XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Yang Kita Bicarakan, Ketika Membicarakan Alkohol

Ilustrasi: Rindi Aliatissolihah



Pada medio November 2020, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memulai pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol), yang diawali dengan dengar penjelas dari para pengusul. Tidak lama berselang, RUU yang diusulkan oleh partai-partai bernafaskan Islam  ini langsung mendapat tanggapan yang beragam dari publik. Warga yang pro maupun kontra melayangkan pendapatnya masing-masing.


Masih di bulan yang sama, tidak lama setelah kegaduhan hilir mudik, wartawan Philosofis menemui sekelompok anak muda pembuat minuman beralkohol hasil fermentasi buah. Sesuai namanya, K3, kelompok itu juga terdiri hanya dari tiga orang. Dengan meminta untuk disamarkan identitasnya, sebut saja mereka sebagai Agus, Katul, dan Kecik.


Dalam momen yang hadir pada malam 26 November 2020, bertempat di rumah Katul, tepatnya  di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo tersebut, Philosofis berkesempatan mengulik proses pembuatan minuman fermentasi, hingga kesenang-senangan yang diperoleh dari hasil olahannya. Tidak lupa, narasumber juga memberikan pandangan mereka terkait RUU Minol, yang masih menjadi perbincangan.


 

Alkohol dan Buah


Usaha minuman beralkohol dari fermentasi buah K3 dimulai sejak awal pandemi. Artinya, ketika wawancara dilakukan, usaha mereka sudah berumur sekitar setengah tahun. Dari rentang usia itu, mereka sudah melakukan produksi sebanyak tiga kali. Sehingga rata-rata produksi dilakukan sekali dalam dua bulan.


“Sebelum pandemi sebenarnya sudah sempat bikin. Tapi baru setelah pandemi, kita lebih serius soal kualitas,” ujar Katul.


Dalam memproduksi fermentasi buah, K3 membutuhkan waktu selama dua bulan demi menghasilkan kualitas yang baik. Waktu yang tidak pendek itu, terutama dipergunakan untuk menjamin kualitas rasa. Sementara untuk memperoleh standar kualiatas kadar alkohol yang diinginkan, membutuhkan waktu dua sampai tiga minggu.


Kendati demikian, mereka mengakui, mengejar kualitas yang baik itu susah karena antusias permintaan yang begitu tinggi.


“Baru satu bulan, bahkan kurang dari itu, sudah banyak yang minta (memesan -red),” ujar Kecik, yang merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.


Lebih lanjut, mereka juga menjelaskan, bahwa masalah kualitas minuman fermentasi buah ditentukan oleh banyak faktor, seperti suhu dan kelembaban udara. Sementara ketergantungan pada kondisi alam, juga masih menjadi problem tersendiri, karena mereka tidak mempunyai alat khusus produksi. Proses yang manual tanpa mesin ini, membuat mereka bergantung sepenuhnya pada kondisi alam.


Ketergantunga ini tidak membuat K3 kehilangan ide kreasi. Buktinya, selama setengah tahun berproduksi, mereka telah membuat beberapa buah sebagai varian fermentasi.


“Seperti buah pisang, dari ampas kopi, ubi ungu, dan buah naga,” sebut Katul dan Kecil bebarengan, menjelaskan varian buah yang pernah mereka gunakan.


Buah yang pertama disebut merupakan yang paling sering diproduksi,  baik untuk konsumsi sendiri atau dijual ke pasaran. Sedangkan buah naga, mereka olah sebagai konsumsi pribadi dalam uji coba tahap awal, yang hasilnya, menurut Katul, “memiliki rasa lumayan, tetapi kadar alkoholnya jauh dari harapan.”


Kebetulan, dalam kesempatan tersebut wartawan Philosofis disugguhi dua varian fermentasi yang baru beberapa waktu sebelumnya selesai produksi. Pertama, fermentasi buah pisang, memiliki aroma alkohol menguar bersama rasa pisang ketika diteguk. Sementara yang kedua adalah ampas kopi, yang memiliki sedikit aroma kopi dengan keasaman yang lebih kuat dari fermentasi pisang.


Sementara Katul, salah satu anggota K3 yang kuliah di UNY, mengaku bahwa mereka punya rencana untuk menambah variasi dengan memakai buah naga sebagai bahan baku. Alasannya karena buah ini gampang ditemui dan cukup terkenal di pesisir Kulon Progo.


