XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Spam Pesan Kampanye, Penyalahgunaan Data Pribadi, adalah Menjijikkan Bagi Pemilwa

 

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai

Pada era digital seperti sekarang ini, data pribadi menjadi hal yang kudus. Sebagaimana mengutip pengacara sipil, Katrin Sarap dalam NJORD Law Firm, hal ini karena ia “tidak hanya untuk melindungi data seseorang, tetapi juga untuk melindungi hak dan kebebasan dasar orang tersebut”. Maka dari itu, ketika data pribadi telah dikangkangi, ia sudah tidak suci lagi. Terlebih, jika dipakai dalam sebaran-sebaran yang bermuatan politik tanpa sebuah konsensus, berarti hak dan kebebasan dasar seseorang telah dikangkangi sedemikian telak.

 

Demikianlah, kondisi ini menimpa sejumlah mahasiswa di UNY. Mereka, yang dalam jumlah tidak sedikit, menerima pesan spam yang berisi kampanye pasangan calon ketua BEM tingkat universitas maupun fakultas.


Dari rangkaian kesaksian yang diterima Philosofis, hasil temuan ini mengarahkan kami pada Dua Pasangan Calon dari ajang pemilihan yang berbeda. Diantaranya Pasangan Calon Nomor Urut Dua dari Pemilihan Umum Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial. Lainnya mengaitkan kasus ini dengan  Pasangan Calon Nomor Urut Satu dari Pemilihan Umum Mahasiswa tingkat Universitas.

 

“Resah. Yang pasti tidak nyaman. Kenal tidak, bahkan salam pun tidak. Tiba-tiba dia ngajak dukung salah satu Paslon,” ujar Kedrick Azman, mahasiswa Ilmu Sejarah angkatan 2020 yang mengaku menerima pesan spam kampanye tersebut.

 

Kedrick, panggilan akrabnya, pada Minggu (20/12/2020) sore menceritakan bagaimana ia menerima pesan yang bermuatan politis itu. Kala dihubungi Philosofis via sambungan telepon, mahasiswa asal Bekasi ini mengaku ada keresahan di samping pertanyaan-pertanyaan yang muncul menyoal rentetan pesan tersebut.

 

“Masalahnya, ini tidak hanya menimpa saya saja, Mas. Teman-teman kelas pun demikian,” paparnya, seraya menceritakan bahwa sebagian bahkan ada yang melaporkannya ke pihak berwenang di Pemilwa. “Herannya saya, sih, mereka dapat dari mana, Mas? Karena katanya dari awal mereka sudah punya.”

 

Senada dengan Kedrick, di Fakultas Bahasa dan Seni, kasus yang demikian juga tak luput dialami sebagian mahasiswanya. Salah satunya Krisnina Maharani Tanjung, yang kepada Philosofis melapirkan bukti pesan spam serupa tertanggal 18 Desember 2020.

 

“Pasti ada di FBS [kasus spam kampanye] selain aku. Tapi, aku belum melaporkan ke KPU atau Bawaslu,” ujarnya.

 

Sementara itu, Gilang Jiwana Adikara menyebut, bahwa perkara nomor telepon menurutnya bukan sesuatu “yang terlalu personal”. Dosen Ilmu Komunikasi ini mengatakan, “nomor telepon itu sifatnya publik”, tapi ia menggarisbawahi beberapa hal yang berpotensi menjadikannya bermasalah.

 

Pertama, ia menyebut ada pelanggaran etika, ketika si pemilik nomor telepon ini “dihujani” pesan spam berantai oleh pihak-pihak tertentu tanpa adanya konsensus atau persetujuan.

 

“Mahasiswa harus mengedepankan etika, apalagi ini menyangkut data yang sifatnya pribadi.” Katanya.

 

Ia menjelaskan, idealnya sejak awal (di masa penerimaan mahasiswa baru, PKKMB, atau acara-acara kampus) mahasiswa yang dimintai nomor telepon harus diberikan penjelasan maksud dan tujuannya untuk apa. Jika tidak, atau dalam artian tidak ada konsensus, maka ini menimbulkan masalah.

 

“Harus ada term and condition yang disepakati di awal. Untuk apa nomor telepon ini, dan boleh disebarkan ke siapa saja.”

 

Kedua, Gilang menyebut adanya potensi penyalahgunaan wewenang. Menurutnya, jika hanya ada pihak tertentu yang bisa mendapatkan akses nomor telepon tersebut sehingga akhirnya dipakai untuk kepentingan personal (dan golongannya), maka “ini penyalahgunaan wewenang”.

 

“Apalagi ini menyangkut kampanye. Sifatnya politis,” ia menambahkan.

 

Dari dua hal yang bertendensi, seperti yang dipaparkan Gilang tersebut, dalam konteks pesan spam kampanye di UNY, bisa disebut bahwa ia melanggar etika sebagai mahasiswa dan potensi penyalahgunaan wewenang.


 


Asumsi ini seturut dengan pernyataan Kedrick, yang mengaku tak adanya kesepakatan di awal bahwa nomor teleponnya akan dipakai untuk kepentingan politik. Lebih jauh, ia mengaku tidak tau darimana  para pelaku mendapatkan nomornya. Akan tetapi salah satu temannya, Tegar Pratama mendapat pengakuan dari seorang penyebar pesan. Di mana sang pengirim, yang menyebar spam pesan kampanye mengaku mendapat nomornya dari prodi. Ia juga menyatakan diri sebagai Sekertaris di salah satu Himpunan Mahasiswa yang ada di Fakultas Ilmu Sosial.


“Tentu saja ini merupakan sebuah penyalahgunaan data, dan saya merasa ini mengganggu privasi karena nomor saya disebar dengan sangat mudah.” Pungkas Kedrick.

 

Data Pribadi, Antara Kesadaran dan Penyalahgunaan

Sebagaimana Krisnina Maharani Tanjung atau Kedrick Azman – yang menceritakan keresahannya terhadap pesan spam bermuatan politis kepada ­Philosofis, kesadaran akan pentingnya informasi personal menjadi hal yang prinsipiil.  Kendati penting, dan bermuatan politis. Namun, tak sedikit yang sudah menggap hal ini sebagai persoalan yang biasa saja.

Hal ini menjadi makhlum. Hargittai, dkk., dalam penelitiannya untuk University of Zurich, Swiss, menyebut masyarakat hari ini pada umumnya memang tidak terlalu mementingkan privasi dan informasi pribadi mereka. Dalam laporan berjudul ”What Can I Really Do? : Explaining the Privacy Paradox with Online Apathy” (PDF) itu, mereka mengutip penelitian yang dilakukan Alan Westin sejak 1978 hingga 2004 dan memaparkan tiga jenis orang terkait privasi.


Pertama adalah golongan privacy pragmatist. Yang mana, orang-orang ini mengukur untung/rugi jika data diberikan (jumlahnya 57 persen). Kedua, privacy fundamentalist, yakni orang yang benar-benar menjaga privasi dan data diri. Sementara ketiga, adalah golongan unconcerned. Mereka adalah orang yang benar-benar tidak peduli terhadap data pribadi mereka, dan jumlahnya pun tidak sedikit.

 

Kendati ada tiga tipe demografi terkait privasi, yang perlu dipahami adalah, seperti dikatakan di awal: “data pribadi itu suci”, terlebih kita sedang hidup di era digital. Penyalahgunaan, entah untuk tujuan komersiil, politik, maupun kejahatan, tetap menjadi masalah serius.

 

Tentu kita ingat kasus masyhur 2016 lalu. Ketika itu, seperti dilaporkan New York Times, Cambridge Analytica, firma yang ditunjuk Trump untuk mengurusi kampanye pada pemilihan lalu, terindikasi kuat telah melakukan pengambilan data pribadi para pengguna Facebook secara ilegal. Tujuannya pun tercapai, Trump melesat mulus ke Gedung Putih.

 

Buntut atas kisruh ini, pemilik Facebook Mark Zuckenberg akhirnya telah diminta memberi kesaksian di hadapan Kongres Amerika perihal bagaimana Facebook melindungi data pengguna. Di lain sisi, Kepala Parlemen Eropa, parlemen Inggris, dan Perdana Menteri Inggris kala itu, Theresa May, menyatakan keprihatinannya serta akan menyelidiki apakah ada indikasi penyelewengan data pengguna Facebook untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

 

Di UNY, Setali Tiga Uang

Masih menjadi misteri, dari mana pihak-pihak terkait penyebar pesan spam kampanye di UNY ini mendapatkan nomor telepon. Dari salah satu sumber, yang tak ingin disebutkan namanya, berujar bahwa ia menghimpun nomor telepon tersebut dari presensi PKKMB dan Hakrab (Hari Keakraban), salah satu program kerja Ormawa. 

 

Dari situ, akhirnya muncul dua pertanyaan: “apakah sudah ada term and condition?” sebelumnya, yang menyatakan bahwa nomor-nomor mereka boleh dipakai untuk kepentingan politik (Pemilwa). “Jawabannya tentu tidak!”



Sepengalaman dan sepengetahuan penulis seputar dunia keormawa-an di Kampus, saat mendata identitas mahasiswa, tak ada satu pun kesepakatan yang menyebut “nomor kalian akan dipakai untuk spam pesan kampanye” dan lain sebagainya. Yang ada, nomor tersebut hanya akan (dan boleh) dipakai untuk kepentingan akademik semata. Paling banter, dipakai untuk jalur koordinasi program kerja.

 

Maka, perlu ditekankan lagi, bahwa tindakkan ini sangat tidak bermartabat, menginjak-injak kebebasan orang lain, serta menormalisasi pola pikir bahwa data pribadi tidaklah penting. Padahal, dalam banyak kasus, data seperti nomor telepon yang dihimpun dalam jumlah banyak, rentan disalahgunakan.

 

Sementara pertanyaan kedua, dalam kerangka Pemilwa, “apakah tindakan penyalahgunaan wewenang ini dapat ditindak secara hukum?”. Jawabannya masih mengambang, penuh perdebatan, tapi jelas ini mencederai proses demokrasi.

 

Dalam peraturan Pemilwa di UNY, baik tingkat universitas maupun fakultas, tak ada satu pun pasal yang menyalahkan tindakan ini. Namun, sekali lagi dan perlu dikatakan, secara prosedural jelas ini menyalahi asas demokrasi. Bagaimana pun penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik tidak dibenarkan.

 

Lebih jauh lagi, di luar dua pertanyaan itu, ada satu lagi hal mendasar yang penting untuk ditanyakan: “Apakah ini telah terjadi selama bertahun-tahun?”. Jika iya, maka betapa menjijikkannya politik kampus di UNY yang mengorbankan aspek tersuci dalam dunia digital demi kemenangan suksesi.

 

Jika Hannah Arendt dalam risalahnya menulis tentang “Banalitas Kejahatan”, di mana seseorang yang melakukan tindakan tersebut merasa tetap suci, alih-alih merasa bersalah. Maka, di UNY para pelaku penyebar spam kampanye dan pihak-pihak dibelakang-Nya telah melakukan “Banalitas Kebusukan”. Mereka merasa bahwa yang dilakukan adalah normal dan baik-baik saja. Padahal, ia penuh dengan bau bangkai yang mereka simpan di bawah kolong singgasana kekuasaan.

 

 

Ahmad Effendi

Opini merupakan gagasan pribadi penulis, yang tetap mengedepankan data serta temuan fakta di lapangan terkait tindakan spam pesan kampanye dan penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan data pribadi.

Editor: Rachmad Ganta Semendawai

 

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar