![]() |
Illustrasi: SweetSandPie |
"Pancasila bukan hanya sekedar lima poin tanpa makna. Tapi semua berasal dari suasana kebatinan bangsa kala itu. Pancasila merupakan buah kesadaran dari pendiri bangsa akan realitas kemajemukan di Indonesia."
Tepat
pada hari ini—tanggal 1 Juni, 74 tahun silam—Soekarno menyampaikan sebentuk
gagasan di dalam pidatonya. Gagasan yang disampaikan dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tersebut,
memuat lima ide tentang dasar negara, antara lain: Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Peri kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan
sosial, dan Ketuhanan.
Lima
gagasan tersebut yang nantinya menjadi cikal bakal dasar negara kita saat ini:
Pancasila. Menurut Soekarno sendiri, kata “Pancasila” merupakan istilah yang
paling tepat untuk digunakan sebagai dasar negara. “Namanya bukan Panca Dharma,
tetapi saya namakan ini dengan petunjuk teman kita ahli bahasa (dan diputuskan)
namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” kata beliau
kala itu.
Perdebatan
panjang sempat terjadi mengenai siapa pencetus pertama istilah Pancasila
tersebut, karena memang sebelum Soekarno, pada tanggal 29 dan 31 Mei secara
berturut-turut Mohamad Yamin dan Soepomo mengeluarkan gagasan yang serupa.
Namun, menurut Hatta, Soekarno-lah satu-satunya yang tegas mengucapkan philosofische
gronslach (dasar pemikiran) untuk negara yang akan dibentuk.
“Yamin menyampaikannya
hanya dalam forum kecil dan informal,” tegas Hatta dalam sidang Panitia Lima
yang dibentuk pada awal 1975. Tentu, Soekarno menyampaikan lima dasar
gagasannya tersebut bukan hobi semata. Ia bukan hanya sekadar menyampaikan lima
poin tanpa makna. Tapi semua berasal dari suasana kebatinan bangsa kala itu.
Pancasila merupakan buah kesadaran dari pendiri bangsa akan realitas
kemajemukan di Indonesia.
1934,
pada bulan Februari, Soekarno sampai di Pulau Flores dalam sebuah pengasingan,
di Ende tepatnya. Selama empat tahun disana, Soekarno dihadapkan dalam sebuah
realitas penduduk yang mayoritas buta huruf. Bukan terasing, malah dengan
semangat ia mulai menularkan “ruh” nasionalisme kepada masyarakat. Di pulau itu
ia banyak membaca dan berdiskusi bersama Pastur di perpustakaan gereja,
berdialog bersama warga setelah sholat di Masjid Ar-Rabithah, dan mengajari,
serta mengajak masyarakat berpentas sandiwara.
Dari
pelajaran berharga selama masa pengasingan tersebut, bersama penduduk yang
majemuk, tetapi tetap bertoleransi, Soekarno mulai menemukan nilai dasar yang
merupakan perwujudan tekad dan cita-cita kebangsaan. Sehingga, tujuh tahun
setelah kembali dari pengasingan, ia mengemukakan nilai tersebut dalam suasana
kebatinan bangsa menjelang kemerdekaan.
Hari ini,
74 tahun setelah Soekarno menyampaikan lima sila tersebut, kesemuanya gagal
dimaknai. Pancasila gagal dimaknai baik secara nilai maupun implementasi.
Secara nilai, Pancasila tak ubahnya hanya menjadi lima sila yang wajib untuk
dihafalkan, tanpa mengerti “ruh luhur” dibalik kelahirannya. Secara
implementasi, Pancasila kerap dijadikan dalih untuk “membungkam” orang lain
yang berseberangan. Untuk kasus yang kedua, kerap bernuansa politis.
Gagal
Dimaknai
Hari ini,
Pancasila sekadar menjadi mantra, hafalan, maupun etiket sosial yang diajarkan
kepada kita, bahkan sejak jenjang sekolah dasar. Akan tetapi, layaknya sebuah
hafalan, Pancasila tak ubahnya hanya sebuah teks tanpa kita mengerti untaian
makna di dalamnya. Akhirnya, Pancasila bukan lagi menjadi nilai, melainkan
simbol semata.
Layaknya
simbol yang hanya mewajahkan satu sampul ke publik, untuk kemudian diwacanakan
sebagai hal yang rigid. Implikasinya, hanya ada satu tafsir kebenaran dari
simbol tersebut yang berarti tak membuka pandangan baru. Kerap sebuah tafsir
hanya dibuat oleh segelintir orang yang memaksa publik mengamininya. Imbasnya,
masyarakat yang tak paham menjadi terasing dan kerap kali dianggap
“Tidak-pancasila”.
Padahal
secara nilai, Pancasila merupakan dasar yang mampu “Merumahkan” semua
pandangan. Karena Pancasila lahir dari perbedaan. Sejatinya, perbedaan
merupakan satu keniscayaan dalam negera yang majemuk. Untuk kemudian nilai
Pancasila merangkul semua perbedaan dalam bingkai yang dinamakan Bhinneka
Tunggal Ika.
Namun,
kenyataannya Pancasila sendiri kerap ditafsirkan secara tunggal, sehingga
memunculkan dikotomi yang hitam dan putih – Pancasila dan anti-pancasila.
Persekusi oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) terhadap satu diskusi karena
dianggap bertentangan dengan Pancasila banyak terjadi. Bahkan, pembakaran rumah
ibadah sampai pengusiran warga yang dianggap berbeda keyakinan merupakan
implikasi dari hal tersebut.
Puncaknya,
hari ini begitu menjamur satu fenomena yang saling klaim “Siapa Paling
Pancasilais”. Imbasnya, seseorang atau kelompok yang dianggap tidak memenuhi
kriteria tersebut—dianggap anti-pancasila—akan dengan mudahnya diintimidasi
sampai persekusi. Padahal, yang kerap terjadi, hal ini punya nuansa yang begitu
politis.
Harus
ditengok pada masa Orde Baru (Orba), saat Soeharto berusaha membuat tafsir
tunggal terhadap Pancasila. Pancasila ia gunakan sebagai dalih untuk
memberanguskan lawan-lawan politiknya. Bahkan kepada rakyatnya, ia menyampaikan
pula bahwa mengkritik dirinya sama saja dengan mengkritik Pancasila, yang
artinya musuh negara. Puncaknya, adalah yang bisa menghitung berapa banyak
nyawa hilang dan mati karena dianggap anti-pancasila? Tragedi kelam yang bisa
diingat salah satunya yaitu ratusan umat muslim meregang nyawa di Priok karena
menentang wacana Soeharto.
Hal ini
menuai banyak sekali kritik, karena selain pemerintah menjadi semakin otoriter,
hal ini pula menjadi pengaminan pemerintah dalam melakukan tindakan represif
terhadap rakyatnya. Sehingga, tak heran jika pada 13 Mei 1980 — bahkan empat
tahun sebelum tragedi Priok — ada 30 orang yang menandatangani Petisi 50. Inti
petisi tersebut adalah sikap keprihatinan terhadap perilaku Soeharto. Dalam
buku Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2009),
salah seorang yang menandatangani Petisi 50, Natsir mengatakan:
“Kalau
tadinya Pancasila berfungsi sebagai titik temu dan pemersatu, berjiwakan
Bhinneka Tunggal Ika, sekarang justru sebaliknya; diberi fungsi untuk
menyingkirkan ciri-ciri khas yang telah dihayati dari zaman ke zaman oleh
golongan-golongan sebangsa, jauh sebelum Pancasila dirumuskan.”
Kata-kata
Natsir nampak masih relevan hingga hari ini. Bagaimana masih banyak
kelompok-kelompok yang menafsirkan Pancasila secara membabi buta demi
kepentingan mereka. Implikasinya, seperti yang telah dijelaskan, penghalalan
persekusi terhadap kelompok yang berbeda, serta pelecehan bernuansa rasial
menjadi potret dalam negara yang katanya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”
ini.
Memaknai
Ulang Nilai Pancasila
Pancasila
mempunyai nilai yang dalam dan luhur. Sehingga untuk memaknainya,
pertama-pertama perlu adanya revitalisasi terhadap nilai Pancasila. Dalam
Etika Bangsa Berbudaya di Abad ke 21: Keharusan Kalau Indonesia mau Maju (2012),
Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa kita punya etika nasional yang menjadi
prasyarat jika bangsa ingin maju, sejahtera dan damai. Ia menulis setidaknya
ada lima etika, antara lain: tak boleh ada tekanan maupun paksaan dalam hal
agama; dalam situasi apapun harus bertindak secara beradab; kita maju dan maju
bersama; sukseskan demokrasi, dan; dahulukan yang miskin dan lebih agar lebih
manusiawi.
Gagasan
tersebut agaknya merupakan reaksi dari bobroknya tatanan masyarakat hari ini.
Seharusnya jika kita mau menggali lebih dalam nilai-nilai luhur Pancasila,
mulai dari hal paling sederhana, tapi masih sulit: menghormati kebebasan
beragama, kita akan menjadi bangsa yang beradab. Namun, memang hal ini bukan
perkara menggosok ujung lutut. Semua elemen harus kerja keras, salah satunya
pendidikan (sekolah) yang menjadi corong dalam penanaman nilai.
Mengutip
Yudi Latif, dari Aliansi Kebangsaan yang berpendapat bahwa pembangunan manusia
Pancasila adalah fungsi dari pembangunan mental-spiritual-kultural melalui
sektor pendidikan yang beriringan dengan fungsi intitusional-politikal dan
fungsi material-teknologikal (Kompas, 24/1/2019). Artinya, pendidikan di
Indonesia menyiapkan anak bangsa sebagai manusia Pancasila, yang berarti hidup
selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Pendidikan
formal, khususnya keagamaan harusnya bukan menjadi ajang penanaman doktrin,
simbol maupun ritual tertentu, melainkan harus mampu menyelami nilai-nilai yang
terkandung di dalam ajaran agama tersebut. Penghormatan dan penghargaan
terhadap perbedaan harusnya menjadi barang yang diberikan kepada para peserta
didik.
Hal ini
selaras pula dengan redefinisi konsep misi atau dakwah. Sudah semestinya, hal
tersebut–misi atau dakwah–ditelaah dengan lebih mendalam dan tidak tersandera
pada penambahan statistik jumlah pemeluk, melainkan pada spiritualitas para
pencari kebenaran serta kontribusi terhadap solusi permasalahan masyarakat
(Anita Lie, “Manusia Pancasila”, dalam Kompas 27/5/2019).
Selanjutnya,
apa yang dirumuskan oleh Franz Magnis Suseno selaras pula dengan konsep
moralisasi. Bahwa sebagai manusia yang beradab, harusnya bersikap dengan penuh
moral. Moral yang memanusiakan diri sendiri, moral pula yang memanusiakan orang
lain. Setiap sila dalam dasar negara mengandung nilai moral, yang sesungguhnya
Soekarno telah melihatnya dalam bingkai sejarah bangsa.
Bagaimana
ia melihat nyawa toleransi yang hidup di masyarakat Ende. Atau bagaimana ia
mengingat semangat sumpah pemuda, yang bertumpah darah satu, tanah air
Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan disatukan dalam bahasa
persatuan. Bukankah pendiri bangsa telah sadar akan segala perbedaan, budaya,
dan agama, sehingga sudah jadi tuntutan moral kita untuk menghormatinya. Bukan
justru saling serang karena beda ajaran. Bukankah sebagai manusia, kita dan
mereka punya hak asasi, sehingga telah jadi tuntutan moral untuk melindunginya.
Tidak malah kita “membunuh” hak tersebut.
Bukankah
para pahlawan juga sadar, bahwa memperjuangkan persatuan adalah harga mati,
sehingga mempertahankannya kini jadi tanggung jawab moral kita. Namun, yang
terlihat, hari ini kita justru terpolarisasi menjadi dua kubu yang mengancam
persatuan negara ini. Pantaskah kita disebut bermoral?
Para founding
fathers dalam sidang BPUPKI, 74 tahun silam juga pasti menyadari bahwa
akan adanya perbedaan pendapat. Sehingga kini, berdialog bersama, saling
mendengar argumen, menjadi cara paling bermoral sebagai bangsa. Hingga
akhirnya, keadilan akan tegak saat bangsa mulai bisa duduk bersama membicarakan
masalah bangsa. Bukan saling klaim kebenaran, itu tak bermoral.
Hingga
saat kita melihat birunya langit, mari bayangkan pula saat Soekarno melihat
hamparan laut Ende yang biru. Kira-kira apa yang ada dibenaknya? Entah. Kita
semua tak tahu. Akan tetapi, yang jelas dia akan merasa sesak saat hari ini
bangsa kita lebih gemar membicarakan Zaskia Gotik yang tak hafal Pancasila,
dari pada membicarakan rumah ibadah yang dibakar. (*)
Mntap
BalasHapus