“Kenapa kita tidak bikin dari buah lokal? Mengingat, wine itu sendiri kan dibikin di Eropa karena stoknya (buah anggur – red) di sana melimpah. Jadi, kira-kira di sini apa yang stoknya melimpah itu?” ucapnya, melemparkan pertanyaan retoris.


Sementara itu, terkait pemilihan bahan baku, K3 mengaku bahwa mereka lebih senang menggunakan buah yang sudah alum, yaitu yang sudah sangat masak, tapi belum terlalu busuk dan masih layak konsumsi. Menurut Katul, pemilihan ini bertujuan agar glukosa yang keluar saat proses fermentasi menjadi maksimal.


Pengolahan yang seratus persen manual ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebagaimana diakui Katul, fermentasi buah K3 ini tidak dicampuri bahan kimia sehingga 100 persen organik. Namun, karena berbagai keterbatasan, produksi pun menjadi menjadi tidak stabil.

 

Suasana saat wawancara dengan K3, di Lendah, Kulon Progo, DIY, Jumat (27/11). Philosofisonline.id/Farras Pradana.



Untuk Kesenangan, Bukan Keuntungan


Kelompok K3 menjalankan proses produksi fermentasi dengan sungguh-sungguh. Terlihat dari bagaimana mereka dalam mengembangkan varian dan pemilihan buah. Kendati demikian, nyatanya K3 tidak menyimpan hasrat untuk menjadikan usaha fermentasi buah ini sebagai ladang profit.


K3 mengakui, awalnya membuat minuman beralkohol dari fermentasi buah untuk konsumsi sendiri. Mereka membuat fermentasi hanya untuk dibagikan kepada teman-teman dekat (inner circle), sekaligus untuk menciptakan kesenangan. Namun, di tengah jalan, demi menutupi ongkos produksi yang sudah tidak bisa lagi ditanggung ongkos pribadi, mereka memutuskan untuk menjual fermentasi ke pasar. Tujuannya agar mereka dapat memutar uang hasil penjualan untuk memproduksi kembali.


“Misal kita produksi 30 botol. Nanti yang 20 kita jual untuk produksi lagi, sementara yang 10 buat konsumsi pribadi,” tutur Agus mencontohkan.


Jika mau hitung-hitungan untung-rugi sebagai sebuah usaha, Agus menuturkan bahwa sejatinya K3 sama sekali tidak rugi. Meskipun kalau mau jujur, mereka juga tidak banyak dapat untung.


“Untungnya, ya, kita bisa minum terus,” celotehnya.


Sebagai sebuah usaha yang bukan berorientasi laba, K3 mengakui bahwa swaproduksi fermentasi ini adalah siasat untuk tetap bisa bersenang-senang dengan alkohol. Sebagai seorang peminum, Katul berujar bahwa miras itu harganya menguras dompet. Sehingga, akhirnya ia berpikir bagaimana caranya agar bisa membuat minuman sendiri dengan modal yang terjangkau.


Sementara untuk pemasaran – sebagaimana telah dijelaskan hanya bagi inner circle – K3 melakukannya hanya dari teman ke teman. Mereka mengakui melakukan pemasaran dengan hati-hati. Mereka juga enggan menitipkan produk kepada reseller begitu saja, mengingat belum bisa mengontrol kualitas yang dihasilkan seperti yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya.


Perlu diketahui, untuk sekali produksi, K3 menghasilkan setiap varian fermentasi sebanyak 50 botol dengan isi perbotolnya 600 mililiter.


“Setiap botol dipatok Rp 30.000,” pungkas Kecik.


 

RUU Minol dan Singgungan Terhadap Islam


Sebagaimana telah diakui sebelumnya, bahwa usaha K3 tidak berorientasi keuntungan, maka RUU Minol tidak akan berdampak sama sekali secara ekonomi, terhadap usaha yang mereka lakukan. Hal ini diakui Kecik, yang sama sekali tidak mempersalahkan RUU Minol, karena menurutnya sejak dulu penjualan alkohol memang dilarang.


“Jadi, ada atau tidaknya RUU tersebut tidak masalah. Kan di RUU itu ada pengecualian, seperti di Pasal 8 di tempat wisata. (Lalu – red) minuman regional (tradisional – red) kan tetap boleh,” ujarnya.


Lebih lanjut, ia mengimbuhi, kalau di tempat wisata harus menunjukan kartu identitas dan akan dicek salah satunya dalam kolom agama.


Sementara Katul berpendapat, bahwa RUU Minol baginya  tidak jauh berbeda dengan Undang-undang yang sudah ada, semisal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang udah ada dari dulu.


“Mungkin (RUU Minol – red) lebih menjabarkan  saja […] misal salah satu yang kemarin sempat menjadi perbincangan itu setahuku orang-orang bilang kalau kita minum-minum, mungkin di rumah, di tempat apapun, bakal kenda denda dan sebagainya.”


Meskipun merasa RUU Minol tidak berdampak apapun terhadap usaha mereka, nyatanya klaim dari K3 tidak sepenuhnya tepat. Kecik misalnya, yang mengatakan sejak awal penjualan minuman beralkohol telah dilarang.


Berdasarkan penelusuran wartawan Philosofis, mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomo 20/M-Dag/Per/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, penjualan minuman beralkohol masih diizinkan. Aturan  lebih detail dapat ditelusuri dalam Pasal 14 ayat 1,2, dan 3; Pasal 15; dan, Pasal 16 ayat 1,2, dan 3.


Lebih jauh, klaimnya yang menyebut “minuman beralkohol tradisional masih diperbolehkan jika RUU Minol disahkan”, faktanya juga kurang pas. Dalam RUU baru itu, disebutkan dalam salah satu pasalnya menyebut terkait pelarangan minumal beralkohol tradisional. Tepatnya dalam Bab II tentang Klasifikasi, pada Pasal 4 ayat 1 dan 2. Artinya, bila RUU itu resmi diundangkan, maka minuman beralkohol tradisional seperti sopi, boba, balo tuak, arak saguer akan dilarang.


Sementara pernyataan Kecik yang terakhir, secara tidak langsung menunjukkan bahwa memang ada korelasi antara regulasi mengonsumsi minuman beralkohol dengan aturan agama. Masalah ini pula yang membuat riak dalam parleman. Misalnya, salah satu anggota fraksi PPP, partai pengusul RUU Minol, mengklaim bahwa rancangan ini sejalan dengan pandangan Islam.


Namun, Choky R. Ramdhan dalam The Conversation, mengatakan hal yang berbeda. Pandangan Islam terhadap alkohol sangat beragam. Menurutnya, “Paska wafatnya Nabi Muhammad, beberapa ulama dan pemimpin negara Islam berbeda pendapat dalam mengatur dan melarang minuman beralkohol.”


Perbedaan pendapat tersebut,” tulis Choky, misalnya, seputar apa saja dikategorikan minuman beralkohol hingga standar yang dipakai untuk membuktikan bahwa orang bersalah.


Sedangkan ketika berbicara mengenai substansi RUU Minol, yang bagi Katul “sama saja dengan KUHP”, penelusuran wartawan Philosofis menemukan hasil yang menegaskan pernyataan itu. Melansir Institut For Criminal Justice Reform (ICJR), pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


“Misalnya dalam Pasal 492, Pasal 300 KUHP. Dalam RKUHP pun ketentuan pasal ini juga masih dimuat, seluruh tindak pidana dalam RUU Larangan Minol harusnya diharmonisasikan pada pembahasan RKUHP yang sedang dibahas di DPR, tidak perlu dengan RUU sendiri, yang bahkan dengan pendekatan yang usang,” tulis ICJR dalam laman resminya.


Lebih jauh, terkait denda larangan minum-minuman beralkohol di tempat tertentu bila RUU Minol disahkan, sebagaimana dikatakan Katul, tidaklah salah. Hal ini merujuk pada draft RUU Minol Bab VI tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 20.


Pasal tersebut berbunyi bahwa "Setiap orang yang mengonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta.”


Terakhir, sebelum menutup sesi wawancara, Katul bersikap skeptis sebagai seorang konsumen mengenai dampak RUU Minol terhadap setiap orang dalam rantai perdagangan minuman beralkohol. Ia menyatakan, mungkin orang-orang akan jadi takut untuk minum dan otomatis menjadi berkurang.


Akan tetapi, karena kebiasaan minum itu susah untuk dilarang, dan karena sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian orang, maka, pungkasnya, “Jadi, persetanlah!”



Farras Pradana

Reporter: Farras Pradana

Editor: Ahmad Effendi

 


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar