akan ia minum.
Hari itu memang begitu berat dan konyol. Pak Kyai baru pulang dari surau dan mampir ke warung Mak Udah untuk ngopi sejenak. Sebenarnya bukan untuk sekedar ngopi sahaja, tapi untuk mencuri pandang ke anak Mak Udah: Narsi. Sudah lama memang Pak Kyai mengagumi paras ayu dan elok lekuk tubuh Narsi. Tetapi, Pak Kyai sadar bahwa ia sudah punya empat istri. Jika ia menikahi Narsi, maka ceramahnya selama ini yang selalu menyuarakan, “Kita boleh menikah lebih dari sekali, tapi maksimal empat” akan sia-sia belaka. Bagai menjilat dan mengemut ludahnya sendiri di tanah yang kotor.
Siang itu Narsi terlihat cantik, memakai kaos oblong dengan belahan leher sedikit rendah dan rok yang meskipun tak terlalu tinggi, namun cukup untuk memancing Pak Kyai menumpahkan semua birahinya. Entah setan apa yang datang sampai muncul niat keji, biadab dan begitu menyimpang dari nilai-nilai yang selalu diajarkannya. Persetan, kata Pak Kyai.
Saat Narsi beranjak pergi demi mengantar pesanan salah satu pembelinya, diam-diam Pak Kyai mengikutinya. Dan begitu mereka sampai di kebun singkong, dan Pak Kyai merasa tak ada orang lagi selain mereka, tibalah saatnya. Tindakan biadab bin laknat dimulai! Pak Kyai memerkosa gadis tersebut hingga pingsan dan membiarkan tubuh gadis itu tergeletak begitu saja. Seonggok daging yang baru saja diterpa badai nafsu terkapar tak berdaya di tengah kebun. Yang di kemudian waktu ditemukan Wage.
Setelah selesai dengan tumpahan birahi dahsyatnya, barulah rencana panik dilakukan. Persetan, tindakan seperti setan harus diselesaikan dengan cara setan pula. Kira-kira begitu gumamnya, sampai dirinya pergi buru-buru ke tempat Margono si dukun, kemudian masuk tanpa mengetuk dan mengatakan bahwa ia meminta bantuan yang ternyata membuat Margono si dukun tertawa terbahak-bahak.
“Aku ingin jampi-jampi buat Narsi. Aku ingin dia lupa bahwa aku memerkosanya barusan. Aku ingin masalah ini selesai. Silakan minta apa saja, wahai dukun laknat, semua akan ku berikan.” Dan sampai disitulah Pak Kyai mulai memendam dalam rahasia terbesar dalam hidupnya. Rencana iblis dibalik sikap malaikatnya.
**
Hari-hari setelah kematian Margono si dukun mahasakti mandraguna, kehidupan warga kampung berjalan seperti biasa, tampak seperti tak ada satu pun yang berkurang dan ganjil. Kecuali Wage, yang setiap hari panik, ia senantiasa takut jika matinya Margono membuat magis peletnya menguap, kemudian Narsi meninggalkannya. Begitupun Pak Kyai, yang selalu khawatir jika seandainya Narsi sadar dan melaporkannya ke polisi.
Tapi yang paling takut adalah Margono si dukun. Dia sedang terbaring tak berdaya dalam gelap liang lahat dan siap menunggu siksa kuburnya. Tetapi setidaknya ada satu kebaikan dari Margono si dukun, dibalik semua tindak sesatnya. Saat Pak Kyai meminta bantuannya dan dia berjanji akan memberikan segalanya kepada Margono, maka ia menjawab: Aku ingin taubat. Aku sudah bosan dengan semua kawan iblisku. Bimbing aku, pertemukan aku dengan Tuhanmu!
Dan sejak menyelesaikan tugas terakhirnya untuk Pak Kyai, Margono telah belajar beribadah dan menjadi manusia beragama, serta mulai meningglkan dunia hitamnya. Meski tak ada yang tau dan tetap dianggap sebagi dukun santet. Bahkan ketika di Idhul Adha ia berqurban satu sapi, tetap dianggap sebagai hal yang haram. Sampai kemudian ia mati di rumahnya dan ditemukan Mad Item sudah membusuk. Dan begitulah ketika Pak Kyai mengatakan, "Amal manusia mana ada yang tau” di depan kuburan Margono si dukun mahasakti mandraguna yang kafir dan laknat itu.
Ahmad Effendi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai